Sekitar 100
tahun yang lalu, ada kesepakatan rahasia antara Inggris dan Prancis untuk
membagi Timur Tengah yang dikenal dengan perjanjian Sykes-Picot. Setelah satu
abad, perjanjian itu masih jadi subyek perdebatan yang terus hidup dan disebut
sebagai salah satu faktor utama di balik ketidakstabilan yang terus terjadi di
wilayah tersebut hingga saat ini.
Pada 9 Mei
1916, persyaratan perjanjian Sykes-Picot diuraikan dalam surat antara Inggris
dan Prancis, dengan kesepakatan sebenarnya ditandangani satu minggu kemudian,
yakni pada 15 Mei 1916.
Perjanjian,
dinegosiasikan oleh diplomat Inggris, Sir Mark Sykes dan Prancis Francois
Georges-Picot yang bertujuan untuk membagi-bagi wilayah Timur Tengah yang pada
saat itu di bawah kendali Kekaisaran Ottoman. Barat kala itu yakin kontrol
Ottoman di daerah tidak akan bertahan setelah akhir Perang Dunia I.
Kesepakatan,
yang akhirnya memicu serangkaian perjanjian serupa lainnya yang berhubungan
dengan kontrol dari Timur Tengah, menyebabkan penciptaan perbatasan longgar
antara Suriah dan Irak moderen yang disebut banyak pihak sebagai meletakkan
platform untuk penciptaan negara Yahudi di Palestina.
Berdasarkan
kesepakatan itu Prancis mengontrol wilayah yang membentang dari Selatan Turki,
Suriah, Lebanon dan sebagian dari Irak utara. Inggris akan mengambil alih
daerah yang terdiri dari Irak tengah dan selatan, serta Yordania.
Sebuah
wilayah ketiga yang longgar ada di sekitar Israel hari ini, menjadi sebuah
kerajaan Arab di bawah mandat bersama Prancis-Inggris.
Banyak
kritikus menyebut perjanjian Sykes-Picot mengabaikan banyak perbedaan etnis dan
politik. Perbatasan antara wilayah yang dikontrol Prancis dan Inggris hanya
digambar dengan penggaris.
Menurut
kisah yang ada, Sykes menggambarkan metode penentuan batas-batas dalam briefing
dengan Perdana Menteri Inggris Herbert Asquith pada tahun 1915.
“Saya ingin
menarik garis dari ‘E’ di Acre sampai yang terakhir ‘K’ di Kirkuk,” ia diduga
telah mengatakan itu, sambil mnunjukkan jarinya pada peta di Downing Street.
Meski
dirancang untuk mencegah konflik antara Inggris dan Prancis pasca Perang Dunia
I, kesepakatan juga telah disalahkan menjadi sumber dari kekerasan sektarian di
Timur Tengah yang terus terjadi hingga saat ini.
Keadaan
semakin buruk ketika kesepakatan Sykes-Picot itu terungkap kepada dunia.
Komisaris Luar Negeri Rusia, Leon Trotsky, menerbitkan rincian dari kesepakatan
pada bulan November tahun 1917 yang akhirnya mengungkapkan plot Sykes-Picot.
Kesepakatan
itu menyerupai kontrol asing dari Timur Tengah, dengan banyak peneliti menyebut
ada relevansi dengan kuatnya sentiment anti barat di wilayah itu.
Hal ini
ditunjukkan oleh pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi setelah menyapu sebagian
besar wilayah Irak dan Suriah pada tahun 2014 lalu dengan mengatakan: “Ini
tidak akan berhenti sampai kita memukul paku terakhir di peti mati dari
konspirasi Sykes-Picot ”.
Perjanjian
itu jelas masih memiliki dampak yang sangat besar pada peristiwa saat ini.
Meskipun Irak dan Suriah yang banyak memiliki kesamaan dalam agama dan etnis
internal dengan berbagai kelompok yang berbeda mengendalikan petak tanah di
dalam negara masing-masing, kekuatan-kekuatan internasional yang terlibat dalam
kampanye anti-ISIS saat ini berusaha untuk menjaga perbatasan longgar dari
perjanjian 1916 itu.
Ada
ketakutan bahwa perbatasan demarkasi baru dapat memicu ketidakstabilan lebih di
Timur Tengah. Hal ini menunjukkan perjanjian Sykes-Picot masih memiliki dampak
di Timur Tengah setelah satu abad.
0 comments:
Post a Comment