Pernyataan
Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini yang menjanjikan anggaran pertahanan
RI tahun 2018 bisa naik dua kali lipat dari yang sekarang sesungguhnya adalah
pernyataan yang membungakan, membanggakan dan sekaligus mengharukan. Betapa
tidak, meski dibelakangnya ada embel-embel jika penerimaan pajak tahun 2017
sukses, sejatinya pernyataan Srikandi itu ingin menjelaskan kepada kita bahwa
pemerintah komit untuk memprioritaskan soal pertahanan bangsa besar ini.
Tahun ini
anggaran pertahanan kita mencapai 108 trilyun, angka itu saja sudah yang
terbesar jika dibanding dengan sektor lain. Dengan itu kita bisa melanjutkan
program modernisasi alutsista, sebuah cita-cita yang wajib dicapai jika bangsa
ini paham dengan kebesaran harga dirinya, harga sumber daya alamnya, harga
kebhinnekaannya dan harga nasionalisnya.
Kita bersyukur karena selama setahun
tahun terakhir ini pemerintah kita sudah sadar diri bahwa membesarkan harga
diri pertahanan tidak lagi terkait dengan korelasi peningkatan kesejahteraan
atau pertumbuhan ekonomi. Pertahanan adalah pertaruhan eksistensi berbangsa dan
bernegara termasuk menjaga kedaulatan sumber daya alam yang bergizi tinggi itu.
Besarnya
anggaran pertahanan yang dikucurkan hendaknya diimbangi dengan pengelolaan
anggaran yang profesional. Karena manisnya madu anggaran alutsista mudah
membuat kita tergoda gairahnya, lalu mencoba mencuri cicip, sedikit-sedikit,
gak ada yang lihat dan KPK pun gak punya radar, lalu akhirnya terkena diabetes
korupsi. Contohnya sudah ada, seorang jendral bintang satu TNI AD di Kemhan
akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup dan dipecat dari TNI karena kebanyakan
curi cicip madu alutsista sampai $12 juta dollar AS.
Angka jutaan dollar itu kalau dirupiahkan mencapai angka156 milyar dikantongi sendiri oleh
sang perwira dalam proses pembelian 24 jet tempur F-16E/F Block 52ID dan 8
helikopter AH-64E Apache Guradian dari AS sebagaimana terbukti di sidang
pengadilan militer akhir tahun lalu.
Kita ketahui bahwa untuk mendatangkan 24
jet tempur F-16E/F Block 52ID Indonesia merogoh kocek US$700 juta dan 8
helikopter AH-64E Apache Guardian senilai US$ 295 juta dalam skema anggaran
multy years.
Setelah
kasus itu ternyata masih ada lagi seorang perwira berpangkat kolonel TNI AU
yang juga tergiur manisnya madu anggaran alutsista, lalu tergelincir dalam
kubangan korupsi. KSAU yang baru dilantik Marsekal Hadi Tjahjanto barusan
mengungkapkan ke publik bahwa ada perwiranya tersandung kasus korupsi di
Kemhan. Kasusnya sedang dalam proses hukum, belum ada vonis. Dua kasus diatas
sesungguhnya hanya “contoh soal” yang ketahuan oleh “pengawas ujian” berlaku
curang.
Kemhan
sebagai pintu gerbang pengadaan alutsista dengan anggaran yang cukup besar
diyakini banyak dirayu berbagai produsen alutsista luar negeri. Yang namanya
rayuan tentu segala cara dilakukan termasuk iming-iming dan saudaranya
iming-iming.
Dalam dunia bisnis manapun, marketernya pastilah cerdas, lihai
sekaligus licik. Dalam pola tawar produk, berbagai “fasilitas mewah”
ditawarkan. Masih segar dalam ingatan ketika proses rayuan untuk deal proyek
jet T-50i Golden Eagle dengan Korsel, tim kita sampai difasilitasi pesawat
kepresidenan Korsel dan fasilitas mewah lainnya. Akhirnya kita deal 16 jet
latih tempur T-50i Golden Eagle senilai US$ 400 juta tanpa radar.
Tugas besar
dan basah itu mengharuskan Kemhan bergerak lincah mengelola anggaran dan
kebutuhan alutsista user. Petingginya harus mampu membawa bahasa koordinasi
internal dan eksternal dengan bahasa jelas dan tegas. Termasuk dengan para
usernya yang bernama TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Misalnya soal pengadaan
Helikopter AgustaWestland AW101 sudah ditolak RI-1 kok masih berani dibeli.
Maka wajar jika publik membacanya dengan bahasa: ada udang dibalik batu.
Juga soal
pemberitaan terkini yang mengatakan bahwa Kemhan akan membeli 5 unit pesawat
militer baru angkut berat jenis Airbus A400M senilai US$ 2 milyar, kemudian
dipertanyakan oleh user TNI AU dan Panglima TNI. Ini adalah contoh soal yang
lain bagaimana potret merawat dan mengembangkan bahasa koordinasi yang belum
cum laude di institusi terkait. Bagaimana pun publik bisa membacanya dengan
komentar sederhana : kok bisa ya.
Bahasa dan
keinginan khalayak pecinta NKRI sesungguhnya mengharapkan program modernisasi
militer negerinya punya grand strategy yang jelas dan matang. Misalnya soal jet
tempur Sukhoi Su-35, anggarannya sudah jauh hari disediakan tetapi mengapa
begitu berlarutnya keputusan yang diambil. Termasuk jumlahnya mengapa hanya 8
unit. Mengapa tidak dijelaskan kalau itu tahap pertama lalu tahun depan
ditambah lagi orderannya 8 unit lagi. Sehingga dalam dua tiga tahun mendatang
kita punya 16 Sukhoi Su-35. Jaminannya adalah anggaran tahun depan membesar
signifikan.
Masih banyak
yang lain, misalnya pengadaan peluru kendali darat ke udara jarak sedang untuk
melindungi Ibukota Jakarta dan Natuna, lanjutan kapal selam Changbogo class
jilid empat, lanjutan PKR 10514 jilid tiga dan lain-lain. Kita jelas butuh
batalyon arhanud berupa satuan peluru kendali jarak sedang untuk melindungi
Jakarta dan kota besar lainnya. Jika anggaran pertahanan tahun depan meningkat
tajam, maka alutsista yang kita butuhkan akan lebih banyak kita dapatkan.
Tetapi tentu bukan untuk membeli banyak merek sehingga menciptakan model show
room alutsista, padahal yang dibeli sedikit.
Kapal selam
Changbogo yang dibuat dengan model transfer teknologi sangat pantas
dilanjutkan. Sama halnya dengan proyek PKR 10514 untuk menerapkan ilmu transfer
teknologi yang baru didapat. Jangan karena ada tawaran dari produsen lain
dengan iming-iming mengiurkan lalu berubah pikiran. Publik sedang membicarakan
alutsista harapannya seperti kelanjutan produksi Panser Anoa buatan dalam
negeri, ternyata yang datang yang tak terduga, misalnya si APC M113 itu yang
jumlahnya ratusan.
Manisnya
madu anggaran alutsista akan terasa lebih manis jika pemanfaatannya tepat guna,
tepat waktu dan tepat biaya. Bisa dibayangkan jika anggaran pertahanan tahun
depan mencapai 200 trilyun, kita bisa dapatkan beberapa kapal perang gres kelas
fregat, beberapa skadron jet tempur dan lain-lain untuk disebar di pangkalan
militer luar Jawa. Bukankah Presiden sudah memerintahkan agar sebaran tentara
dan alutsista tidak menumpuk di Jawa alias Jawa Sentris.
Maka sebaran
alutsista itu harus diperbanyak lebih dulu. Memperbanyak kualitas dan kuantitas
alutsista tentu perlu anggaran besar. Itu sudah sedang dan akan dilakukan
pemerintah. Tugas besar Kemhan adalah memastikan penggunaan anggaran sesuai
peruntukannya, sesuai usulan pengguna. Ini adalah pekerjaan yang banyak godaan
dan rayuannya. Ritme itu yang saat ini sedang dipantau ketat oleh publik kita.
0 comments:
Post a Comment