Bagaimana
pun, pabrikan senjata di negara-negara maju akan membuat produk rudal pintar
andalannya sedemikian rupa, hingga terkesan canggih dan sulit ditiru. Tapi jika
ditelusuri, cukup banyak dari rudal-rudal pintar itu yang sesungguhnya memiliki
konsep sederhana.
Rudal paling
laris, AIM-9 Sidewinder, yang digunakan di hampir 60 negara, misalnya. Rudal
udara ke udara yang satu ini pada prinsipnya hanya terdiri dari dua bagian.
Bagian utama
adalah roket konvensional berhulu ledak ukuran kecil. Kedua, sistem kendali
yang dipasang di kepalanya.
Kesederhanaan
konsep dan kemudahan operasionalnya membuat rudal ini disukai banyak angkatan
udara dunia. Tak heran, jika dalam waktu singkat, Aerojet dan Raytheon, pembuat
AIM-9 Sidewinder langsung kebanjiran order.
Aerojet/Raytheon
sendiri sebenarnya bukanlah perancang AIM-9 Sidewinder sesungguhnya. Perancang
sebenarnya adalah Dr. William B. McLean.
Konsep AIM-9
Sidewinder yang amat sederhana bisa dikatakan berangkat dari kebiasaan
hidupnya. Direktur Teknik Badan Uji Persenjataan Angkatan Laut AS ini telah
“melepas” beberapa bagian vital dari teknologi rudal sebelumnya yang dipandang
tabu untuk dibuang. Di antaranya adalah sub-unit pelacak gelombang radar.
Di tangan
McLean, bagian terpenting dari Sidewinder praktis hanyalah perangkat penjejak
panas (heat seeker/detector) dan kendali penerbangan (flight control) yang
dikendalikan otomatis oleh sistem logika fuzzy yang “menginduk” pada perangkat
penjejak panas itu.
Kesederhanaan
konsep inilah yang membuat Sidewinder
kerap dijadikan bahan diskusi di sekolah-sekolah, khususnya untuk menerangkan
rancang bangun persenjataan masa kini. Bagi pelajar maupun enjinir, konsepnya
begitu inspiratif.
Kisah
perancangan AIM-9 Sidewinder sebenarnya berawal dari himpunan keluhan penerbang
pesawat penyergap AS yang kerap gagal menembak jatuh pesawat pembom Jerman.
Keluhan-keluhan
itu mencuat dalam perang udara di Eropa, dari masa Perang Dunia II. Kala itu
memang tak ada pilihan lain selain menggunakan rudal udara ke udara dengan
sistem penjejak gelombang radar.
Kala itu
radar memang dikenal sebagai teknologi paling maju dalam dunia penerbangan.
Namun, rudal dengan pelacak radar memiliki pola kerja yang amat rumit, merepotkan, namun ironisnya kerap meleset.
Awalnya,
baik pihak angkatan udara maupun angkatan laut AS yang mengoperasikan pesawat
penyergap tak tertarik mengganti sistem penjejak ini dengan sistem penjejak
non-radar.
Namun, sikap
keras hati tersebut akhirnya luluh setelah Direktur Teknik Badan Uji Persenjataan
AL AS, Dr William B. McLean berhasil menguji coba rudal baru di China Lake,
Gurun Mojave, Nevada, pada 1953.
Rudal
eksperimental dengan sistem pelacak panas mesin ini amat agresif memburu sebuah
drone B-17. Senjata baru ini bekerja amat mandiri. Cukup menekan trigger, sang
rudal akan mencari sendiri sasarannya. Fire and forget!
Profil AIM-9
Sidewinder juga dipandang mengagumkan karena bentuknya yang slim. Jika rudal
sebelumnya relatif berbobot dan makan tempat, panjang rudal ini hanya 2,87
meter dan diameter 10 cm. Beratnya pun cuma 70 kg.
McLean
berpikir, kenapa mesti repot-repot melumuri sasaran dengan gelombang radar,
jika buruannya telah dengan sendirinya memancarkan gelombang elektromagnet yang
bisa dimanfaatkan untuk penjejakan?
Yang
dimaksud gelombang elektromagnet adalah gelombang yang dipancarkan radiasi
infra merah dari panas cerobong keluaran gas mesin (nozzle).
Gelombang
semacam ini sudah cukup memadai untuk dijejak sensor infra merah. Tak
terkecuali mesin dari pesawat siluman sekali pun. Sistem penjejak panas bahkan
tetap bisa menyasar pesawat yang berlindung di balik awan.
Inti dari
sistem penjejak AIM-9 Sidewinder hanyalah sebuah komponen elektrik mungil
bernama sel fotovoltaik atau yang biasa kita kenal sebagai solar-cell, dan pemindai gelombang
inframerah, yang keduanya ada di bagian kepala rudal.
Solar-cell bukan
lah barang baru. Komponen elektrik ini lazim digunakan sebagai komponen utama
pemanas air dan pembangkit listrik
tenaga surya.
Cara kerja
sistem penjejak AIM-9 Sidewinder pun sebenarnya tidak rumit. Tak lama setelah
saklar diaktifkan, sistem penjejak akan bergerak dan berorientasi melihat
obyek-obyek bergerak yang ada di depan pesawat.
Di dalam
sistem penjejak ini, solar cell yang tertanam di belakang pemindai gelombang
inframerah akan memetakan obyek-obyek bersuhu ekstrem yang ada di hadapannya,
dalam jarak beberapa kilometer.
Bayangan
obyek-obyek tersebut diarahkan masuk ke sistem pemindai infra merah lewat dua
cermin cekung yang disusun seperti teleskop Cassegrainian. Fisik pemindai
infra-merah sendiri tak lebih dari sebuah cermin bundar bercorak bening-gelap
yang bisa berputar.
Corak
bening-gelap ini sendiri adalah trik untuk memastikan posisi dan profil obyek
yang sedang dilihat.
Lewat
pindaian gelap-terang, obyek dengan panas dominan akan segera diteruskan ke
solar cell, yang selanjutnya akan diproses perangkat elektronik di belakangnya
sebagai sasaran tembakan.
Penjejakan
sasaran sendiri baru akan dimulai setelah penerbang mengunci (locked-on)
sasaran. Lewat kabel khusus, obyek-obyek yang “dilihat” rudal akan segera
diteruskan ke layar monitor dasbor kokpit agar bisa dipilah-pilah oleh
penerbang.
Ketika
mengunci sasaran, sinyal listrik dari sasaran terpilih inilah yang selanjutnya
akan diolah dan dijadikan pulsa listrik penggerak sistem autopilot rudal.
Di saat yang
sama, perangkat elektronik rudal akan aktif mengikuti sasaran, kemana pun
bergerak. Dalam ranah elektronika dasar, “proses mengikuti sasaran” akan
dikerjakan dengan mudah oleh sistem elektronik berbasis sistem logika.
Dengan
sistem ini, otak rudal hanya akan mendefinisikan “Ya” dan “Tidak”, atau “I” dan
“0”. Sistem semacam dahulu dikenal sebagai sistem biner, basis dari cara kerja
komputer.
Output “Ya”
dan “Tidak” itu pula yang selanjutnya dipakai untuk menggerakan servo (mekanik
penggerak) empat sirip yang terpasang di bagian depan. Singkat kata, dengan
gerakan sirip-sirip ini, rudal akan diperintah untuk terbang menuju sasaran.
Selama tak
ada gangguan sinyal, sasaran praktis akan terus mendekat karena kecepatan rudal
AIM-9 Sidewinder jauh lebih tinggi dari kecepatan pesawat terbang.