Monday, 20 March 2017

Sykes-Picot, Perjanjian Inilah yang Diyakini Sebagai Sumber Malapetaka di Timur Tengah


Sekitar 100 tahun yang lalu, ada kesepakatan rahasia antara Inggris dan Prancis untuk membagi Timur Tengah yang dikenal dengan perjanjian Sykes-Picot. Setelah satu abad, perjanjian itu masih jadi subyek perdebatan yang terus hidup dan disebut sebagai salah satu faktor utama di balik ketidakstabilan yang terus terjadi di wilayah tersebut hingga saat ini.

Pada 9 Mei 1916, persyaratan perjanjian Sykes-Picot diuraikan dalam surat antara Inggris dan Prancis, dengan kesepakatan sebenarnya ditandangani satu minggu kemudian, yakni pada 15 Mei 1916.

Perjanjian, dinegosiasikan oleh diplomat Inggris, Sir Mark Sykes dan Prancis Francois Georges-Picot yang bertujuan untuk membagi-bagi wilayah Timur Tengah yang pada saat itu di bawah kendali Kekaisaran Ottoman. Barat kala itu yakin kontrol Ottoman di daerah tidak akan bertahan setelah akhir Perang Dunia I.

Kesepakatan, yang akhirnya memicu serangkaian perjanjian serupa lainnya yang berhubungan dengan kontrol dari Timur Tengah, menyebabkan penciptaan perbatasan longgar antara Suriah dan Irak moderen yang disebut banyak pihak sebagai meletakkan platform untuk penciptaan negara Yahudi di Palestina.

Berdasarkan kesepakatan itu Prancis mengontrol wilayah yang membentang dari Selatan Turki, Suriah, Lebanon dan sebagian dari Irak utara. Inggris akan mengambil alih daerah yang terdiri dari Irak tengah dan selatan, serta Yordania.

Sebuah wilayah ketiga yang longgar ada di sekitar Israel hari ini, menjadi sebuah kerajaan Arab di bawah mandat bersama Prancis-Inggris.
Banyak kritikus menyebut perjanjian Sykes-Picot mengabaikan banyak perbedaan etnis dan politik. Perbatasan antara wilayah yang dikontrol Prancis dan Inggris hanya digambar dengan penggaris.

Menurut kisah yang ada, Sykes menggambarkan metode penentuan batas-batas dalam briefing dengan Perdana Menteri Inggris Herbert Asquith pada tahun 1915.

“Saya ingin menarik garis dari ‘E’ di Acre sampai yang terakhir ‘K’ di Kirkuk,” ia diduga telah mengatakan itu, sambil mnunjukkan jarinya pada peta di Downing Street.

Meski dirancang untuk mencegah konflik antara Inggris dan Prancis pasca Perang Dunia I, kesepakatan juga telah disalahkan menjadi sumber dari kekerasan sektarian di Timur Tengah yang terus terjadi hingga saat ini.

Keadaan semakin buruk ketika kesepakatan Sykes-Picot itu terungkap kepada dunia. Komisaris Luar Negeri Rusia, Leon Trotsky, menerbitkan rincian dari kesepakatan pada bulan November tahun 1917 yang akhirnya mengungkapkan plot Sykes-Picot.

Kesepakatan itu menyerupai kontrol asing dari Timur Tengah, dengan banyak peneliti menyebut ada relevansi dengan kuatnya sentiment anti barat di wilayah itu.

Hal ini ditunjukkan oleh pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi setelah menyapu sebagian besar wilayah Irak dan Suriah pada tahun 2014 lalu dengan mengatakan: “Ini tidak akan berhenti sampai kita memukul paku terakhir di peti mati dari konspirasi Sykes-Picot ”.

Perjanjian itu jelas masih memiliki dampak yang sangat besar pada peristiwa saat ini. Meskipun Irak dan Suriah yang banyak memiliki kesamaan dalam agama dan etnis internal dengan berbagai kelompok yang berbeda mengendalikan petak tanah di dalam negara masing-masing, kekuatan-kekuatan internasional yang terlibat dalam kampanye anti-ISIS saat ini berusaha untuk menjaga perbatasan longgar dari perjanjian 1916 itu.

Ada ketakutan bahwa perbatasan demarkasi baru dapat memicu ketidakstabilan lebih di Timur Tengah. Hal ini menunjukkan perjanjian Sykes-Picot masih memiliki dampak di Timur Tengah setelah satu abad.


0 comments:

Post a Comment