Dibanding negara lain di Asia Tenggara, boleh dibilang
militer Indonesia menjadi yang paling ‘kaya’ dalam keragaman rudal hanud
(pertahanan udara). Sebut saja yang saat ini aktif ada RBS-70, SA-7 Strela,
Grom, Mistral, QW-3, Chiron, dan Starstreak. Meski masing-masing punya sisi
kehandalan tersendiri, namun kesemuanya masuk dalam kategori MANPADS Very Short Air Defence. Soal keunggulann
mobilitas dan perawatan, tentu tak usah diragukan.
Tapi yang jadi soal, jarak tembak yang amat terbatas
tentu tidak sesuai dengan kebutuhan hanud titik secara komprehensif. Taburan
MANPADS yang tersebar digunakan oleh TNI AD, TNI AL, dan TNI AU, hanya sanggup
meladeni sasaran yang terbang rendah, pada ketinggian maksimum 4.000 meter.
Kemampuan menguber sasaran pun paling banter dipatok sejauh 8.000 meter. Dalam
doktrin Kohanudnas, untuk merespon sasaran yang terbang lebih tinggi,
dikedepankan peran hanud terminal, yakni jet interceptor.
Tidak ada yang keliru dari stategi hanud diatas, tapi
jelas sudah sangat ketinggalan jaman, mengingat konsep diatas tidak disiapkan
untuk merespon meluncurnya rudal jelajah yang dilepaskan dari kejauhan, plus
jumlah pesawat tempur TNI AU yang terbatas, dipastikan coverage suatu hotspot
belum tentu bisa optimal saat dibutuhkan.
Meski sampai saat detik ini, Arhanud TNI masih berkutat
di zona SHORAD, untungnya itikad untuk melakukan pembenahan pada sistem
alutsista hanud mulai mendapat titik terang. Seperti dikutip dari pernyataan
Komandan Korpaskhas Marsekal Muda TNI Adrian Watimena di majalah Commando edisi 2 Tahun 2016, disebutkan bahwa saat ini sedang dalam proses pengadaan sista
hanud MERAD (Medium Air Defence). “MERAD ini jaraknya antara 50 – 100 km dan
masuk dalam program Minimum Essential Force tahap II pada periode 2015 – 2019.”
Dalam segmen MERAD, beberapa kandidat telah dilirik dan
dikunjungi oleh tim terkait. Sebut saja ada nama NASAMS (National Advanced
Surface to Air Missile System) dari Norwegia, LY-80, Flying King, dan Sky
Dragon 50. Ketiga yang disebut terakhir berasal dari Cina. Belum jelas siapa
diantara keempat kandidat yang nantinya akan dipilih Kemhan (Kementerian
Pertahanan) RI. Namun melihat potensi konflik di Laut Cina Selatan, alangkah
bijak bila TNI dan Kemhan tak memilih produk dari Cina. Selain itu sudah
terlalu banyak alutsista TNI yang berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Bila diasumsikan yang dipilih adalah NASAMS, maka ini
pertama kali bagi Norwegia memasok sistem rudal untuk TNI. NASAMS dibuat oleh
Kongsberg, dan Kongsberg selama ini telah akrab di lingkungan TNI AL, yakni
sebagai pemasok Combat Management System (CMS) MSI-90U MK2 untuk kapal selam
Nagabanda Class yang dibeli dari Korsel dan Hugin 1000 AUV (Autonomous
Underwater Vehicle) yang ada di KRI Rigel 933 dan KRI Spica 934. Jadi untuk
urusan lobi penjualan bukan memulai dari nol lagi.
Lebih tepatnya sistem NASAMS digadang oleh Kongsberg
Defence & Aerospace dan Raytheon. Karena ada nama Raytheon, maka basis
pemasaran rudal ini mampu menembus pasar Amerika Serikat. Bahkan NASAMS
dipercaya sebagai rudal hanud yang melindungi obyek vital di Washington DC,
termasuk Gedung Putih. Dengan label Raytheon, bisa ditebak basis pengembangan
rudal mengacu pada basis rudal eksisting. NASAMS sendiri merupakan versi SAM dari AIM-120 AMRAAM, rudal udara ke udara jarak sedang mematikan dan sudah sangat kondang di kalangan NATO.
Kolaborasi Kongsberg dan Raytheon disepakati dalam
kontrak kerjasama selama 10 tahun, dimulai sejak 2015 sampai 2025. Sistem hanud
NASAMS secara keseluruhan dapat memantau, mengidentifikasi, dan mengeliminasi
sasaran berupa pesawat tempur, helikopter, rudal jelajah, dan drone.
Sistem ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi,
terlibat dan menghancurkan pesawat, helikopter, rudal jelajah dan kendaraan
udara tak berawak (UAV). Sejak generasi pertama diperkenalkan pada tahun 1998,
kini Kongsberg telah merilis NASAMS II. Varian terbaru ini sudah menggunakan
jenis radar baru, dan 12 peluncur rudal untuk merespon sasaran yang dinamis.
Selain Norwegia dan AS, NASAMS II telah digunakan oleh Oman, Finlandia dan
Belanda.
Apa yang membuat NASAMS terlihat special?. Salah satunya
adalah sudah mengadopsi network centric, seperti yang diusung jet tempur Gripen NG produksi Saab. Dengan network centric menydiakan open architecture yang mampu
membuat sistem pertahanan terintegrasi dapat lebih tahan terhadap peperangan
elektronika. NASAMS secara simultan dapat memindai 72 sasaran sekaligus dalam
mode akif dan pasif.
Dalam sistem NASAMS terdiri dari peluncur rudal AIM-120
AMRAAM berpemandu active radar homing, radar Raytheon MPQ-64F1 Sentinel
high-resolution, sensor infra red (IR) dan electro optic (EO), dan command post
atau FCU (Fire Control Unit). MPQ-64F1 adalah 3D beam surveillance radar yang
punya jarak pantau hingga 75 km. Nah, untuk rudal AIM-120 AMRAAM bisa dipilih,
Raytheon menyediakan empat opsi, AIM-120 A/B dengan jarak tembak 55- 75 km,
AIM-120C (105 km), AIM-120D (180 km), dan AIM-120 ER (Extended Range) dengan
jarak tembak 40 – 50 km lebih jauh dari AIM-120D. Namun AIM-120 ER baru akan
diproduksi pada tahun 2019.
Apakah nantinya NASAMS yang akan memperkuat MERAD Arhanud
TNI di masa depan?, Kita tunggu saja kabar berikutnya. Yang jelas vendor dari
Cina tak akan tinggal diam, fitur canggih dengan harga miring pastinya selalu
menggoda.
0 comments:
Post a Comment