Pada
awal-awal ditemukannya pesawat, terutama pesawat tempur, konsep kursi pelontar
belum ada. Setidaknya sampai Perang Dunia II. Kala itu pilot hanya mengandalkan
parasut yang dia kenakan dan keterampilan melompat dari pesawat. Tetapi ini
bukan hal yang mudah. Terlebih ketika pesawat tempur dirancang semakin gesit
yang menjadikan pilot sulit menyelematkan dirinya ketika pesawat tersebut rusak
terutama ketika terkena tembakan lawan.
Dalam waktu
yang singkat dan situasi panik, pilot harus berusaha dengan susah payah membuka
pintu kokpit pesawat selama beberapa puluh detik. Dan saat terbuka kemudian dia
melompat, maka risiko lain dia akan terhantam ekor pesawat yang melaju kencang.
Langkah yang dilakukan umumnya adalah pilot menukikkan pesawat, membuka kokpit dan
melepas sabuknya lalu, melepaskan tongkat kemudi. Langkah ini mirip dalam
sebuah mainan jack in the box escape.
Adakalanya
penerbang langsung meloncat dari pesawat yang mengalami kerusakan atau terkena
tembakan. Tercatat pada bulan Januari 1942, Letnan Chisov dari Angkatan Udara
Uni Sovyet meloncat dari pesawat Ilyushin II-A yang rusak berat dengan
ketinggian 6700 meter, dia mengalami patah pada bagian pinggul dan cedera pada
tulang punggung. Sedangkan Sersan Alkemande dari Royal Air Force, mengalami keberuntungan
ketika meloncat dari pesawat Pembom Lanchaster yang terbakar pada ketinggian
5500 meter pada bulan Maret 1944. Karena tertahan pohon pinus dan jatuh pada
lapisan es setebal 40 centimeter, dia hanya mengalami benjol dan tergores.
Dengan
tingginya kecelakaan pesawat maka munculnya konsep kursi lontar yang pertama
diterapkan pada pesawat Heinkel He-119. Kursi lontar yang ditekan oleh udara.
Pesawat ini memang populer pada penerbangan uji coba, namun karena jumlahnya
sedikit, prestasi kursi lontarnya tidak diketahui.
James Martin
dari Inggris kemudian merancang sistem pengaman yang lain. Dalam konsepnya,
pilot dilontarkan keluar kokpit oleh lengan panjang yang digerakkan oleh pegas
yang dipasangkan pada harnas parasutnya. Mekanisme ini cocok untuk dipasang
pada pesawat Spitfire dan Hurricanes, tapi tidak cocok untuk pesawat modern.
Pesawat Jet mengharuskan daya lontar besar sehingga Martin memilih mekanisme
dengan menggunakan dinamit.
Peluncuran
kursi lontar pertama, tercatat pada tanggal 24 Juli 1946, oleh Bernard Linch,
salah seorang karyawan Martin-Baker. Linch dilontarkan secara sukarela dengan
kursi lontarnya pada ketinggian 2600 meter dengan kecepatan 253 km/jam dari
pesawat tempur Gloster Meteor. Sejak itu, kursi lontar Martin-Baker menjadi populer
di seluruh dunia.
Ketika
kecepatan pesawat semakin tinggi, teknologi penyelamatan penerbang dikembangkan
ke arah penggunaan kapsul penyelamat. Hal ini dikarenakan perkembangan
kecepatan pesawat tempur semakin tinggi. Ketika teknologi ini dikembangkan pada
dekade 50 hingga 60-an banyak perencana kursi lontar meramalkan penggunaan
kursi lontar akan ketinggalan zaman.
Alasan lain
adalah kenyataan bahwa penerbang dengan kelengkapan yang baik pun tidak dapat
bertahan terhadap tekanan angin yang semakin besar. Pada kecepatan sebesar 1100
km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi untuk memanfaatkan kursi lontar,
tekanan angin mencapai 60 kilogram per desimeter persegi.
George
Smith, salah seorang pilot uji dari perusahaan pembuat pesawat North American
(kini diakuisisi Rockwell), merasakan betapa kuatnya tekanan angin yang
dideritanya saat menguji pesawat tempur F-100 Super Sabre, pada Februari 1955,
yang mengalami kebekuan saat menukik. Pada kecepatan Mach 1.05 (kurang lebih
1200 km/jam) dan ketinggian 3000 meter, Smith meluncurkan dirinya dengan kursi
lontar dan menderita cedera parah. Hal ini menjadi kendala karena pada
kecepatan Mach 1, sudah terlalu cepat bagi penggunaan kursi lontar, sedangkan
pada perkembangannya, pesawat tempur beroperasi dengan kecepatan yang lebih
tinggi (Mach 2 dan Mach 3).
Menurut
penuturan Letnan Victor Balenko, pilot pesawat tempur Rusia MiG-25 Foxbat, yang
membelot ke Jepang, pesawat MiG-25 Foxbat bahkan tidak dilengkapi dengan
kursilontar, dikarenakan kecepatan yang sangat tinggi (mencapai Mach 3) dan
ketinggian jelajahnya yang cukup tinggi sehingga sangat membahayakan ketika
pilot meluncurkan dirinya bersama kursi lontar.
Sementara
pesawat MiG-21 Fishbed dilengkapi kursi lontar yang cukup rumit, yang
memungkinkan kursi lontarnya mengangkut atap cockpit. Dengan bantuan engsel,
atap kokpit tersebut turun menutupi kursi dan berakhir di depan kaki pilot.
Model ini memiliki perlindungan prima namun prosesnya cukup lama dan rumit
sehingga pilot tidak dapat mengembangkan parasutnya. Kini sistem tersebut
diganti dengan kursi lontar biasa.
Pilihan
kapsul penyelamat dipertimbangkan untuk pesawat berkecepatan tinggi. Kapsul
juga dapat menjadi rakit penyelamat di udara maupun tempat bersembunyi dengan
perlengkapan yang dimilikinya. Satu-satunya pesawat yang dilengkapi kapsul
penyelamat adalah F-111. Namun harganya cukup mahal dan memiliki bobot yang
cukup berat sehingga tidak dapat diterapkan pada pesawat tempur yang ada
sekarang.
Rencana
pengembangan kapsul penyelamat juga tidak berlanjut karena kecepatan pesawat
tempur tidak bertambah. Meski pesawat tempur banyak yang mencapai kecepatan
Mach 2, penggunaan kecepatan supersonik jarang dilakukan karena konsumsi bahan
bakar yang cukup tinggi.
Selanjutnya
Angkatan Udara Amerika memberikan kontrak kepada Boeing pada tahun 1985 untuk
mengembangkan kursi lontar biasa pada pesawat tempur dan pemburu di masa-masa
berikutnya dengan ketentuan pilot dapat terjun dari ketinggian 20 meter dengan
sudut jatuh 30 derajat dan kecepatan mencapai 550 km/jam. Dalam kondisi tersebut
pesawat akan membentur bumi selama 0,26 detik setelah kursi dilontarkan.
Sehingga kursi lontar harus dipakai selambat-lambatnya 1,5 hingga 2 detik
sebelum benturan terjadi.
Kini
perancang kursi lontar harus dapat menerapkan teknologi kursi lontar untuk
ketinggian rendah dengan kecepatan yang cukup tinggi,bahkan pada saat pesawat
masih dilandasan dengan tingkat gravitasi zero atau nol, yang sebelumnya
tidak dimungkinkan. Umumnya, kursi lontar pesawat-pesawat latih
maupun tempur modern, dapat menerapkan ketentuan tersebut.
0 comments:
Post a Comment