Saturday, 12 November 2016

Masa Depan Alutsista Indonesia Dipertaruhkan


Indonesia mungkin menghadapi rintangan dalam upaya untuk mendirikan industri pertahanan yang independen pada tahun 2024 karena pemerintah mengalami kendala dengan transfer teknologi yang dibutuhkan dalam pembelian senjata, kata seorang pejabat.
Dalam upaya mengganti alat utama sistem senjata (Alutsista) yang usang, pemerintah mengeluarkan peraturan tahun 2012 mengenai industri pertahanan, yang menyatakan bahwa Indonesia harus memperoleh teknologi senjata setiap kali membeli senjata baru dari luar negeri.
Bagaimanapun, Indonesia tidak terlibat dalam aliansi pertahanan atau militer internasional, seperti Five Power Defense Arrangement (FPDA) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), telah menghambat upaya negara untuk mendapatkan pengetahuan teknologi.
Selama presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) mengembangkan rencana strategis untuk mendorong industri pertahanan nasional.
Fokus pada rencana tahap pertama, 2010-2014, adalah untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan kontrol desain.
Pada tahap kedua, 2015-2019, fokus telah bergeser ke kontrol teknologi, yang bertujuan untuk meningkatkan produksi bersama dengan pemasok asing untuk mengembangkan persenjataan baru. Ini berkonsentrasi pada mengurangi ketergantungan pada pemasok asing.
Komite sebelumnya memutuskan bahwa Indonesia harus menerapkan mekanisme transfer teknologi dalam pengadaan tujuh sistem senjata diprioritaskan, yaitu kapal perang, kapal selam, tank, jet tempur, rudal, radar dan propelan.
BUMN produsen peledak Indonesia, PT Dahana telah membentuk usaha patungan dengan Anglo-Perancis, perusahaan Sistem propulsi Roxel Group dan perusahaan kimia Perancis, EURENCO, untuk mengembangkan propelan. Pabrik dibangun di Subang, Jawa Barat, beroperasi sejak 2014.
Baru-baru ini, Indonesia telah memesan tiga kapal selam dari perusahaan pertahanan Korea sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi program minimum essential force (MEF) Indonesia. Pemerintah mengatakan akan memastikan transfer pengetahuan jika kemitraan itu dibuat prioritas.
“Kapal selam pertama dan kedua dikembangkan di Korea Selatan. Untuk kapal selam pertama, kami mengirim orang Indonesia ke Korea Selatan untuk pelatihan sedangkan untuk kapal selam kedua, teknisi kami sudah terlibat dalam pembangunan. Kapal selam ketiga akan dikembangkan oleh PT PAL,” kata wakil ketua tim eksekutif KKIP Eris Heriyanto, saat menjelaskan proses transfer teknologi.
Beberapa perusahaan asing, termasuk perusahaan pertahanan Saab Swedia, Lockheed Martin serta Leonardo-Finmeccanica, telah menyatakan kesiapan mereka untuk mentransfer pengetahuan dan teknologi jika Indonesia memutuskan untuk bekerja sama.
Namun, kepala divisi transfer teknologi dan offset KKIP Rachmad Lubis mengatakan anggaran pertahanan negara yang terbatas menjadi rintangan Indonesia dalam memperoleh transfer pengetahuan dan teknologi.
Dia mencontohkan China yang menjanjikan teknologi untuk Indonesia dan bersedia mentransfer pengetahuan jika membeli setidaknya 150 rudal. Jika tidak, Jakarta harus membayar 250 juta dollar Amerika Serikat kepada Beijing hanya untuk membeli teknologi saja. Namun, dengan anggaran yang tersedia Indonesia hanya mampu membeli lima rudal, kata Rachmad.
“Bayangkan, harga yang ditawarkan untuk rudal dari China 60 persen lebih murah dari harga rudal buatan Eropa dengan kemampuan yang relatif sama, tapi kami terhambat oleh anggaran yang terbatas,” kata Rachmad kepada wartawan.
Namun, ia tetap optimis bahwa produsen senjata akan terus melihat Indonesia sebagai mitra potensial mengingat kebijakan pemerintah untuk mempercepat modernisasi sistem persenjataan.

0 comments:

Post a Comment