Sebuah
laporan baru oleh think tank yang berbasis di DC Washington menyebutkan harga
pesawat taktis baru Amerika Serikat mencapai dua setengah kali dibandingkan
pesawat yang diganti. Tren ini memiliki implikasi yang luas yakni pada anggaran
pertahanan dan ukuran armada udara Amerika.
Laporan ini
membandingkan data harga pesawat taktis Amerika Serikat sejak 1955 hingga 2017
dengan mempertimbangkan nilai dollar dan inflasi.
Untuk lebih
jelasnya mari kita lihat grafis yang disusun tentang perbandingan harga pesawat
Amerika Serikat dari tahun ke tahun.
Dari grafik
tersebut terlihat tiga varian jet tempur siluman F-35 jauh lebih mahal
dibandingkan jet tempur yang akan digantikan. Sebuah F-35A memiliki harga
sekitar US$100 juta, jauh dibandingkan harga F-16 yang akan diganti F-35A.
Fighting Falcon hanya seharga sekitar US$ 35-40 juta.
Sedangkan
F-35C yang berbasis kapal induk harganya sekitar US$ 131,2 juta. Pesawat ini
akan mengantikan F/A-18C Hornet yang harganya sekitar US$65 juta. F-35B milik
Korps Marinir dibanderol dengan harga sekitar US$131,6 juta yang akan
menggantikan AV-8B Harrier II dan F/A-18 Hornet yang masing-masing harganya
sekitar US$50 juta dan US$60 juta.
Perbedaan
biaya terbesar ada pada pesawat tempur superioritas udara. F-22 Raptor seharga
US$ 250 juta dibangun dengan rencana untuk menggantikan F-15 Eagle yang
harganya sekitar US$65 juta setiap unitnya.
F-15C Strike
Eagle yang menggantikan F-111 Aardvark memiliki jeda harga yang paling sempit. Keduanya
memiliki harga sama yakni sekitar US$80 juta. F-15E Strike Eagle dikembangkan
dari F-15 Eagle yang sudah ada. Hal ini menjadikan harga pesawat tidak terlalu
terpaut jauh dengan pesawat yang diganti.
Apa arti
dari semua ini?. Sederhananya, Pentagon hanya akan mampu membeli pesawat yang
jumlahnya semakin sedikit.
Apakah
pesawat yang lebih mahal berarti lebih mampu?. Faktanya memang demikian.
Pesawat semacam F-22 dan F-35 mungkin dua hinga tiga kali lebih mampu
dibandingkan pesawat yang akan diganti. Mereka memiliki karakteristik siluman,
kemampuan jelajah di atas kecepatan suara dan kemampuan untuk berbagi data dan
berkolaborasi di udara. Pesawat-pesawat ini juga akan memiliki umur 10-20 tahun
lebih lama dibandingkan pesawat sebelumnya.
Kemampuan
pesawat yang jauh lebih baik juga akhirnya mengurangi jumlah yang diperlukan
untuk sebuah misi. Selama Perang Dunia II, seratus pembom B-17 akan dikerahkan untuk
menyerang target seperti rel kereta api yang luas. Pada tahun 1960, empat pesawat F-4 Phantom bisa mencapai target
yang sama.
Pada
1980-an, satu, pesawat siluman F-117
bisa melakukan pekerjaan itu sendiri dengan peluang bertahan hidup lebih
tinggi. Pada tahun 2020 nanti, sebuah F-35 Joint Strike Fighter, yang lebih
siluman akan lebih aman dalam melalukan misi tersebut.
Ok, sebuah
pesawat baru yang dua atau tiga kali lebih mahal mungkin akan sebanding dengan
dua pesawat lama. Tetapi masalahnya adalah satu pesawat baru tidak mungkin bisa
dikirim ke dua tempat secara bersamaan
Ketika
armada pesawat Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Marinir AS semakin mungil,
tanggungjawab mereka semakin luas. Angkatan Udara Amerika misalnya harus
melakukan penyebaran kekuatan secara bersamaan di Eropa Timur, Suriah, Libya, Yaman,
Irak, Baltik dan Skandinavia, Laut China Selatan, semenanjung Korea,
Mediterania timur, Tanduk Afrika, dan di tempat lain. Lebih sedikit pesawat dan
misi lebih sering berarti kinerja pesawat dan awak juga semakin meningkat.
Pada tahun
1984, Norman Augustine menulis, “Pada tahun 2054, seluruh anggaran pertahanan
hanya akan membeli satu pesawat. Pesawat ini harus digunakan bersama oleh Angkatan
Udara dan Angkatan Laut 3 hari setiap per minggu kecuali untuk tahun kabisat,
ketika akan tersedia untuk Marinir hari ekstra. ”
Jika itu
terjadi berarti satu pesawat Amerikaa akan menghabiskan dua hari di Eropa, dua
hari di Asia, dan tiga hari di Timur Tengah. Tetapi tentu saja itu sebatas
teori. Tetapi intinya pesawat canggih tetapi jumlah tidak memadahi juga jadi
masalah besar.
0 comments:
Post a Comment