F-22 Raptor
adalah salah satu pesawat tempur paling canggih di dunia. Tetapi memiliki
beberapa kelemahan yang bisa menjadikannya tidak mampu melawan pesaing utama
saat ini, Su-35 Flanker-E Rusia.
Salah
satunya, pesawat ini buta dalam inframerah sementara beberapa dari rival
potensial telah menggunakan inframerah-search-and-track sensor (IRST) yang
secara efektif memungkinkan mereka untuk memindai panas pesawat tempur musuh.
Pesawat
tempur AS terakhir yang memiliki sensor IRST sejak pengembangan adalah F-14
Tomcat. F/A-18 Super Hornet sekarang memiliki pilihan untuk membawa droptank
centerline dengan IRST, yang akan membuatnya mahal jika harus dijatuhkan ketika
terlibat pertempuran udara. (Droptank memang selalu dijatuhkan jika terjadi
dogfight untuk memaksimalkan maneuver).
F-22 juga
tidak memiliki radar side-looking (radar pencari samping) yang memungkinkan
pesawat untuk menembakkan rudal tetapi memerlukan update target di tengah jalan
sementara pesawat berubah arah hingga lebih dari 90 derajat dari arah target.
Tanpa radar
seperti itu, sebuah pesawat harus tetap mengarah ke pesawat musuh yang berarti
akan semakin dekat ke musuh hingga mempertinggi risiko ditembak lawan.
Alasan
munculnya kekurangan ini kembali ke sejarah awal Raptor. F-22 berawal dalam
program Advanced Tactical Fighter yang dimulai pada tahun 1981. Angkatan Udara
AS memberikan General Dynamics dan McDonnell Douglas kontrak untuk pekerjaan
desain awal untuk pesawat tempur udara ke darat yang bisa terbang dengan
kecepatan 2,5 Mach untuk ketinggian menengah, dan membawa senjata untuk
menghancurkan tank dan target darat lainnya.
Tidak ada
program yang sejak awal dirancang demikian. Bahkan F-16 Fighting Falcon,
awalnya dirancang sebagai pesawat tempur udara ke udara untuk siang hari, yang
kemudian baru dikembangkan menjadi pesawat dengan misi serangan udara ke darat.
Pada akhir
tahun 1985, Angkatan Udara AS membuat sejumlah perubahan persyaratan seiring
berkembangnya program, termasuk penekanan lebih besar pada teknologi siluman.
Ini juga mengubah proses seleksi sehingga, empat perusahaan masing-masing
menerima sekitar US$ 100 juta dan dua kontrak akan diberikan masing-masing
sebesar US$ 700 juta untuk menghasilkan prototipe.
Salah satu
prototipe akan didukung oleh mesin Pratt & Whitney F119 dan yang lainnya
dengan mesin General Electric F120. Pada waktu hampir bersamaan, Angkatan Udara
AS mengirim surat kepada perusahaan yang bersaing untuk mempercepat waktu
pengerjaan.
Ide di balik
ini adalah bahwa Angkatan Udara AS ingin sebanyak mungkin kemampuan untuk
program besar dan mahal. Akibatnya, Boeing, Lockheed dan General Dynamics
membentuk satu tim, dan Northrop dan McDonnell Douglas terbentuk lain. Sementra
Rockwell dan Grumman tidak bergabung menjadi tim alias bekerja sendiri.
Biaya
Avionik Terpangkas
Pada 31
Oktober 1986, Angkatan Udara mengumumkan Lockheed dan Northrop sebagai pemenang
tahap awal program Advanced Tactical Fighter. Perjanjian antara Boeing, General
Dynamics dan Lockheed menyerukan perusahaan pemenang untuk menjadi pemimpin
tim, sehingga Lockheed mengambil peran itu. Tim yang menang diberi waktu empat
tahun untuk menghasilkan prototipe.
Desain
Lockheed pada tahap ini memiliki sebuah teluk senjata rotary besar yang
mendorong mesin dan inlet lebih keluar, pada gilirannya menghasilkan daya yang
berlebihan dari gelombang hambatan. Ini persis dengan apa yang terjadi pada
F-35 Joint Strike Fighter dengan kipas angkat vertikal membuat pesawat terlalu
lebar dan draggy. Kipas angkat vertikal adalah dosa awal dari desain F-35.
Angkatan
Udara awalnya menginginkan delapan rudal bisa dibawa secara internal di dalam
teluk senjata utama F-22 yang kemudian dikurangi menjadi enam ketika kedua tim
desain menyimpulkan ini tidak bisa dilakukan secara efektif.
Tantangan
dasar F-22 adalah untuk mengintegrasikan kemampuan siluman, supercruise,
avionik dan kelincahan dalam pesawat dengan jangkauan yang lebih panjang dari
F-15 Eagle yang akan digantikan. Pesawat ini juga memiliki dua kali keandalan
F-15 dan setengah persyaratan dukungan.
Desain dari
Lockheed dan Northrop memiliki sayap diamond-shaped dengan long root chord yang
bergabung dengan sayap ke badan pesawat, menyediakan jalur beban lebih
terdistribusi. Sayap besar juga memberikan volume bahan bakar yang lebih banyak.
Namun pada
Januari 1989, Angkatan Udara AS memutuskan hanya menyediakan biaya avionik F-22
sebesar US$ 9 juta per pesawat dalam produksi. Padahal Lockheed membutuhkan
lebih dari US$ 16 juta avionik di setiap pesawat. Dengan
demikian, IRST pun akhirnya ditinggalkan bersama sejumlah sistem lainnya,
termasuk, radar pencari samping.
Kekuatan
pemrosesan elektronik dan ketajaman optik telah meningkat dalam dekade terakhir
sehingga biaya avionik relatif lebih murah. Tetapi entah kenapa teknologi IRST
dan radar pencari samping tidak juga diinstal.
Sementara 27
tahun kemudian, pesaing utama F-22, yakni Su-35 Flanker-E Rusia telah memiliki
inframerah-search-and-track dan radar cheek-mounted. Inilah kunci penting Su-35
untuk bisa mengalahkan Raptor.
0 comments:
Post a Comment