Tuesday, 8 November 2016

Militer Jepang Mengejar China Hingga Ke Afrika

Berdiri memelakangi Selat Bab el-Mandeb, yang memisahkan antara Laut Merah dan Samudera Hindia yang menjadi jalur 30 persen lalu lintas pengiriman dunia, telah menjadi pusat kompetisi geostrategis di Afrika dalam beberapa tahun terakhir.
Permintaan China untuk membangun pangkalan militer pertama di negara gurun kecil menjadi berita utama akhir tahun lalu, terutama karena kedekatan instalasi mereka dengan fasilitas Amerika yang menjadi pangkalan terbesar di benua Afrika.

Jepang baru-baru ini juga melangkah. Tokyo telah mengadakan negosiasi dengan pemerintah Djibouti untuk memperluas pos militer kecil mereka di sana dan membawa pesawat angkut C-130, kendaraan lapis baja Bushmaster dan personel tambahan.


Setelah Presiden Djibouti Ismail Omar Guelleh memutuskan untuk menendang keluar sebuah pos sekunder Amerika di selatan negara itu untuk dijadikan ruang bagi fasilitas China di masa depan, Tokyo mulai khawatir pos militernya akan mengalami nasib yang sama. Menyadari bahwa perilaku Guelleh yang semakin tidak menentu bisa membahayakan keamanan nasional, terutama setelah presiden Djibouti tersebut untuk keempat kalinya berturut-turut memegang tampuk kekuasaan pada bulan April dengan membunuh puluhan tokoh oposisi, menangkap wartawan dan menyiksa aktivis.

Meski keputusan mengejutkan Jepang untuk memperluas pangkalan di Djibouti ini dianggap melampaui kapasitas dalam menjamin kepentingan keamanannya, namun langkah itu harus dilihat dalam konteks sebaliknya yaitu keinginan Tokyo untuk lebih terlibat di benua Afrika dan mengimbangi perilaku agresif China di Laut China Selatan dan di tempat lain.


Konferensi Internasional Pembangunan Afrika-Tokyo atau Tokyo International Conference on African Development (TICAD) keenam, yang dilakukan Jepang dan Uni Afrika pada 27 dan 28 Agustus, diadakan di Afrika untuk pertama kalinya dan Jepang berjanji untuk melakukan investasi pada proyek pembangunan senilai US$30 miliar.
Investasi murah hati ini dilakukan jelas untuk tujuan jangka panjang Jepang di Afrika: dengan ekonomi yang China melambat dan celah ketergantungan ekspor yang ditinggalkan oleh Beijing kepada beberapa negara Afrika termasuk Angola dan Afrika Selatan, mendorong Tokyo siap untuk mengisi kekosongan tersebut. Dengan kata lain Tokyo akan mengejar China ke manapun dan menyainginya dengan segala cara.


Cara ini juga terlihat jelas di Asia, pencarian paralel Jepang yang dilakukan untuk mendapat sekutu terus berlanjut. reklamasi lahan skala besar China di Laut China Selatan dan Timur telah memperpanas hubungan dengan banyak negara ASEAN. Sejumlah fakta bahwa China menggunakan pulau reklamasi ini untuk tujuan militer akan meningkatkan tren hubungan yang tidak nyaman di wilayah tersebut.
Beijing sekarang mampu untuk menyerang sasaran di Filipina dan Singapura dengan rudal balistik, rudal jelajah dan pesawat tempur dari terumbu karang Fire Cross, Subi and Reef.
Militer Cina juga bisa menyebarkan sistem anti access/area denial (A2 / AD) dalam semalam. Landasan pacu sepanjang 10 ribu kaki juga telah menjadikan banyak orang khawatir dan akhirnya mengganggu hubungan China dan negara-negara di wilayah itu.


Jepang mencoba memanfaatkan situasi ini dengan meningkatkan hubungan dengan negara-negara yang sedang gelisah karena kebangkitan China. Pada bulan September, pemerintah Jepang mengumumkan akan memberikan dua kapal patroli baru ke Vietnam setelah sebelumnya mengirim 10 kapal patroli ke Filipina . Selain itu, setelah negosiasi alot, Jepang dan Korea Selatan akhirnya menyelesaikan isu “Wanita Penghibur” era Perang Dunia II dalam kesepakatan yang ditengahi dengan bantuan Amerika Serikat pada bulan Desember 2015. Isu ini selalu mengganjal hubungan kedua negara.

Dialog trilateral Jepang-Amerika Serikat-Australia juga menjadi kemitraan kunci lain untuk Tokyo. Pada pertemuan terbaru mereka di Washington Juli lalu, para menteri luar negeri dari ketiga negara bersatu untuk mengekspresikan oposisi mereka terhadap gerakan reklamasi China di Laut China Selatan. 
Meski Jepang telah energik dalam mengorganisir sebuah front untuk bersatu, namun salah jika menganggap China akan gentar dengan semua itu karena China terus menantang semua kekuatan dunia yang mencoba melawannya dalam klaim laut China Selatan dan Timur.

0 comments:

Post a Comment