Tiap tahun disetiap bulan Agustus, bendera-bendera merah putih menghiasi halaman rumah bergaya art deco di Jalan Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat siang itu. Menurut “tuan rumah” Ari Suryanto, hal itu merupakan rutinitas rumah tersebut tiap Agustus tiba. Selain mempercantik rumah dan halaman, tuan rumah biasanya menggelar bermacam lomba. “Agustus kan bulannya kita”.
Di ruang yang dulu merupakan dapur, tiga pria paruh baya duduk melingkari meja panjang yang terbuat dari jati. Raut wajah mereka tegang dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Maklum, mereka hanyalah patung Sukarno, patung Moh. Hatta, dan patung Ahmad Subardjo.
Ruang itulah yang pada dini hari 17 Agustus 70 tahun silam menjadi tempat ketiga tokoh tadi merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan. Keberadaan mereka di sana atas izin tuan rumah Laksamana Tadashi Maeda. Subardjo yang meminta izin kepada atasannya di Kaigun Bukanfu (kantor penghubung Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Indonesia) itu.
Menuju Proklamasi Kemerdekaan
Pagi sebelumnya, Subardjo dibuat pusing oleh berita hilangnya Sukarno-Hatta. Kabar itu didapatnya sekitar pukul delapan dari Mbah Diro, sapaan akrab Sudiro, sekretaris Subardjo. Hari itu (16 Agustus 1945) padahal Sukarno-Hatta bersama Subardjo harus mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). “Berita tersebut sangat mengejutkan saya. Ini suatu kejadian yang gawat,” kenang Subardjo dalam bukunya, Lahirnya Republik Indonesia.
Subardjo buru-buru mencari tahu. Setelah menginformasikan kepada asisten Maeda Shigetada Nishijima dan memintanya agar Kaigun (angkatan laut) ikut membantu menyelamatkan Sukarno-Hatta, Subardjo bergegas ke rumah Maeda. Laksamana itu sedang duduk termenung ketika Subardjo tiba. Sebelumnya, Maeda mendatangi Gunseikanbu untuk menanyakan kebenaran berita tersebut. Pada waktu hampir bersamaan, Nishijima juga berusaha memastikan kebenaran berita itu dengan mendatangi Soenoto alias Wikana pemuda pejuang yang memimpin Asrama Indonesia Merdeka (AMI) bentukan Maeda.
Maeda terkejut campur senang melihat kedatangan Subardjo. “Mengapa Tuan datang sendiri saja dan tidak dengan Tuan-tuan Sukarno dan Hatta?” tanya Maeda sebagaimana ditulis Subardjo dalam bukunya. Lantaran tak mendapatkan hasil dan malah bingung, Subardjo pun undur diri untuk mencari Sukarno-Hatta.
Menurut sejarawan Aiko Kurawasa, Maeda sejak awal bersimpati besar terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia. Maeda sendiri berulangkali mengungkapkan hal itu. “Tahun 1944, saya membuka permohonan atau pendapat kepada Tokyo supaya memberi kesempatan (Indonesia) untuk merdeka,” katanya ketika diwawancara sejarawan Abdoerahman Soerjomihardjo pada 1973.
Selain permohonan kepada Tokyo, simpati itu antara lain dia wujudkan dengan mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Kebon Sirih. Maeda kerap berhubungan dengan Sukarno dan Hatta, dan kemudian juga para aktivis muda. “Jadi dia mendukung kemerdekaan atas dasar dirinya sendiri, bukan kebijakan angkatan laut atau pemerintah Tokyo,” ujar Aiko.
Atas pemberitahuan dan izin Wikana selaku wakil pemuda yang menuclik Sukarno-Hatta, Subardjo lalu diperbolehkan menyusul Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Adanya jaminan keamanan atas Sukarno-Hatta dari Maeda membuat Subardjo akhirnya berhasil membawa kembali dwi-tunggal ke Jakarta setelah sebelumnya ditentang para pemuda di sana. Sekitar jam delapan malam, mereka tiba di Jakarta. Subardjo lalu menghubungi Hotel Des Indes di kawasan Harmoni untuk meminta tempat guna melanjutkan rapat PPKI yang batal dihelat paginya.
Namun, adanya larangan aktivitas setelah jam 10 malam membuat pihak hotel menolak permintaan Subardjo. Dia langsung menghubungi Maeda untuk meminjam rumahnya guna dijadikan tempat rapat. Maeda membolehkan. “Bagi saya, harus sekarang juga atau secepat mungkin kemerdekaan (harus diberikan) kepada Indonesia,” ujar Maeda. Para peserta rapat PPKI yang menginap di Des Indes pun segera beranjak ke Nassau Boulevard (rumah Maeda).
Di rumah itu, Maeda dan Nishijima sejak petang terus menanti kedatangan Sukarno-Hatta.
Keduanya duduk di ruang tamu. Sekira pukul delapan, mereka berpisah. Nishijima ke serambi depan. “Maeda waktu itu ada di atas, di kamar tidurnya; selanjutnya hanya ada beberapa pembantu di bawah,” kenang Nishijima. Baru sekira pukul 11 malam dua mobil memasuki halaman rumah Maeda. “Di antara mereka saya melihat Soekarni yang mengenakan seragam Peta dan membawa pedang opsir Jepang dan revolver. Lalu Soekarno, Hatta, dan Soebardjo keluar (mobil) dan mereka semua masuk,” ujar Nishijima.
Nishijima melanjutkan, saat banyak tamu masuk ke dalam dan diterima Maeda, dia memilih tetap di teras mendengarkan cerita Subardjo. Di tengah perbincangan, Tomegoro Yoshizumi tiba membawa para anggota PPKI yang akan rapat. Bersama Sukarni dan Sayuti Melik, Nishijima lalu ikut berkeliling guna menghentikan para pemuda yang sudah siap kudeta.
Maeda sendiri berinisiatif meminta kepala Gunseikanbu Mayjen Yamamoto hadir di rumahnya untuk membicarakan masa depan Indonesia. “Pemerintah yang tak dapat bergerak cepat membuat kami harus secepatnya membantu kemerdekaan (Indonesia),” ujar Maeda.
Inisiatif itu bertujuan selain agar Rikugun (Angkatan Darat) tahu kondisi genting saat itu, juga agar Rikugun dan Kaigun berbicara langsung dengan pemimpin Indonesia. Permintaan Maeda itu tak membuahkan hasil. Bersama Sukarno dan Hatta, dia lalu ke rumah Mayjen Nishimura. Hasilnya tak jauh beda. “Saya sudah berdiskusi dengan AD namun mereka cuci tangan. Oke, saya ambil risiko, ambil tekad, biarlah nanti jika salah, saya siap dihukum,” ujar Maeda. Dia lalu meminta Kolonel Miyoshi datang dan berhasil.
Para pemuda yang sudah di rumah Maeda mendesak Sukarno segera menyusun naskah proklamasi. Mereka mendesak Sukarno agar tak lagi bersikukuh mendiskusikan terlebih dulu naskah yang dituntut itu di PPKI. Bagi para pemuda, PPKI merupakan lembaga bentukan Jepang. Proklamasi, kata mereka, harus lahir tanpa campur tangan pihak asing manapun. Perdebatan sengit pun terjadi antara golongan tua yang diwakili Sukarno dan Hatta dengan golongan muda yang diwakili Sukarni dan Chairul Saleh.
Hari Jumat sudah berjalan beberapa jam ketika akhirnya Sukarno, Hatta, dan Subardjo duduk bersama di ruang makan untuk menyusun teks proklamasi. Maeda bersama Nishijima, Yoshizumi, dan Miyoshi juga hadir di ruang itu. Perdebatan menyangkut diksi kalimat-kalimat teks yang dibuat itu beberapakali terjadi. “Waktu itu berunding kalimat pasnya, apakah kata-kata ini, dipasi,” ujar Maeda mengenang.
Menjelang subuh, teks proklamasi selesai
Di dekat piano yang terletak di bawah tangga, Sukarno membacakan teks tersebut untuk memperoleh tanggapan. Para anggota PPKI puas, sementara para pemuda kecewa karena teks tersebut mereka nilai kurang revolusioner. Perdebatan tua-muda kembali terjadi. Maeda tak tinggal diam. “Selama perundingan saya juga ikut diminta pendapat, saya menjawab,” kata Maeda.
Perdebatan kembali muncul tatkala gagasan mengenai siapa saja yang menjadi penandatangan dalam teks proklamasi itu. Sukarno dan Hatta menginginkan semua yang hadir membubuhkan tanda tangan seperti ketika para pendiri Amerika Serikat menandatangani Declaration of Independence. Namun usul itu ditolak. Sukarni akhirnya berteriak mengusulkan idenya: cukup Sukarno dan Hatta saja yang menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia.
Setelah mufakat dicapai, teks itu lalu diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Bersama BM Diah, yang membacakan, Sayuti mengetik teks proklamasi di sebuah ruang kecil di bawah tangga. Teks asli proklamasi yang ditulis Sukarno diamankan oleh BM Diah. Sementara itu, orang-orang di ruang yang kini bernama Ruang Pengesahan merundingkan tempat pelaksanaan proklamasi. Semua sepakat, proklamasi dilangsungkan di rumah Sukarno di Pegangsaan Timur.
Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja di kantor berita dan pers, terutama BM Diah, agar memperbanyak teks proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh penjuru dunia. Mereka lalu saling bersalaman dan pergi ke tempat tujuang masing-masing. “Sesudah naskah jadi, saya naik ke kamar saya. Tidak tidur, hanya berbaring saja,” tutup Maeda.
0 comments:
Post a Comment