Wednesday, 29 March 2017

BPPT Ingin Belajar Teknologi Baterai Kapal Selam Kepada Prancis


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjadi salah satu lembaga pemerintah yang akan bekerja sama dengan institusi penelitian dan pengembangan (litbang) Prancis. Rangkaian kerja sama ini menjadi rangkaian lawatan Presiden Prancis, Francois Hollande ke Indonesia.

Dua institusi litbang Prancis yang hari ini mengadakan pertemuan dengan BPPT, yakni INSA dan CEA.

Kepala BPPT, Unggul Priyanto, menyampaikan bahwa Prancis cukup maju dalam hal riset di bidang energi serta informasi dan teknologi komunikasi (ICT). Dalam hal energi misalnya, Unggul menjelaskan, seperti energi terbarukan seperti solar cell, fuel cell, dan teknologi baterai. Sementara itu, di bidang ICT, seperti security dan micro electronic.

“Atau teknologi lain, seperti manufakturing, kapal selam kalau mungkin (dikerjasamakan),” ujar Unggul usai courtesy call BPPT dengan CEA dan INSA Prancis di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Rabu 29 Maret 2017.

Terkait kapal selam, Unggul mengatakan, erat kaitannya dengan teknologi baterai. Sebab, kualitas kapal selam tergantung sekali dengan kualitas baterainya.

“Jadi, kapal selam ketika menyelam, energi mengandalkan baterai, semakin qualified baterainya, semakin lama bisa menyelam,” kata Unggul.

Sementara itu, kapal selam bisa menyelam juga karena beban dari baterai. Sekitar 60 persen berat kapal selam adalah berat baterai.

Kapal selam yang dikembangkan BPPT, baterainya terbuat dari lithium ion. Saat ini, kekuatan durasi menyelamkan kapal selama empat hari.

Sementara itu, Prancis, telah mengembangkan baterai sodium-ion. Diklaim, baterai pengganti lithium ini lebih murah dan memiliki kerapatan penyimpanan energi sangat tinggi, ketersediaan sodium pun melimpah.

“Kami masih lihat (hasil riset Prancis) baterai sodium ion ini,” tutur Unggul.

KERJA SAMA PENDIDIKAN PERISET

Unggul menyatakan, tak dipungkiri bahwa tenaga peneliti dari BPPT dan lembaga litbang lain di Indonesia masih minim yang menempuh S3 atau doktor. Disebut, BPPT baru sembilan persen, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tujuh persen, bahkan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) hanya tiga persen.

“Itu sangat jauh dari ideal. Kalau saya bandingkan di Jepang, doktor untuk lembaga seperti BPPT ini bisa 80 persen. Kemudian Taiwan 50 persen, Thailand 30 persen, jadi untuk mencapai ke sana itu cukup jauh,” ujar Unggul.

Untuk itu, selain mengambil kesempatan kerja sama dengan Prancis soal terapan teknologi, Unggul ingin menjajaki bidang pendidikan untuk para periset Indonesia.

“Nah, dengan adanya kerja sama seperti ini, paling tidak kita mendapat jaminan bahwa mereka mau menampung, menerima peneliti kita untuk mengambil S2 atau S3,” kata Unggul.


Sebagai informasi, untuk tindak lanjut diskusi, akan ada MoU antara BPPT dan CEA di bidang teknologi kelautan atau kemaritiman. Selain itu, dengan INSA untuk teknologi terapan. Penandatanganan akan dilakukan sore nanti secara tertutup.

Kerjasama Airbus Helicopters dan PTDI di Bidang MRO


Airbus Helicopters dan PTDI telah memasuki kesepakatan untuk memberikan dukungan terhadap helikopter milik pemerintah Indonesia.

“PTDI sangat tertarik untuk memulai perjalanan baru ini dengan Airbus Helicopters, yang memungkinkan kami untuk menawarkan value chain secara lengkap di Indonesia, untuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,” kata Budi Santoso, kepala eksekutif dan presiden PTDI, dilansir dari FlightGlobal (29/03).

“Kami juga senang menjadi bagian dari aliansi yang kuat, yang akan membantu mengembangkan kompetensi teknis Indonesia di bidang pemeliharaan helikopter.”

Perjanjian ini merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman yang ditandatangani dua tahun lalu. Ini berfokus pada helikopter Airbus.

“Selama dua tahun ini, PTDI telah menerapkan re-organisasi yang kuat, yang merupakan proses mereka untuk mengkonsolidasikan semua kegiatan dukungan dan layanan di bawah satu atap,” kata pejabat Airbus Helicopters.

“Mitra industri Indonesia juga akan diakui sebagai services centre dan pusat layanan penyelesaian yang disetujui oleh Airbus Helicopters, setelah berhasil melewati kualitas dan keamanan audit.”


PTDI memiliki hanggar (workshare) konstruksi untuk 11 jenis helikopter Airbus.

Teknologi Sederhana di Balik Rudal Pintar AIM-9 Sidewinder


Bagaimana pun, pabrikan senjata di negara-negara maju akan membuat produk rudal pintar andalannya sedemikian rupa, hingga terkesan canggih dan sulit ditiru. Tapi jika ditelusuri, cukup banyak dari rudal-rudal pintar itu yang sesungguhnya memiliki konsep sederhana.

Rudal paling laris, AIM-9 Sidewinder, yang digunakan di hampir 60 negara, misalnya. Rudal udara ke udara yang satu ini pada prinsipnya hanya terdiri dari dua bagian.

Bagian utama adalah roket konvensional berhulu ledak ukuran kecil. Kedua, sistem kendali yang dipasang di kepalanya.

Kesederhanaan konsep dan kemudahan operasionalnya membuat rudal ini disukai banyak angkatan udara dunia. Tak heran, jika dalam waktu singkat, Aerojet dan Raytheon, pembuat AIM-9 Sidewinder langsung kebanjiran order.

Aerojet/Raytheon sendiri sebenarnya bukanlah perancang AIM-9 Sidewinder sesungguhnya. Perancang sebenarnya adalah Dr. William B. McLean.

Konsep AIM-9 Sidewinder yang amat sederhana bisa dikatakan berangkat dari kebiasaan hidupnya. Direktur Teknik Badan Uji Persenjataan Angkatan Laut AS ini telah “melepas” beberapa bagian vital dari teknologi rudal sebelumnya yang dipandang tabu untuk dibuang. Di antaranya adalah sub-unit pelacak gelombang radar.

Di tangan McLean, bagian terpenting dari Sidewinder praktis hanyalah perangkat penjejak panas (heat seeker/detector) dan kendali penerbangan (flight control) yang dikendalikan otomatis oleh sistem logika fuzzy yang “menginduk” pada perangkat penjejak panas itu.

Kesederhanaan konsep inilah yang membuat  Sidewinder kerap dijadikan bahan diskusi di sekolah-sekolah, khususnya untuk menerangkan rancang bangun persenjataan masa kini. Bagi pelajar maupun enjinir, konsepnya begitu inspiratif.

Kisah perancangan AIM-9 Sidewinder sebenarnya berawal dari himpunan keluhan penerbang pesawat penyergap AS yang kerap gagal menembak jatuh pesawat pembom Jerman.

Keluhan-keluhan itu mencuat dalam perang udara di Eropa, dari masa Perang Dunia II. Kala itu memang tak ada pilihan lain selain menggunakan rudal udara ke udara dengan sistem penjejak gelombang radar.

Kala itu radar memang dikenal sebagai teknologi paling maju dalam dunia penerbangan. Namun, rudal dengan pelacak radar memiliki pola kerja yang amat rumit, merepotkan, namun ironisnya kerap meleset.

Awalnya, baik pihak angkatan udara maupun angkatan laut AS yang mengoperasikan pesawat penyergap tak tertarik mengganti sistem penjejak ini dengan sistem penjejak non-radar.

Namun, sikap keras hati tersebut akhirnya luluh setelah Direktur Teknik Badan Uji Persenjataan AL AS, Dr William B. McLean berhasil menguji coba rudal baru di China Lake, Gurun Mojave, Nevada, pada 1953.


Rudal eksperimental dengan sistem pelacak panas mesin ini amat agresif memburu sebuah drone B-17. Senjata baru ini bekerja amat mandiri. Cukup menekan trigger, sang rudal akan mencari sendiri sasarannya. Fire and forget!

Profil AIM-9 Sidewinder juga dipandang mengagumkan karena bentuknya yang slim. Jika rudal sebelumnya relatif berbobot dan makan tempat, panjang rudal ini hanya 2,87 meter dan diameter 10 cm. Beratnya pun cuma 70 kg.

McLean berpikir, kenapa mesti repot-repot melumuri sasaran dengan gelombang radar, jika buruannya telah dengan sendirinya memancarkan gelombang elektromagnet yang bisa dimanfaatkan untuk penjejakan?

Yang dimaksud gelombang elektromagnet adalah gelombang yang dipancarkan radiasi infra merah dari panas cerobong keluaran gas mesin (nozzle).

Gelombang semacam ini sudah cukup memadai untuk dijejak sensor infra merah. Tak terkecuali mesin dari pesawat siluman sekali pun. Sistem penjejak panas bahkan tetap bisa menyasar pesawat yang berlindung di balik awan.

Inti dari sistem penjejak AIM-9 Sidewinder hanyalah sebuah komponen elektrik mungil bernama sel fotovoltaik atau yang biasa kita kenal sebagai  solar-cell, dan pemindai gelombang inframerah, yang keduanya ada di bagian kepala rudal.

Solar-cell bukan lah barang baru. Komponen elektrik ini lazim digunakan sebagai komponen utama pemanas air dan pembangkit  listrik tenaga surya.

Cara kerja sistem penjejak AIM-9 Sidewinder pun sebenarnya tidak rumit. Tak lama setelah saklar diaktifkan, sistem penjejak akan bergerak dan berorientasi melihat obyek-obyek bergerak yang ada di depan pesawat.

Di dalam sistem penjejak ini, solar cell yang tertanam di belakang pemindai gelombang inframerah akan memetakan obyek-obyek bersuhu ekstrem yang ada di hadapannya, dalam jarak beberapa kilometer.

Bayangan obyek-obyek tersebut diarahkan masuk ke sistem pemindai infra merah lewat dua cermin cekung yang disusun seperti teleskop Cassegrainian. Fisik pemindai infra-merah sendiri tak lebih dari sebuah cermin bundar bercorak bening-gelap yang bisa berputar.

Corak bening-gelap ini sendiri adalah trik untuk memastikan posisi dan profil obyek yang sedang dilihat.

Lewat pindaian gelap-terang, obyek dengan panas dominan akan segera diteruskan ke solar cell, yang selanjutnya akan diproses perangkat elektronik di belakangnya sebagai sasaran tembakan.

Penjejakan sasaran sendiri baru akan dimulai setelah penerbang mengunci (locked-on) sasaran. Lewat kabel khusus, obyek-obyek yang “dilihat” rudal akan segera diteruskan ke layar monitor dasbor kokpit agar bisa dipilah-pilah oleh penerbang.

Ketika mengunci sasaran, sinyal listrik dari sasaran terpilih inilah yang selanjutnya akan diolah dan dijadikan pulsa listrik penggerak sistem autopilot rudal.

Di saat yang sama, perangkat elektronik rudal akan aktif mengikuti sasaran, kemana pun bergerak. Dalam ranah elektronika dasar, “proses mengikuti sasaran” akan dikerjakan dengan mudah oleh sistem elektronik berbasis  sistem logika.

Dengan sistem ini, otak rudal hanya akan mendefinisikan “Ya” dan “Tidak”, atau “I” dan “0”. Sistem semacam dahulu dikenal sebagai sistem biner, basis dari cara kerja komputer.

Output “Ya” dan “Tidak” itu pula yang selanjutnya dipakai untuk menggerakan servo (mekanik penggerak) empat sirip yang terpasang di bagian depan. Singkat kata, dengan gerakan sirip-sirip ini, rudal akan diperintah untuk terbang menuju sasaran.

Selama tak ada gangguan sinyal, sasaran praktis akan terus mendekat karena kecepatan rudal AIM-9 Sidewinder jauh lebih tinggi dari kecepatan pesawat terbang.


Pertengahan Tahun Ini, PT DI Mulai Serahkan Helikopter AS556 MBe Panther Ke TNI AL


Sudah agak lama tak terdengar kabar tentang status helikopter AKS (Anti Kapal Selam) pesanan Puspenerbal (Pusat Penerbangan Angkatan Laut), seperti diketahui sejak pertengahan November 2016 pihak Airbus Helicopters telah menyerahkan tiga unit AS565 MBe Panther kepada PT Dirgantara Indonesia (PT DI) di Marignane, kota di bagian selatan Perancis. Dan akhirnya hari ini (29/3/2017) ada kabar lebih terang seputar kehadiran helikopter AKS canggih ini.

Seperti dikutip dari siara pers PT DI, BUMN Strategis yang kinerjanya tengah mendapat sorotan publik ini menyebut bahwa pesanan tiga unit AS565 MBe Panther akan diserahkan ke pihak Kemhan/TNI AL pada pertengahan tahun ini (2017). Ini seolah menjadi komitmen PT DI setelah beberapa waktu lalu didera persoalan keterlambatan pengiriman pesanan kepada sejumlah klien.

Selain komitmen menuntaskan pesanan untuk TNI AL, PT DI juga akan merampungkan sisa pesanan tiga unit helikopter H225M Caracal untuk TNI AU. Dua unit H225M yang telah diserahkan pada pertengahan Maret lalu ke TNI AU adalah unit ketiga dan keempat dari total enam unit yang disepakati dalam kontrak dengan pelanggan. Penyerahan unit-unit berikutnya kepada TNI AU akan diselesaikan dalam beberapa minggu mendatang. Helikopter multi peran H225M ini dimaksudkan untuk misi tempur, pencarian dan penyelamatan (CSAR).

Dua unit platform dasar, atau disebut juga dengan “unit hijau”, pertama tipe AS565 MBe Panther telah tiba di Indonesia untuk diperlengkap dan diselesaikan oleh PT DI. Secara keseluruhan ada 11 helikopter AS565 MBe Panther yang akan tiba di Indonesia, dan tiga unit yang diserahkan saat ini adalah gelombang pertama. Kilas balik, kontrak pengadaan helikopter AKS AS565 MBe Panther resmi ditandatangani pada akhir tahun 2014, bertepatan dengan momen Indo Defence 2014. Sebagai pihak penerima ToT (Transfer of Technology) dari Airbus Helicopters adalah BUMN PT DI.

BUKAN HANYA MERAKIT


Peran PT DI dalam proyek ini tidak sebatas merakit ulang helikopter Panther setibanya di Indonesia, lebih jauh PT DI mengambil peran besar dalam penentuan desain sistem anti-submarine warfare (ASW) suite. Untuk menjalankan peran sebagai helikopter AKS, AS565 MBe Panther TNI AL akan dipasang perangkat integrasi yang mencakup L-3 Ocean Systems DS-100 Helicopter Long-Range Active Sonar (HELRAS). Sementara untuk misi menghancurkan kapal selam, dalam kesepakatan Panther TNI AL juga akan dipasang sistem peluncur torpedo, sistem peluncur ini disiapkan untuk menghantarkan jenis torpedo Raytheon MK46 atau Whitehead A244/S. Kedua torpedo tersebut kebetulan sudah sejak lama dimiliki TNI AL.

Sebelumnya pada Maret 2015, PT DI dan Rotorcraft Service Group Inc. (RSG) telah mengadakan kontrak kesepakatan untuk adopsi pengembangan dan sistem integrasi ASW pada armada AS565 MBe Panther pesanan TNI AL. Meski kodrat utama AS565 MBe Panther adalah untuk melibas kapal selam, tapi basis heli ini adalah multirole. Oleh sebab itu, sistem yang di integrasikan RSG bersifat modular, saat sang Panther dibutuhkan untuk misi SAR (Search and Rescue), Medevac (Medical Evacuation), intai maritim, dan eksternal cargo, maka dengan cepat konfigurasi tempur heli dapat diubah ke non combat roles.

Airbus Tawarkan Konversi AEW Untuk Operator C295, Indonesia?


Operator C295 Airbus saat ini sedang diberi pilihan untuk mengkonversi beberapa pesawat mereka menjadi konfigurasi Airborne Early Warning and Control (AEW&C) yang dikembangkan dengan Israel Aerospace Industries’ Elta Systems.

Dalam beberapa bulan terakhir, kombinasi dari C295 dengan radar buatan Israel dan sensor lainnya telah ditawarkan ke “sejumlah besar” pelanggan potensial, kata Igo Licht, wakil presiden pemasaran dan penjualan Elta.

Dilansir dari Flightglobal (07/12/2016), Airbus sebelumnya telah menerbangkan salah satu pesawat pengembangan C295-nya dengan radome yang memiliki diameter 6m (19.7ft), yang dipasang di atas badan pesawat untuk tujuan pengujian aerodinamika.

“C295 digunakan oleh banyak angkatan udara, kami telah membangun proposal konversi yang akan membuat biaya menjadi sangat efektif untuk banyak klien potensial,” kata Licht.

Selain active electronically scanned array AEW radar yang dikembangkan Elta, yang diadopsi dari medium transport, platform juga bisa dilengkapi dengan communications intelligence and signals intelligence sensors, identification friend-or-foe equipment dan a self-protection suite.

Platform akan mendukung AEW&C serta tugas komando dan kontrol lainnya, dimana platform juga dapat menampilkan komunikasi satelit dan datalink dengan aman.

Flight Fleets Analyzer mencatat ada 147 unit C295 dalam pelayanan saat ini yang tersebar di 21 negara.



PKR Ke-2 Akan Dikirim Pada Oktober 2017


PT PAL Indonesia (Persero) tengah menyelesaikan kapal perang ‘perusak’ kedua jenis Guided Missile Frigate/ Perusak Kawal Rudal (PKR). Kapal perusak kedua yang tengah dikerjakan BUMN asal Surabaya ini merupakan pesanan TNI AL.

Ini merupakan kapal perusak buatan PT PAL pertama kali untuk kebutuhan dalam negeri. Sebelumnya, kebutuhan kapal jenis PKR ini dipesan dari luar negeri.

“Untuk kita sendiri frigate itu buatan Indonesia pertama kali. Biasanya beli, tetapi ini untuk AL (TNI Angkatan Laut) kita sendiri, belum ekspor,” jelas Direktur Utama PAL, Firmansyah Arifin, Selasa (28/3/2017).

Firmansyah menambahkan, sebelumnya PAL sudah menyerahkan kapal perusak ke TNI AL beberapa waktu lalu. Kemudian untuk pesanan kapal kedua akan dikirim pada Oktober 2017 mendatang.

“Ada dua unit, satu sudah serah terima. Kedua mungkin Oktober-November kita serahkan,” tutur Firmansyah.

Kapal perusak ini memiliki panjang 105 meter dengan lebar 14 meter. Kapal ini bisa melesat dengan kecepatan 28 knots. Saat beroperasi, PKR bisa membawa 120 kru kapal.

Kapal perusak ini memiliki kemampuan perang antar permukaan. Dengan tembakan torpedo dan rudal, PKR bisa menenggelamkan kapal perang musuh.

“Ini bisa untuk perang 4 matra sekaligus, perang permukaan sesama kapal perang, perang bawah air melawan kapal selam, perang dengan udara pesawat tempur, perang elektronika,” kata Firmansyah.

Selanjutnya yang tidak kalah canggih adalah perang elektronika. Kapal perusak ini bisa membajak sistem persenjataan dan kendali dari kapal perang musuh.


“Perang elektronika itu misalnya mengarahkan rudal ke satu titik itu computerized. Kalau di perang elektronik itu di-jammer,” tutur Firmansyah.

TNI Teken Kerja Sama Dengan Kampus dan Saab Swedia


Dalam rangka penguatan sistem pertahanan di Indonesia, TNI adakan Seminar Scenario Forecasting Technology dan menandatangani Letter of Aggreement. Kerja sama itu dilakukan dengan Swedish Defence University, dan Industri Alutista asal Swedia SAAB.

Acara yang dibuka langsung oleh Aspers Panglima TNI, Marsda Bambang Samoedro ini dihadiri oleh Stevan Silversklold dari Swedish Defence University, Anders Goyer selaku Head Of SAAB Indonesia. Mereka turut menandatangani Letter of Aggreement.

Aspers Panglima TNI Marsda, TNI Bambang Samoedro menyambut kerja sama di bidang pendidikan pertahanan ini. Menurutnya, acara ini memiliki dampak yang positif untuk kemajuan prajurit TNI di Indonesia, terutama dalam bidang pertahanan.

“Saya yakin kegiatan ini akan bisa disampaikan sebagai tambahan wawasan dalam menyambut pertahanan teknologi, besar harapan saya kepada seluruh peserta seminar untuk dapat memanfaatkan sumber dayanya di Indonesia,” kata Bambang di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (29/03/17).

Selanjutnya, Anders Foyer sebagai Head Of SAAB Indonesia mengatakan, acara ini diadakan untuk membangun kerja sama antara Swedia dan Indonesia. Karena melihat banyaknya produk yang digunakan Indonesia berasal dari Swedia.

“Kerja sama untuk menjembatani kerja sama dari Swedia ke Indonesia. Produk yang dipasarkan di Indonesia, Port management sistem di Tanjung Priok, SAAB merupakan satu-satunya perusahaan di dunia yang bisa membuat pesawat tempur, dan kapal selam,” ujar Anders.

Sementara itu, Stefan Silversklold selaku perwakilan dari Swedish Defence University mengatakan program ini akan diadakan selama lima bulan sampai bulan Agustus. Di sela-sela program peserta akan mengunjungi beberapa tempat di Swedia.

“Akan ada kunjungan selama tiga Minggu di Swedia, Stockholm, Linkoping, dan beberapa tempat,” ujar Stefen.

Peserta kegiatan ini terdiri dari Perwira menengah perwakilan dari satuan kerja Mabes TNI sejumlah 60 orang. Peserta tersebut nantinya akan diberangkatkan ke Swedia untuk mempelajari bagaimana sistem pertahanan di Swedia, yang nantinya akan diterapkan di Indonesia.