F-16 A/B
Block 15 OCU dari Skuadron Udara 16 TNI AU tergelincir dan dalam kondisi total
loss pada pada pendaratan pukul 14.55 WIB di landas pacu Pangkalan Udara Utama
TNI AU Roesmin Noerjadin, Pekanbaru, Riau, kemarin.
F-16
Fighting Falcon “generasi pertama” yang dimiliki TNI AU dan semula ditempatkan
di Skuadron Udara 3 (di Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahyudi, Madiun, Jawa
Timur) itu bisa dimiliki Indonesia sebagai akibat dari rejeki kenaikan harga
BBM dunia pada dasawarsa ’70-an dan ’80-an.
Pemerintah
saat itu lalu membentuk tim untuk memodernisasi sistem kesenjataan nasional
kita. Khusus untuk mengadakan F-16 Fighting Falcon pesawat tempur multi peran
yang sangat revolusioner pada masanya Markas Besar ABRI meluncurkan Proyek
Peace Bima Sena I.
12 unit F-16
A/B Block 15 OCU yang benar-benar baru bisa dibeli Indonesia sekaligus
menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemakai perdana pesawat tempur
produksi General Dinamics (saat itu), lengkap dengan peluru kendali AIM-9
Sidewinder, yang mengubah doktrin tempur udara.
F-16 A/B
Block 15 OCU bernomor registrasi TS-1603 termasuk dalam rombongan 12 unit itu.
Setelah
berpuluh tahun dan menghasilkan puluhan penerbang tempur serta pimpinan puncak
TNI AU, TS-1603 itu terlibat dalam drama duel udara sejati, bukan skenario
latihan tempur di udara antara TNI AU dengan kampiun militer dunia, Angkatan
Laut Amerika Serikat.
Catatan-catatan
pada saat itu menunjukkan, peristiwa duel udara kedua flight pesawat tempur
beda negara itu terjadi di udara Pulau Bawean, sekitar 150 km arah utara
Gresik-Surabaya, Jawa Timur, pada 3 Juli 2003.
Secara
koordinat, Pulau Bawean ada pada koordinat 05°48′06.6″ Lintang Selatan dan
112°38′53.9″ Bujur Timur.
Kisah
bermula saat radar Komando Pertahanan Udara Nasional Markas Besar TNI dan Pusat
Operasi Pertahanan Udara Nasional menangkap lima titik yang mencurigakan,
terbang dalam formasi rapat. Belum ada informasi apapun yang bisa dihasilkan
saat itu kecuali bahwa para penerbangnya masuk wilayah kedaulatan Indonesia
tanpa ijin.
Satu flight
pesawat tempur TNI AU dikirim ke titik-titik lokasi mencurigakan itu namun
kelima titik itu seketika menghilang. Berputar-putar mencari objek tanpa
identitas, pesawat-pesawat tempur TNI AU itu lalu kembali ke pangkalannya.
Dua jam
kemudian, radar Komando Sektor Pertahanan Udara II dari Komando Pertahanan
Udara Nasional Markas Besar TNI kembali menangkap manuver-manuver pesawat
terbang tanpa identitas itu.
Informasi
sangat berharga datang dari pilot-pilot pesawat terbang komersial, Bouraq
Indonesia Airlines dan Mandala Airlines (keduanya sudah henti operasi), yang
melaporkan bahwa manuver-manuver berkecepatan tinggi pesawat-pesawat (tempur)
itu sudah membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan berjadual.
Mereka juga
tidak membuka komunikasi apapun dengan menara pengatur lalu-lintas penerbangan
nasional. Saat itu, Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Markas Besar
TNI, Marsekal Muda TNI Teddy Sumarno, memerintahkan dua F-16 B Block 15 OCU
dari Skuadron Udara 3 mencegat, mengidentifikasi, dan mengusir mereka.
Para
penerbang yang ditugaskan sadar bahwa ini bukan latihan, melainkan misi perang
yang sesungguhnya. Mereka juga sadar bahwa pesawat-pesawat terbang yang akan
mereka cegat itu adalah pesawat tempur yang pastinya dilengkapi arsenal
mematikan.
Maka, Kapten
Penerbang Ian Fuadi dan Kapten Fajar Adrianto, duduk di kokpit F-16 B Block 15
OCU yang sama, dengan sandi Falcon 1 sebagai pemimpin flight. Adapun Falcon 2
di F-16 B Block 15 OCU yang lain diterbangkan Kapten Penerbang Tony Heryanto
dan Kapten Penerbang Satriyo Utomo. Untuk kemudian, call sign mereka adalah
Falcon Flight.
Penerbang
tempur dengan pangkat kapten sudah cukup berpengalaman dan mumpuni, mengingat
mereka biasanya berkarir tempur sejak pangkat letnan dua senior atau letnan
satu dan kenaikan pangkat menuju kapten dari letnan satu saat itu sekitar empat
tahun.
Misi kedua
F-16 B Block 15 OCU itu itu sangat jelas yaitu identifikasi visual dan sebisa
mungkin menghindari konfrontasi mengingat keselamatan penerbang tempur TNI AU
yang utama. Selain itu, para penerbang dari Skuadron Udara 3 TNI AU itu diminta
tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi
identifikasi tidak dianggap mengancam.
Namun
begitu, untuk menghadapi hal tidak terduga kedua F-16 B Block 15 OCU itu
dibekali masing-masing dua peluru kendali AIM-9 P4 Sidewinder dan 450 butir
amunisi kanon kaliber 20 mm.
Menjelang
petang, Falcon Flight melesat ke udara dari Pangkalan Udara Utama TNI AU
Iswahyudi (sekitar 125 kilometer arah barat Surabaya) dan dalam hitungan cepat
mereka langsung disambut dua pesawat F-18 Hornet.
Angkatan
Udara Amerika Serikat tidak mungkin mengerahkan F-18 Hornet dari pangkalan aju
terdekatnya tanpa dukungan tanker udara untuk bisa masuk ke perairan dan udara
kedaulatan nasional Indonesia. Pihak lain yang sangat mungkin mengerahkan unsur
kekuatan udara serupa itu adalah Angkatan Laut Amerika Serikat, karena mereka
juga memiliki F-18 Hornet versi AL dalam daftar arsenalnya.
Pula, di
dekat perairan Pulau Bawean-Selat Bali-Selat Lombok-Laut Jawa-Selat Sulawesi
itu terdapat Alur Laut Kepulauan Indonesia II.
Radar Falcon
Flight segera menangkap kehadiran dua F-18 Hornet terbang cepat dalam posisi
siap tempur. Mererka lalu terlibat perang radar atau radar jamming yang
kemudian dilaporkan berlangsung seru.
Keempat
penerbang tempur TNI AU itu menjadi tegang, terkhusus karena satu F-16 TNI AU
lebih dulu dikunci oleh salah satu F-18 Hornet. F-16 kedua sebagai pendukung
(Falcon 2) dikejar dalam dog fight cukup ketat oleh F-18 kedua.
Dalam
berbagai silabus sekolah penerbang tempur, manuver-manuver membuyarkan kejaran
pesawat tempur lawan pasti diajarkan. Ini juga yang dipraktekkan keempat
penerbang tempur TNI AU saat itu. Manuver hard break (berbelok tajam hampir 90
derajat ke arah kanan-kiri serta zig-zag dipraktekkan).
Bukan cuma
F-16 TNI AU ternyata yang melakukan manuver-manuver itu, karena kedua F-18
Hornet juga. Ketat saling menempel dan ketat pula manuver melepaskan diri dari
tempelan musuh terus terjadi sampai akhirnya disadari ini bisa berujung pada
pemusnahan pihak yang dianggap musuh.
Inisiatif
menggoyang sayap (rocking wing) sebagai tanda
kedua pesawat F-16 TNIAU tidak mempunyai maksud mengancam diambil.
Sekitar satu
menit kemudian, kedua F-16 berhasil berkomunikasi dengan kedua F-18 Hornet yang
mereka coba sergap dan identifikasi. Dari komunikasi singkat itu akhirnya
diketahui, kedua F-18 Hornet itu mengklaim sedang terbang di wilayah perairan
internasional.
Sejak 1957,
Indonesia mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dan
tidak ada lagi istilah “laut dalam” sehingga semua wilayah perairan dan udara
nasional adalah wilayah kedaulatan nasional. Inilah hasil dari Deklarasi
Djuanda.
“We are F-18
Hornets from US Navy Fleet, our position on International Water, stay away from
our warship”. F-16 B Block 15 OCU pertama TNI AU lalu menjelaskan, mereka
sedang melaksanakan patroli dan bertugas mengidentifikasi visual serta memberi
tahu bahwa posisi F-18 berada di wilayah kedaulatan Indonesia.
Kedua F-18
Hornet itu juga diminta mengontak ke ATC setempat, karena ATC terdekat, Bali Control,
belum mengetahui status mereka.
Usai kontak
radio itu, kedua F-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat itu terbang menjauh
sedang Falcon Flight kembali, kembali ke Pangkalan Udara Utama TNI AU
Iswahyudi.
“Menegangkan
sekali. Mereka sudah mengunci (lock-on) pesawat kami, tinggal menembak saja.
Itu dapat dilihat pada layar (display) ada tanda dan alarm bahaya bahwa kami
sudah di-lock on,” ujar Fuadi bersama Kapten Satriyo, Sabtu silam (5/7/2003).
Mereka menceritakan kisahnya di Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahjudi, Madiun.
Selain
berhasil bertemu dengan Hornet, kedua F-16 TNI-AU juga melihat sebuah kapal
perang Frigat yang sedang berlayar ke arah timur.
Ternyata,
lima titik tanpa identitas pesawat tempur yang semula dilacak radar Komando
Pertahanan Udara Nasional Markas Besar TNI itu berasal dari kapal induk
Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Carl Vinson (CVN-70) yang berlayar diam-diam
di dalam perairan nasional di Laut Jawa.
Setelah
kedua F-16 TNI AU itu mendarat selamat, mereka menerima laporan dari MCC Rai
(ATC Bali) bahwa mereka bagian dari armada Angkatan Laut Amerika Serikat yang
tengah berlalu di Laut Jawa.
Dengan semua
ketegangan dan taktik yang diterapkan, Falcon Flight menuai keberhasilan dalam
hal memaksa F-18 Hornet melaporkan keberadaan dirinya kepada ATC di Bandara
Internasional Ngurah Rai di frekuensi 118,1 atau 118,5 UHF.
Walau misi
Falcon Flight selesai, namun Markas Besar TNI AU dan TNI tetap menjejaki
kehadiran unsur kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat itu. Keesokan harinya,
sekitar pukul 07.00 WITA, Boeing B-737 Surveillance dari Skuadron Udara 5 TNI
AU diterbangkan.
Mereka bisa
melihat kehadiran USS Carl Vinson (CVN-70), dengan kapal-kapal pengiringnya
berlayar menuju Selat Lombok. Yang menarik, selama Boeing B-737 Surveillance
TNI AU itu menjalankan misi, dua F-18 Hornet dari USS Carl Vinson (CVN-70)
membayang-bayangi mereka.
Pemerintah
lalu melayangkan keberatan diplomatik kepada Amerika Serikat berdasarkan
temuan-temuan para penerbang TNI AU itu.
F-16 A/B
Block 15 OCU nomor registrasi TS- 1603 menunaikan tugasnya secara baik saat itu.
0 comments:
Post a Comment