Angkatan Laut Indonesia mungkin harus memetakan ulang rencana strategi penambahan kekuatan kapal selam. Situasi sekarang sudah berbeda dan rencana membeli 10-12 armada kapal selam dinilai tidak lagi tepat.
Hal itu disampaikan IGB. Dharma Agastia, mahasiswa pascasarjana di S. Rajaratnam School of International Studies dalam tulisannya di The Jakarta Post, Selasa 27 September 2016.
Ia melakukan penelitian tentang program modernisasi angkatan laut Indonesia, termasuk didalamnya tentang akuisisi kapal selam. Mungkinkah program kapal selam Indonesia didasarkan pada politik prestise dibandingkan penilaian strategis?” tulisnya.
Ketika Presiden Jokowi melangkah ke Istana pada tahun 2014, ia memiliki impian menghidupkan kembali warisan maritim Indonesia. Dia kemudian membangun sebuah visi poros maritim dunia (Global Maritime Fulcrum). Jokowi membayangkan Indonesia sebagai sebuah kekuatan maritim regional dan ekonomi di Asia Tenggara.
Faktor yang paling penting adalah dengan mendorong kapasitas dan kemampuan Angkatan Laut. Dengan latar belakang meningkatnya ketegangan regional khususnya di Laut China Selatan dan persaingan alutsista yang semakin kompetitif di Asia Tenggara, menurut Dharma, bagian utama dari Global Maritime Fulcrum terletak pada mampu atau tidaknya Angkatan Laut menjaga kepentingan maritim Indonesia.
Dua tahun telah berlalu sejak saat itu. Angkatan Laut sedang dalam proses modernisasi. Bekerja di bawah kerangka Minimum Essential Force (MEF) yang ditinggalkan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tertanam dalam Rencana Pertahanan Strategis.
Menurut standar MEF, Angkatan Laut direncanakan akan memiliki sekitar 154 kapal pada tahun 2024, termasuk didalamnya 10 hingga 12 kapal selam. Dalam beberapa tahun kedepan AL Indonesia diharapkan akan menerima tiga kapal selam Chang Bogo dari Daewoo Shipbuilding Korea dan ada rencana lebih lanjut untuk mendapatkan tiga kapal selam kelas Kilo dari Rusia.
Dharma yang fokus pada penelitian keamanan maritim, hubungan sipil-militer dan perang di masa depan ini mengatakan AL Indonesia memang memiliki sejarah yang panjang dalam mengoperasikan kapal selam, hal yang harus diperhatikan adalah "Waktu telah berubah sejak tahun 1950-an, ketika Indonesia bisa dibilang menjadi salah satu operator kapal selam terkuat di Asia Tenggara. Indonesia perlu mempertimbangkan perubahan dalam karakter konflik dan ancaman yang akan dihadapi," tulis mahasiswa jurusan Studi Strategis ini.
Dharma mempertanyakan apakah Angkatan Laut Indonesia benar-benar membutuhkan 10-12 kapal selam??
Jika mengingat meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, daya tarik untuk mengoperasikan kapal selam memang sangat jelas. Kapal selam adalah senjata klasik untuk pertahanan laut dan dapat bertindak sebagai pengganda kekuatan untuk pertempuran dipermukaan.
Kapal selam berfungsi sebagai pencegah ampuh karena sifat siluman dan senjata mereka. Dalam kondisi perang, kapal selam dapat digunakan untuk mengangkut pasukan melakukan spionase. "Ini sejalan dengan ambisi Angkatan Laut menjadi green-water navy yang mampu menjaga kedaulatan maritim Indonesia".
Meski penting, namun Dharma melihat sedikitnya tiga alasan kenapa kebutuhan akan armada kapal selam ini lebih baik dipikirkan ulang.
1. Tidak begitu Ideal dengan kondisi Geografi
menurut Dharma, kapal selam sebenarnya memiliki keterbatasan dalam beroperasi, jadi menurutnya perlu mempertimbangkan keterbatasan kapal selam itu sendiri dan posisi mereka dalam gambaran yang lebih besar, seperti geografi, karakter ancaman keamanan dan ekonomi.
Pertama, ada keterbatasan mutlak geografi. Perairan Indonesia yang sempit karena terdapat banyak pulau-pulau yang berdekatan dan memiliki perairan dangkal, terutama pada selat yang berfungsi sebagai jalur perdagangan laut dan area nelayan. bersikeras beroperasi di perairan padat dapat menimbulkan resiko tabrakan, yang memiliki konsekuensi akan kehilangan prajurit dan alutsistanya. Selain itu, perairan dangkal akan memaksa kapal selam untuk muncul kepermukaan, maka ini akan menghilangkan sisi silumannya.
Hal yang juga harus diperhatikan bahwa negara-negara Asia Tenggara lainnya juga punya kapal selam dan memiliki pengalaman operasional yang relatif kecil, hal ini dapat meningkatkan kemungkinan kecelakaan.
2. Tidak sesuai ancaman yang dihadapi
Kedua, ada pertanyaan tentang utilitas. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kapal selam dititik beratkan untuk menenggelamkan kapal perang lawan dalam pertempuran. Namun, ancaman keamanan maritim yang dihadapi Indonesia saat ini bukan dari kapal perang negara lain, melainkan berasal dari para pelaku pencurian ikan, penyelundupan dan pembajakan. Kapal selam tidak akan begitu efektif ketika melakukan operasi pengusiran dan penindakan untuk hal seperti ini.
Melihat potensi kehilangan $20-25 juta dolar per tahun, akan lebih masuk akal dan lebih strategis untuk berinvestasi dalam meningkatkan kemampuan kapal permukaan, seperti KCR atau kapal patroli cepat. Faktanya perairan Indonesia sampai saat ini masih tetap menjadi sarang para pelaku pembajakan. Pada tahun 2015, IMB melaporkan ada 108 serangan di perairan Indonesia, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Pasukan Angkatan Laut tersebar dalam jumlah yang kecil dan kita tidak bisa menyalahkan mereka, karena mereka harus menutupi luasnya hamparan laut Indonesia. Para bajak laut beroperasi sama seperti pelaku pencurian ikan, menggunakan speed boat hingga mampu bermanuver dengan cepat. Di sinilah letak keterbatasan penggunaan kapal selam.
Dari tahun 2004 sampai hari ini, patroli bersama trilateral di Selat Malaka telah berhasil meminimalisir kasus pembajakan yang sering terjadi. Keberhasilan ini sebagian besar disebabkan oleh kehadiran angkatan laut yang berkelanjutan disana. Penggunaan Kapal selam tidak akan dapat mencapai hasil yang sama, mengingat mereka lebih nyaman ada di bawah gelombang.
3. Anggaran yang terbatas
Alasan ketiga adalah terbatasnya anggaran. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menghadapi sejumlah pemotongan anggaran yang mempengaruhi semua aspek belanja, termasuk pertahanan. Pada tahun 2016, anggaran pertahanan mungkin dikurangi Rp2,8 triliun yang tentunya akan mempengaruhi rencana belanja alutsista kedepannya.
Penting untuk diingat bahwa biaya alutsista bukan saja tentang pembeliannya, namun juga harus memperhitungkan aspek pemeliharaan yang konstan, yang secara teknis pastinya cukup kompleks. Tanpa infrastruktur yang tepat dan keahlian teknis yang mumpuni, maka secanggih apapun Alutsistanya, ujung-ujungnya akan jadi barang rongsok.
Sebagian besar dari anggaran akuisisi, jelas perlu untuk dibawa ke arah investasi infrastruktur pendukung yang tepat, terutama ke fasilitas galangan kapal. Meskipun kapal selam Chang Bogo yang baru telah selesai, Indonesia telah menunda kedatangannya sampai Desember karena masalah infrastruktur. Selain itu, dibutuhkan keterampilan tingkat tinggi untuk memelihara dan mengoperasikan kapal selam, artinya bahwa pemerintah akan perlu berinvestasi dalam pelatihan khusus.
Mengingat kondisi ini, mungkin kita perlu memikirkan kembali urgensi impian kapal selam kita. Meskipun kapal selam mungkin berguna dalam melawan AL musuh yang kuat. Namun dengan melihat stabilitas geopolitik di Asia Tenggara yang kondusif, sepertinya ancaman yang melibatkan kekuatan militer akan sangat kecil. Dana yang diinvestasikan untuk pengadaan kapal selam mungkin akan lebih baik digunakan dalam meningkatkan kemampuan dipermukaan untuk menanggulangi ancaman para pencuri ikan, penyelundup dan perompak.
"Just An Opinion"
"Just An Opinion"
0 comments:
Post a Comment