Sunday, 18 December 2016

Sejarah Ejection Seat Pada Pesawat Tempur


Pada awal-awal ditemukannya pesawat, terutama pesawat tempur, konsep kursi pelontar belum ada. Setidaknya sampai Perang Dunia II. Kala itu pilot hanya mengandalkan parasut yang dia kenakan dan keterampilan melompat dari pesawat. Tetapi ini bukan hal yang mudah. Terlebih ketika pesawat tempur dirancang semakin gesit yang menjadikan pilot sulit menyelematkan dirinya ketika pesawat tersebut rusak terutama ketika terkena tembakan lawan.

Dalam waktu yang singkat dan situasi panik, pilot harus berusaha dengan susah payah membuka pintu kokpit pesawat selama beberapa puluh detik. Dan saat terbuka kemudian dia melompat, maka risiko lain dia akan terhantam ekor pesawat yang melaju kencang. Langkah yang dilakukan umumnya adalah pilot menukikkan pesawat, membuka kokpit dan melepas sabuknya lalu, melepaskan tongkat kemudi. Langkah ini mirip dalam sebuah mainan jack in the box escape.

Adakalanya penerbang langsung meloncat dari pesawat yang mengalami kerusakan atau terkena tembakan. Tercatat pada bulan Januari 1942, Letnan Chisov dari Angkatan Udara Uni Sovyet meloncat dari pesawat Ilyushin II-A yang rusak berat dengan ketinggian 6700 meter, dia mengalami patah pada bagian pinggul dan cedera pada tulang punggung. Sedangkan Sersan Alkemande dari Royal Air Force, mengalami keberuntungan ketika meloncat dari pesawat Pembom Lanchaster yang terbakar pada ketinggian 5500 meter pada bulan Maret 1944. Karena tertahan pohon pinus dan jatuh pada lapisan es setebal 40 centimeter, dia hanya mengalami benjol dan tergores.

Dengan tingginya kecelakaan pesawat maka munculnya konsep kursi lontar yang pertama diterapkan pada pesawat Heinkel He-119. Kursi lontar yang ditekan oleh udara. Pesawat ini memang populer pada penerbangan uji coba, namun karena jumlahnya sedikit, prestasi kursi lontarnya tidak diketahui.


James Martin dari Inggris kemudian merancang sistem pengaman yang lain. Dalam konsepnya, pilot dilontarkan keluar kokpit oleh lengan panjang yang digerakkan oleh pegas yang dipasangkan pada harnas parasutnya. Mekanisme ini cocok untuk dipasang pada pesawat Spitfire dan Hurricanes, tapi tidak cocok untuk pesawat modern. Pesawat Jet mengharuskan daya lontar besar sehingga Martin memilih mekanisme dengan menggunakan dinamit.


Peluncuran kursi lontar pertama, tercatat pada tanggal 24 Juli 1946, oleh Bernard Linch, salah seorang karyawan Martin-Baker. Linch dilontarkan secara sukarela dengan kursi lontarnya pada ketinggian 2600 meter dengan kecepatan 253 km/jam dari pesawat tempur Gloster Meteor. Sejak itu, kursi lontar Martin-Baker menjadi populer di seluruh dunia.

Ketika kecepatan pesawat semakin tinggi, teknologi penyelamatan penerbang dikembangkan ke arah penggunaan kapsul penyelamat. Hal ini dikarenakan perkembangan kecepatan pesawat tempur semakin tinggi. Ketika teknologi ini dikembangkan pada dekade 50 hingga 60-an banyak perencana kursi lontar meramalkan penggunaan kursi lontar akan ketinggalan zaman.

Alasan lain adalah kenyataan bahwa penerbang dengan kelengkapan yang baik pun tidak dapat bertahan terhadap tekanan angin yang semakin besar. Pada kecepatan sebesar 1100 km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi untuk memanfaatkan kursi lontar, tekanan angin mencapai 60 kilogram per desimeter persegi.

George Smith, salah seorang pilot uji dari perusahaan pembuat pesawat North American (kini diakuisisi Rockwell), merasakan betapa kuatnya tekanan angin yang dideritanya saat menguji pesawat tempur F-100 Super Sabre, pada Februari 1955, yang mengalami kebekuan saat menukik. Pada kecepatan Mach 1.05 (kurang lebih 1200 km/jam) dan ketinggian 3000 meter, Smith meluncurkan dirinya dengan kursi lontar dan menderita cedera parah. Hal ini menjadi kendala karena pada kecepatan Mach 1, sudah terlalu cepat bagi penggunaan kursi lontar, sedangkan pada perkembangannya, pesawat tempur beroperasi dengan kecepatan yang lebih tinggi (Mach 2 dan Mach 3).


Menurut penuturan Letnan Victor Balenko, pilot pesawat tempur Rusia MiG-25 Foxbat, yang membelot ke Jepang, pesawat MiG-25 Foxbat bahkan tidak dilengkapi dengan kursilontar, dikarenakan kecepatan yang sangat tinggi (mencapai Mach 3) dan ketinggian jelajahnya yang cukup tinggi sehingga sangat membahayakan ketika pilot meluncurkan dirinya bersama kursi lontar.

Sementara pesawat MiG-21 Fishbed dilengkapi kursi lontar yang cukup rumit, yang memungkinkan kursi lontarnya mengangkut atap cockpit. Dengan bantuan engsel, atap kokpit tersebut turun menutupi kursi dan berakhir di depan kaki pilot. Model ini memiliki perlindungan prima namun prosesnya cukup lama dan rumit sehingga pilot tidak dapat mengembangkan parasutnya. Kini sistem tersebut diganti dengan kursi lontar biasa.


Pilihan kapsul penyelamat dipertimbangkan untuk pesawat berkecepatan tinggi. Kapsul juga dapat menjadi rakit penyelamat di udara maupun tempat bersembunyi dengan perlengkapan yang dimilikinya. Satu-satunya pesawat yang dilengkapi kapsul penyelamat adalah F-111. Namun harganya cukup mahal dan memiliki bobot yang cukup berat sehingga tidak dapat diterapkan pada pesawat tempur yang ada sekarang. 


Rencana pengembangan kapsul penyelamat juga tidak berlanjut karena kecepatan pesawat tempur tidak bertambah. Meski pesawat tempur banyak yang mencapai kecepatan Mach 2, penggunaan kecepatan supersonik jarang dilakukan karena konsumsi bahan bakar yang cukup tinggi.

Selanjutnya Angkatan Udara Amerika memberikan kontrak kepada Boeing pada tahun 1985 untuk mengembangkan kursi lontar biasa pada pesawat tempur dan pemburu di masa-masa berikutnya dengan ketentuan pilot dapat terjun dari ketinggian 20 meter dengan sudut jatuh 30 derajat dan kecepatan mencapai 550 km/jam. Dalam kondisi tersebut pesawat akan membentur bumi selama 0,26 detik setelah kursi dilontarkan. Sehingga kursi lontar harus dipakai selambat-lambatnya 1,5 hingga 2 detik sebelum benturan terjadi.



Kini perancang kursi lontar harus dapat menerapkan teknologi kursi lontar untuk ketinggian rendah dengan kecepatan yang cukup tinggi,bahkan pada saat pesawat masih dilandasan dengan tingkat gravitasi zero atau nol, yang sebelumnya tidak dimungkinkan. Umumnya, kursi lontar pesawat-pesawat latih maupun tempur modern, dapat menerapkan ketentuan tersebut.


0 comments:

Post a Comment