Ternyata di sekitar laporan pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang dikenal dengan Pelengkap Nawaksara (10 Januari 1967), pembesar Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lingkaran Soeharto berupaya mengasingkan Bung Karno ke Jepang secara hormat.
Menurut arsip Departemen Luar Negeri Jepang yang baru dibuka atas tuntutan penulis, oknum TNI (namanya dihitamkan dalam dokumen) secara diam-diam menghubungi staf Kedutaan Jepang di Jakarta. Mereka menyampaikan keinginan untuk memberangkatkan Bung Karno ke Jepang dan tinggal di sana dalam jangka waktu cukup lama, paling tidak sampai selesai pemilihan umum yang rencananya digelar tahun 1968.
Laporan pertama mengenai hal tersebut terdapat dalam telegram pejabat sementara duta besar (posisi duta besar kosong sesudah Saito Shizua dipulangkan awal Desember 1966) ke menteri luar negeri pada 30 Desember 1966. Sesudah itu isu ini sering menjadi topik pembicaraan antara kelompok Soeharto dan Kedutaan Jepang. Menurut arsip tersebut, pihak Soeharto yakin bahwa Bung Karno akan dicopot dari kedudukannya sebagai presiden dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), sehingga lebih baik memberangkatkan Bung Karno ke luar negeri selama dia masih berstatus sebagai presiden dan memecatnya selama berada di luar negeri. Ini suatu kebijakan dari pihak Soeharto untuk meringankan kesulitan dan kepahitan yang akan diderita Bung Karno.
Saat itu Ratna Sari Dewi, istri ketiga Bung Karno, kebetulan sudah ada di Jepang sejak November 1966 dalam keadaan hamil dan diperkirakan melahirkan pada Maret 1967. Mula-mula Dewi datang ke Jepang hanya untuk melakukan pemeriksaan, dan itu pun melawan keinginannya sendiri. Dewi berencana pulang ke Indonesia sesudah pemeriksaan, tapi dicegah dokter atas permintaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Majalah mingguan Jepang, Josei Jishin, tanggal 23 Januari 1967 melansir isi surat antara Bung Karno dan Dewi selama Desember 1966 yang diantarkan melalui jasa keluarga salah satu ajudan Bung Karno. Menurut surat itu, Bung Karno shock atas keputusan Dewi melahirkan di Tokyo. Menurut pengakuan Dewi kepada penulis, dia juga shock ketika disarankan demikian oleh dokter. Ternyata keputusan melahirkan di Jepang membawa dampak buruk dan mengakibatkan perpisahan Bung Karno dari Dewi selama-lamanya. Karena Bung Karno amat merindukan Dewi, pihak Soeharto berpikir bahwa mungkin Bung Karno setuju ke luar negeri kalau tujuannya adalah Jepang.
Di Jepang mulai beredar rumor kemungkinan Bung Karno exile ke Jepang. Di antaranya muncul berita dalam Asashi Shinbun 6 Februari 1967 bahwa, atas permintaan Dewi, Partai Komunis Jepang akan membantu Bung Karno keluar ke Jepang, yang dengan segera dibantah partai tersebut. Kenyataannya, Bung Karno tak setuju ke luar negeri dan Dewi pun secara resmi membantah rencana kedatangan Bung Karno. Dia mengundang para wartawan pada malam tanggal 7 Februari ke kediamannya di Setagaya, Tokyo, dan menyampaikan pernyataan melalui staf KBRI. Isinya membantah exile Bung Karno ke Jepang.
Rupanya upaya mendorong Bung Karno berangkat ke Jepang tetap dilanjutkan di Indonesia dan kendati belum ada permintaan resmi dari pemerintah Indonesia, pemerintah Jepang sudah mengadakan berbagai persiapan. Umpamanya, atas informasi dari Departemen Luar Negeri bahwa ada kemungkinan besar Sukarno akan berangkat ke Jepang dalam waktu dekat, kepala Komisi Nasional Keselamatan Umum pada 9 Februari memerintahkan Kapolda Metropolitan Tokyo agar bersiap-siap (Yomiuri Shinbun, 10 Februari 1967).
Departemen Luar Negeri menyampaikan sikap pemerintah Jepang terhadap isu ini kepada Kedutaan di Jakarta. Isinya kurang lebih sebagai berikut:
Asalkan kunjungan ke Jepang diinginkan pemerintah Indonesia dan disetujui Bung Karno, kami akan menerimanya. Bung Karno harus bersumpah tidak akan mengadakan kegiatan politik. Kalau beliau datang bukan sebagai presiden, harus ada persetujuan tertulis oleh pemerintah Indonesia dan juga Bung Karno harus membawa paspor dan visa yang legal.
Meskipun Bung Karno tidak mendapat persetujuan dari pemerintah Indonesia, mungkin pemerintah Jepang sulit menolak kedatangannya kalau sudah diminta. Maka, harap diupayakan agar menggagalkan rencana itu sedapat mungkin.
Diberitakan pula bahwa dua pembesar pemerintah Indonesia sudah berangkat ke Jepang dengan pesawat Garuda pada 11 Februari dan kunjungan mereka dikira berkaitan dengan kedatangan Bung Karno ke Jepang (Asahi Shinbun 11 Februari 1967). Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan kepada wartawan Jepang di Jakarta bahwa memang ada upaya memberangkatkan Bung Karno ke Jepang, tetapi ini bukan kebijakan resmi pemerintah.
Pada 14 Februari, Yomiuri Shinbun memuat berita bahwa Bung Karno sudah memutuskan mengundurkan diri sebagai presiden dan siap ke luar negeri. Koran itu juga memberitakan bahwa pemerintah Jepang mempercepatkan persiapan penerimaan Bung Karno. Tapi persis pada hari itu Bung Karno muncul di hadapan wartawan sesudah upacara menerima persetujuan Duta Besar Jepang yang baru Akira Nishiyama, dan dalam pertemuan itu dia membantah rencana ke luar negeri. Koresponden Yomiuri Shinbun di Jakarta Yoshimasa Abe menyesalkan kekeliruannya dan dia hampir menyerahkan surat pengunduran diri ke atasannya. Dia percaya berita itu karena mendapatkannya dari Sigetada Nishijima, teman dekat Adam Malik sejak masa Jepang dan sering tukar-menukar informasi dengannya.
Apakah Bung Karno jadi ke Jepang atau tidak masih simpang-siur selama bulan Februari dan Maret. Bung Karno kehilangan kedudukannya sebagai presiden dan Soeharto terpilih sebagai pejabat sementara presiden dalam sidang MPRS tanggal 7 Maret. Ironisnya, justru pada hari itu Dewi melahirkan putrinya, Kartika, di Rumah Sakit Universitas Keio, Tokyo. Karena Bung Karno tetap menolak meninggalkan Indonesia, dia dijadikan tahanan rumah tanpa mendapatkan pengobatan yang memadai. Bung Karno wafat pada Juni 1970 dalam keadaan memprihatinkan, tanpa sekalipun bertemu dengan Kartika.
Penulis adalah sejarawan Keio University, Tokyo, Jepang.
0 comments:
Post a Comment