Putusan
Pengadilan Militer memidana penjara seumur hidup Brigadir Jenderal Teddy
Hernayadi adalah momentum pemberantasan dan pencegahan korupsi pengadaan alat
utama sistem persenjataan. Namun, momentum dapat hilang karena beratnya vonis
mengesankan kasus korupsi besar (grand corruption) teratasi sistem yang ada.
Terlebih,
kasus itu menyangkut pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari
Amerika Serikat. Media massa antara lain menyebut pengadaan jet tempur F-16 dan
helikopter serang AH-64 Apache. Justru karena alutsista itu berasal dari AS,
pengusutannya lebih mudah.
Kemudahan
pengusutan karena AS dan sebagian anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara
(NATO) telah memiliki standar pengadaan alutsista dan ekspor senjata yang
ketat, terbuka, dan mudah ditelusuri aparat hukum sekiranya ada indikasi
korupsi. Transparansi informasi juga menyangkut mekanisme ekspor alutsista AS,
termasuk beragam barang bekas, seperti F-16 Blok 25 yang diekspor ke Indonesia.
Mengungkap
ekspor
Badan
Pemerintah AS yang mengurus ekspor senjata, yakni US Defense Security Cooperation
Agency (DSCA), telah menerbitkan informasi mengenai ekspor F-16 Block 25 yang
diperbarui dan ditingkatkan kapabilitasnya menjadi F-16 Block 52ID, serta
helikopter serang Apache AH-64E, berikut rincian persenjataan dan radarnya,
masing-masing satu dan dua hari setelah penyampaian pemberitahuan kepada
Kongres AS tahun 2011 dan 2012. Mekanismenya adalah bila dalam 30 hari Kongres
tak mengajukan keberatan, prosesnya berlanjut. Ekspor barang yang lebih kecil
ke Indonesia juga diungkapkan, misal rudal udara ke permukaan Maverick (2012)
dan rudal udara ke udara jarak menengah AIM-120C7 (2016).
Meskipun
tidak semua informasi pengadaan alutsista disampaikan kepada publik global
secara terbuka, informasi tersebut masih dapat ditelusuri oleh Pemerintah
Indonesia. Auditor internal Pemerintah Indonesia dan BPK, misalnya, dapat
menelusuri apakah keterlambatan pengiriman alutsista karena keterlambatan atau
kekurangan pembayaran dari pihak kita atau kendala teknis di pihak AS, seperti
ketidaklengkapan suku cadang. Apalagi, April 2015, sebuah jet tempur F-16 dari
Proyek Peace Bima Sena II gagal terbang dan terbakar. Ini memperkuat indikasi
adanya masalah.
Meskipun
transparansi pengadaan alutsista dari AS dapat membantu pengusutan suatu kasus
korupsi, kisahnya akan berbeda dalam pengadaan alutsista dari negara lain yang
relatif lebih tertutup dari AS, seperti dari Rusia dan China. Apakah
keterlambatan rudal buatan China C705 meluncur di hadapan Presiden Joko Widodo
pada September 2016, misalnya, semata-mata kendala teknis ataukah itu petunjuk
indikasi penyimpangan pengadaan?
Mengenai
transparansi pengadaan alutsista, Ketua KPK Agus Rahardjo mengusulkan
transparansi anggaran pertahanan dan pengadaan alutsista. Bahkan, di Kompas
edisi 28 November 2016, ia meminta rencana induk pengadaan alutsista yang
konsisten. Dengan demikian, tidak ada perubahan pembelian persenjataan.
Masalahnya,
transparansi tidak mungkin bersifat asimetris dan itu relatif sulit dipenuhi
untuk pengadaan dari luar anggota NATO. Data lembaga riset pertahanan seperti
SIPRI tidak sepenuhnya bisa diandalkan. Hal ini terutama menyangkut biaya
pengadaan alutsista, yang diasumsikan nilai alutsista bekas adalah 40 persen
dari yang baru dan 66 persen untuk alutsista yang diperbarui. Padahal,
pengusutan indikasi korupsi membutuhkan nilai yang pasti, bukan asumsi umum.
Yang lebih
penting adalah pengadaan alutsista bertujuan membangun kapabilitas penangkalan
(deterrence) sehingga ancaman militer dan bersenjata dapat dicegah, termasuk
perang terbuka. Penangkalan tidak akan efektif jika terlalu terbuka, apalagi
jika pihak lain telah mengetahui pengadaannya telat dan kualitas senjatanya
tidak setara dengan negara tetangganya.
Transparansi
terbatas
Transparansi
juga harus terbatas untuk pengadaan produksi sendiri, apalagi berasal dari
riset anak bangsa. Selain dapat mengorbankan hak kekayaan intelektual,
keterbukaan informasi berisiko menggagalkan riset tersebut. Pihak lain dapat
mencegah akses pengadaan komponen tertentu yang belum dapat dibuat sendiri.
Saat ini keunggulan antar alutsista semakin ditentukan oleh komponen tertentu,
seperti radar AESA pada jet tempur.
Konsistensi
akan rencana induk lebih sulit diterapkan karena perubahan teknologi yang
sangat cepat dan dinamika negosiasi antar negara dan antar perusahaan. Terlebih,
jika rencana induk memuat daftar belanja alutsista secara detail. Penentuan
spesifikasi teknis tertentu malah seperti menyampingkan aturan umum pengadaan
barang dan jasa, serta berisiko menghilangkan kompetisi terbuka di antara
penyuplai.
Perencanaan
berbasis kapabilitas dapat menjadi jalan keluar sepanjang pengadaan alutsista
terintegrasi dengan unsur-unsur pembangunan lini pertahanan (defence lines of
development), seperti konsep dan doktrin, infrastruktur, latihan, personel,
logistik, informasi, keterpaduan operasional, dan sebagainya. Dalam pengadaan
tank tempur utama Leopard, infrastruktur penyimpanan baru disiapkan setelah
keputusan pembelian dilakukan. Jika ini masih terjadi, kita perlu akselerasi
pembenahan manajemen pertahanan.
Pada akhirnya,
komunitas pertahanan, baik disiplin strategi pertahanan maupun manajemen,
industri dan teknologi pertahanan, perlu duduk bersama dengan komunitas aparat
penegak hukum. Pengadaan alutsista perlu memiliki standar yang mencerminkan
transparansi, akuntabilitas, serta integritas pelaku tanpa menoleransi keamanan
informasi dan kapabilitas pertahanan.
0 comments:
Post a Comment