Wednesday, 29 March 2017

Teknologi Sederhana di Balik Rudal Pintar AIM-9 Sidewinder


Bagaimana pun, pabrikan senjata di negara-negara maju akan membuat produk rudal pintar andalannya sedemikian rupa, hingga terkesan canggih dan sulit ditiru. Tapi jika ditelusuri, cukup banyak dari rudal-rudal pintar itu yang sesungguhnya memiliki konsep sederhana.

Rudal paling laris, AIM-9 Sidewinder, yang digunakan di hampir 60 negara, misalnya. Rudal udara ke udara yang satu ini pada prinsipnya hanya terdiri dari dua bagian.

Bagian utama adalah roket konvensional berhulu ledak ukuran kecil. Kedua, sistem kendali yang dipasang di kepalanya.

Kesederhanaan konsep dan kemudahan operasionalnya membuat rudal ini disukai banyak angkatan udara dunia. Tak heran, jika dalam waktu singkat, Aerojet dan Raytheon, pembuat AIM-9 Sidewinder langsung kebanjiran order.

Aerojet/Raytheon sendiri sebenarnya bukanlah perancang AIM-9 Sidewinder sesungguhnya. Perancang sebenarnya adalah Dr. William B. McLean.

Konsep AIM-9 Sidewinder yang amat sederhana bisa dikatakan berangkat dari kebiasaan hidupnya. Direktur Teknik Badan Uji Persenjataan Angkatan Laut AS ini telah “melepas” beberapa bagian vital dari teknologi rudal sebelumnya yang dipandang tabu untuk dibuang. Di antaranya adalah sub-unit pelacak gelombang radar.

Di tangan McLean, bagian terpenting dari Sidewinder praktis hanyalah perangkat penjejak panas (heat seeker/detector) dan kendali penerbangan (flight control) yang dikendalikan otomatis oleh sistem logika fuzzy yang “menginduk” pada perangkat penjejak panas itu.

Kesederhanaan konsep inilah yang membuat  Sidewinder kerap dijadikan bahan diskusi di sekolah-sekolah, khususnya untuk menerangkan rancang bangun persenjataan masa kini. Bagi pelajar maupun enjinir, konsepnya begitu inspiratif.

Kisah perancangan AIM-9 Sidewinder sebenarnya berawal dari himpunan keluhan penerbang pesawat penyergap AS yang kerap gagal menembak jatuh pesawat pembom Jerman.

Keluhan-keluhan itu mencuat dalam perang udara di Eropa, dari masa Perang Dunia II. Kala itu memang tak ada pilihan lain selain menggunakan rudal udara ke udara dengan sistem penjejak gelombang radar.

Kala itu radar memang dikenal sebagai teknologi paling maju dalam dunia penerbangan. Namun, rudal dengan pelacak radar memiliki pola kerja yang amat rumit, merepotkan, namun ironisnya kerap meleset.

Awalnya, baik pihak angkatan udara maupun angkatan laut AS yang mengoperasikan pesawat penyergap tak tertarik mengganti sistem penjejak ini dengan sistem penjejak non-radar.

Namun, sikap keras hati tersebut akhirnya luluh setelah Direktur Teknik Badan Uji Persenjataan AL AS, Dr William B. McLean berhasil menguji coba rudal baru di China Lake, Gurun Mojave, Nevada, pada 1953.


Rudal eksperimental dengan sistem pelacak panas mesin ini amat agresif memburu sebuah drone B-17. Senjata baru ini bekerja amat mandiri. Cukup menekan trigger, sang rudal akan mencari sendiri sasarannya. Fire and forget!

Profil AIM-9 Sidewinder juga dipandang mengagumkan karena bentuknya yang slim. Jika rudal sebelumnya relatif berbobot dan makan tempat, panjang rudal ini hanya 2,87 meter dan diameter 10 cm. Beratnya pun cuma 70 kg.

McLean berpikir, kenapa mesti repot-repot melumuri sasaran dengan gelombang radar, jika buruannya telah dengan sendirinya memancarkan gelombang elektromagnet yang bisa dimanfaatkan untuk penjejakan?

Yang dimaksud gelombang elektromagnet adalah gelombang yang dipancarkan radiasi infra merah dari panas cerobong keluaran gas mesin (nozzle).

Gelombang semacam ini sudah cukup memadai untuk dijejak sensor infra merah. Tak terkecuali mesin dari pesawat siluman sekali pun. Sistem penjejak panas bahkan tetap bisa menyasar pesawat yang berlindung di balik awan.

Inti dari sistem penjejak AIM-9 Sidewinder hanyalah sebuah komponen elektrik mungil bernama sel fotovoltaik atau yang biasa kita kenal sebagai  solar-cell, dan pemindai gelombang inframerah, yang keduanya ada di bagian kepala rudal.

Solar-cell bukan lah barang baru. Komponen elektrik ini lazim digunakan sebagai komponen utama pemanas air dan pembangkit  listrik tenaga surya.

Cara kerja sistem penjejak AIM-9 Sidewinder pun sebenarnya tidak rumit. Tak lama setelah saklar diaktifkan, sistem penjejak akan bergerak dan berorientasi melihat obyek-obyek bergerak yang ada di depan pesawat.

Di dalam sistem penjejak ini, solar cell yang tertanam di belakang pemindai gelombang inframerah akan memetakan obyek-obyek bersuhu ekstrem yang ada di hadapannya, dalam jarak beberapa kilometer.

Bayangan obyek-obyek tersebut diarahkan masuk ke sistem pemindai infra merah lewat dua cermin cekung yang disusun seperti teleskop Cassegrainian. Fisik pemindai infra-merah sendiri tak lebih dari sebuah cermin bundar bercorak bening-gelap yang bisa berputar.

Corak bening-gelap ini sendiri adalah trik untuk memastikan posisi dan profil obyek yang sedang dilihat.

Lewat pindaian gelap-terang, obyek dengan panas dominan akan segera diteruskan ke solar cell, yang selanjutnya akan diproses perangkat elektronik di belakangnya sebagai sasaran tembakan.

Penjejakan sasaran sendiri baru akan dimulai setelah penerbang mengunci (locked-on) sasaran. Lewat kabel khusus, obyek-obyek yang “dilihat” rudal akan segera diteruskan ke layar monitor dasbor kokpit agar bisa dipilah-pilah oleh penerbang.

Ketika mengunci sasaran, sinyal listrik dari sasaran terpilih inilah yang selanjutnya akan diolah dan dijadikan pulsa listrik penggerak sistem autopilot rudal.

Di saat yang sama, perangkat elektronik rudal akan aktif mengikuti sasaran, kemana pun bergerak. Dalam ranah elektronika dasar, “proses mengikuti sasaran” akan dikerjakan dengan mudah oleh sistem elektronik berbasis  sistem logika.

Dengan sistem ini, otak rudal hanya akan mendefinisikan “Ya” dan “Tidak”, atau “I” dan “0”. Sistem semacam dahulu dikenal sebagai sistem biner, basis dari cara kerja komputer.

Output “Ya” dan “Tidak” itu pula yang selanjutnya dipakai untuk menggerakan servo (mekanik penggerak) empat sirip yang terpasang di bagian depan. Singkat kata, dengan gerakan sirip-sirip ini, rudal akan diperintah untuk terbang menuju sasaran.

Selama tak ada gangguan sinyal, sasaran praktis akan terus mendekat karena kecepatan rudal AIM-9 Sidewinder jauh lebih tinggi dari kecepatan pesawat terbang.


0 comments:

Post a Comment