Tuesday, 17 January 2017

Su-35 Punya Kunci Penting Untuk Kalahkan F-22 Raptor


F-22 Raptor adalah salah satu pesawat tempur paling canggih di dunia. Tetapi memiliki beberapa kelemahan yang bisa menjadikannya tidak mampu melawan pesaing utama saat ini, Su-35 Flanker-E Rusia.

Salah satunya, pesawat ini buta dalam inframerah sementara beberapa dari rival potensial telah menggunakan inframerah-search-and-track sensor (IRST) yang secara efektif memungkinkan mereka untuk memindai panas pesawat tempur musuh.

Pesawat tempur AS terakhir yang memiliki sensor IRST sejak pengembangan adalah F-14 Tomcat. F/A-18 Super Hornet sekarang memiliki pilihan untuk membawa droptank centerline dengan IRST, yang akan membuatnya mahal jika harus dijatuhkan ketika terlibat pertempuran udara. (Droptank memang selalu dijatuhkan jika terjadi dogfight untuk memaksimalkan maneuver).

F-22 juga tidak memiliki radar side-looking (radar pencari samping) yang memungkinkan pesawat untuk menembakkan rudal tetapi memerlukan update target di tengah jalan sementara pesawat berubah arah hingga lebih dari 90 derajat dari arah target.

Tanpa radar seperti itu, sebuah pesawat harus tetap mengarah ke pesawat musuh yang berarti akan semakin dekat ke musuh hingga mempertinggi risiko ditembak lawan.

Alasan munculnya kekurangan ini kembali ke sejarah awal Raptor. F-22 berawal dalam program Advanced Tactical Fighter yang dimulai pada tahun 1981. Angkatan Udara AS memberikan General Dynamics dan McDonnell Douglas kontrak untuk pekerjaan desain awal untuk pesawat tempur udara ke darat yang bisa terbang dengan kecepatan 2,5 Mach untuk ketinggian menengah, dan membawa senjata untuk menghancurkan tank dan target darat lainnya.

Tidak ada program yang sejak awal dirancang demikian. Bahkan F-16 Fighting Falcon, awalnya dirancang sebagai pesawat tempur udara ke udara untuk siang hari, yang kemudian baru dikembangkan menjadi pesawat dengan misi serangan udara ke darat. 

Pada akhir tahun 1985, Angkatan Udara AS membuat sejumlah perubahan persyaratan seiring berkembangnya program, termasuk penekanan lebih besar pada teknologi siluman. Ini juga mengubah proses seleksi sehingga, empat perusahaan masing-masing menerima sekitar US$ 100 juta dan dua kontrak akan diberikan masing-masing sebesar US$ 700 juta untuk menghasilkan prototipe.

Salah satu prototipe akan didukung oleh mesin Pratt & Whitney F119 dan yang lainnya dengan mesin General Electric F120. Pada waktu hampir bersamaan, Angkatan Udara AS mengirim surat kepada perusahaan yang bersaing untuk mempercepat waktu pengerjaan.

Ide di balik ini adalah bahwa Angkatan Udara AS ingin sebanyak mungkin kemampuan untuk program besar dan mahal. Akibatnya, Boeing, Lockheed dan General Dynamics membentuk satu tim, dan Northrop dan McDonnell Douglas terbentuk lain. Sementra Rockwell dan Grumman tidak bergabung menjadi tim alias bekerja sendiri.

Biaya Avionik Terpangkas

Pada 31 Oktober 1986, Angkatan Udara mengumumkan Lockheed dan Northrop sebagai pemenang tahap awal program Advanced Tactical Fighter. Perjanjian antara Boeing, General Dynamics dan Lockheed menyerukan perusahaan pemenang untuk menjadi pemimpin tim, sehingga Lockheed mengambil peran itu. Tim yang menang diberi waktu empat tahun untuk menghasilkan prototipe.

Desain Lockheed pada tahap ini memiliki sebuah teluk senjata rotary besar yang mendorong mesin dan inlet lebih keluar, pada gilirannya menghasilkan daya yang berlebihan dari gelombang hambatan. Ini persis dengan apa yang terjadi pada F-35 Joint Strike Fighter dengan kipas angkat vertikal membuat pesawat terlalu lebar dan draggy. Kipas angkat vertikal adalah dosa awal dari desain F-35.

Angkatan Udara awalnya menginginkan delapan rudal bisa dibawa secara internal di dalam teluk senjata utama F-22 yang kemudian dikurangi menjadi enam ketika kedua tim desain menyimpulkan ini tidak bisa dilakukan secara efektif.

Tantangan dasar F-22 adalah untuk mengintegrasikan kemampuan siluman, supercruise, avionik dan kelincahan dalam pesawat dengan jangkauan yang lebih panjang dari F-15 Eagle yang akan digantikan. Pesawat ini juga memiliki dua kali keandalan F-15 dan setengah persyaratan dukungan.

Desain dari Lockheed dan Northrop memiliki sayap diamond-shaped dengan long root chord yang bergabung dengan sayap ke badan pesawat, menyediakan jalur beban lebih terdistribusi. Sayap besar juga memberikan volume bahan bakar yang lebih banyak. 

Namun pada Januari 1989, Angkatan Udara AS memutuskan hanya menyediakan biaya avionik F-22 sebesar US$ 9 juta per pesawat dalam produksi. Padahal Lockheed membutuhkan lebih dari US$ 16 juta avionik di setiap pesawat. Dengan demikian, IRST pun akhirnya ditinggalkan bersama sejumlah sistem lainnya, termasuk, radar pencari samping.

Kekuatan pemrosesan elektronik dan ketajaman optik telah meningkat dalam dekade terakhir sehingga biaya avionik relatif lebih murah. Tetapi entah kenapa teknologi IRST dan radar pencari samping tidak juga diinstal.


Sementara 27 tahun kemudian, pesaing utama F-22, yakni Su-35 Flanker-E Rusia telah memiliki inframerah-search-and-track dan radar cheek-mounted. Inilah kunci penting Su-35 untuk bisa mengalahkan Raptor.

0 comments:

Post a Comment