Thursday, 16 March 2017

Kisah Heroik F-16 TS-1603 di Insiden Pulau Bawean


F-16 A/B Block 15 OCU dari Skuadron Udara 16 TNI AU tergelincir dan dalam kondisi total loss pada pada pendaratan pukul 14.55 WIB di landas pacu Pangkalan Udara Utama TNI AU Roesmin Noerjadin, Pekanbaru, Riau, kemarin.

F-16 Fighting Falcon “generasi pertama” yang dimiliki TNI AU dan semula ditempatkan di Skuadron Udara 3 (di Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur) itu bisa dimiliki Indonesia sebagai akibat dari rejeki kenaikan harga BBM dunia pada dasawarsa ’70-an dan ’80-an.

Pemerintah saat itu lalu membentuk tim untuk memodernisasi sistem kesenjataan nasional kita. Khusus untuk mengadakan F-16 Fighting Falcon pesawat tempur multi peran yang sangat revolusioner pada masanya Markas Besar ABRI meluncurkan Proyek Peace Bima Sena I.

12 unit F-16 A/B Block 15 OCU yang benar-benar baru bisa dibeli Indonesia sekaligus menempatkan Indonesia sebagai salah satu pemakai perdana pesawat tempur produksi General Dinamics (saat itu), lengkap dengan peluru kendali AIM-9 Sidewinder, yang mengubah doktrin tempur udara.

F-16 A/B Block 15 OCU bernomor registrasi TS-1603 termasuk dalam rombongan 12 unit itu.


Setelah berpuluh tahun dan menghasilkan puluhan penerbang tempur serta pimpinan puncak TNI AU, TS-1603 itu terlibat dalam drama duel udara sejati, bukan skenario latihan tempur di udara antara TNI AU dengan kampiun militer dunia, Angkatan Laut Amerika Serikat.

Catatan-catatan pada saat itu menunjukkan, peristiwa duel udara kedua flight pesawat tempur beda negara itu terjadi di udara Pulau Bawean, sekitar 150 km arah utara Gresik-Surabaya, Jawa Timur, pada 3 Juli 2003.

Secara koordinat, Pulau Bawean ada pada koordinat 05°48′06.6″ Lintang Selatan dan 112°38′53.9″ Bujur Timur.

Kisah bermula saat radar Komando Pertahanan Udara Nasional Markas Besar TNI dan Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional menangkap lima titik yang mencurigakan, terbang dalam formasi rapat. Belum ada informasi apapun yang bisa dihasilkan saat itu kecuali bahwa para penerbangnya masuk wilayah kedaulatan Indonesia tanpa ijin.

Satu flight pesawat tempur TNI AU dikirim ke titik-titik lokasi mencurigakan itu namun kelima titik itu seketika menghilang. Berputar-putar mencari objek tanpa identitas, pesawat-pesawat tempur TNI AU itu lalu kembali ke pangkalannya.

Dua jam kemudian, radar Komando Sektor Pertahanan Udara II dari Komando Pertahanan Udara Nasional Markas Besar TNI kembali menangkap manuver-manuver pesawat terbang tanpa identitas itu.

Informasi sangat berharga datang dari pilot-pilot pesawat terbang komersial, Bouraq Indonesia Airlines dan Mandala Airlines (keduanya sudah henti operasi), yang melaporkan bahwa manuver-manuver berkecepatan tinggi pesawat-pesawat (tempur) itu sudah membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan berjadual.

Mereka juga tidak membuka komunikasi apapun dengan menara pengatur lalu-lintas penerbangan nasional. Saat itu, Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Markas Besar TNI, Marsekal Muda TNI Teddy Sumarno, memerintahkan dua F-16 B Block 15 OCU dari Skuadron Udara 3 mencegat, mengidentifikasi, dan mengusir mereka.

Para penerbang yang ditugaskan sadar bahwa ini bukan latihan, melainkan misi perang yang sesungguhnya. Mereka juga sadar bahwa pesawat-pesawat terbang yang akan mereka cegat itu adalah pesawat tempur yang pastinya dilengkapi arsenal mematikan.

Maka, Kapten Penerbang Ian Fuadi dan Kapten Fajar Adrianto, duduk di kokpit F-16 B Block 15 OCU yang sama, dengan sandi Falcon 1 sebagai pemimpin flight. Adapun Falcon 2 di F-16 B Block 15 OCU yang lain diterbangkan Kapten Penerbang Tony Heryanto dan Kapten Penerbang Satriyo Utomo. Untuk kemudian, call sign mereka adalah Falcon Flight.

Penerbang tempur dengan pangkat kapten sudah cukup berpengalaman dan mumpuni, mengingat mereka biasanya berkarir tempur sejak pangkat letnan dua senior atau letnan satu dan kenaikan pangkat menuju kapten dari letnan satu saat itu sekitar empat tahun.

Misi kedua F-16 B Block 15 OCU itu itu sangat jelas yaitu identifikasi visual dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi mengingat keselamatan penerbang tempur TNI AU yang utama. Selain itu, para penerbang dari Skuadron Udara 3 TNI AU itu diminta tidak mengunci (lock on) sasaran dengan radar atau rudal sehingga misi identifikasi tidak dianggap mengancam.

Namun begitu, untuk menghadapi hal tidak terduga kedua F-16 B Block 15 OCU itu dibekali masing-masing dua peluru kendali AIM-9 P4 Sidewinder dan 450 butir amunisi kanon kaliber 20 mm.

Menjelang petang, Falcon Flight melesat ke udara dari Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahyudi (sekitar 125 kilometer arah barat Surabaya) dan dalam hitungan cepat mereka langsung disambut dua pesawat F-18 Hornet.

Angkatan Udara Amerika Serikat tidak mungkin mengerahkan F-18 Hornet dari pangkalan aju terdekatnya tanpa dukungan tanker udara untuk bisa masuk ke perairan dan udara kedaulatan nasional Indonesia. Pihak lain yang sangat mungkin mengerahkan unsur kekuatan udara serupa itu adalah Angkatan Laut Amerika Serikat, karena mereka juga memiliki F-18 Hornet versi AL dalam daftar arsenalnya.

Pula, di dekat perairan Pulau Bawean-Selat Bali-Selat Lombok-Laut Jawa-Selat Sulawesi itu terdapat Alur Laut Kepulauan Indonesia II.

Radar Falcon Flight segera menangkap kehadiran dua F-18 Hornet terbang cepat dalam posisi siap tempur. Mererka lalu terlibat perang radar atau radar jamming yang kemudian dilaporkan berlangsung seru.

Keempat penerbang tempur TNI AU itu menjadi tegang, terkhusus karena satu F-16 TNI AU lebih dulu dikunci oleh salah satu F-18 Hornet. F-16 kedua sebagai pendukung (Falcon 2) dikejar dalam dog fight cukup ketat oleh F-18 kedua.

Dalam berbagai silabus sekolah penerbang tempur, manuver-manuver membuyarkan kejaran pesawat tempur lawan pasti diajarkan. Ini juga yang dipraktekkan keempat penerbang tempur TNI AU saat itu. Manuver hard break (berbelok tajam hampir 90 derajat ke arah kanan-kiri serta zig-zag dipraktekkan).

Bukan cuma F-16 TNI AU ternyata yang melakukan manuver-manuver itu, karena kedua F-18 Hornet juga. Ketat saling menempel dan ketat pula manuver melepaskan diri dari tempelan musuh terus terjadi sampai akhirnya disadari ini bisa berujung pada pemusnahan pihak yang dianggap musuh.

Inisiatif menggoyang sayap (rocking wing) sebagai tanda  kedua pesawat F-16 TNIAU tidak mempunyai maksud mengancam diambil.

Sekitar satu menit kemudian, kedua F-16 berhasil berkomunikasi dengan kedua F-18 Hornet yang mereka coba sergap dan identifikasi. Dari komunikasi singkat itu akhirnya diketahui, kedua F-18 Hornet itu mengklaim sedang terbang di wilayah perairan internasional.

Sejak 1957, Indonesia mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dan tidak ada lagi istilah “laut dalam” sehingga semua wilayah perairan dan udara nasional adalah wilayah kedaulatan nasional. Inilah hasil dari Deklarasi Djuanda.

“We are F-18 Hornets from US Navy Fleet, our position on International Water, stay away from our warship”. F-16 B Block 15 OCU pertama TNI AU lalu menjelaskan, mereka sedang melaksanakan patroli dan bertugas mengidentifikasi visual serta memberi tahu bahwa posisi F-18 berada di wilayah kedaulatan Indonesia.

Kedua F-18 Hornet itu juga diminta mengontak ke ATC setempat, karena ATC terdekat, Bali Control, belum mengetahui status mereka.

Usai kontak radio itu, kedua F-18 Hornet Angkatan Laut Amerika Serikat itu terbang menjauh sedang Falcon Flight kembali, kembali ke Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahyudi.

“Menegangkan sekali. Mereka sudah mengunci (lock-on) pesawat kami, tinggal menembak saja. Itu dapat dilihat pada layar (display) ada tanda dan alarm bahaya bahwa kami sudah di-lock on,” ujar Fuadi bersama Kapten Satriyo, Sabtu silam (5/7/2003). Mereka menceritakan kisahnya di Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahjudi, Madiun.

Selain berhasil bertemu dengan Hornet, kedua F-16 TNI-AU juga melihat sebuah kapal perang Frigat yang sedang berlayar ke arah timur.

Ternyata, lima titik tanpa identitas pesawat tempur yang semula dilacak radar Komando Pertahanan Udara Nasional Markas Besar TNI itu berasal dari kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Carl Vinson (CVN-70) yang berlayar diam-diam di dalam perairan nasional di Laut Jawa.

Setelah kedua F-16 TNI AU itu mendarat selamat, mereka menerima laporan dari MCC Rai (ATC Bali) bahwa mereka bagian dari armada Angkatan Laut Amerika Serikat yang tengah berlalu di Laut Jawa.

Dengan semua ketegangan dan taktik yang diterapkan, Falcon Flight menuai keberhasilan dalam hal memaksa F-18 Hornet melaporkan keberadaan dirinya kepada ATC di Bandara Internasional Ngurah Rai di frekuensi 118,1 atau 118,5 UHF.

Walau misi Falcon Flight selesai, namun Markas Besar TNI AU dan TNI tetap menjejaki kehadiran unsur kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat itu. Keesokan harinya, sekitar pukul 07.00 WITA, Boeing B-737 Surveillance dari Skuadron Udara 5 TNI AU diterbangkan.

Mereka bisa melihat kehadiran USS Carl Vinson (CVN-70), dengan kapal-kapal pengiringnya berlayar menuju Selat Lombok. Yang menarik, selama Boeing B-737 Surveillance TNI AU itu menjalankan misi, dua F-18 Hornet dari USS Carl Vinson (CVN-70) membayang-bayangi mereka.

Pemerintah lalu melayangkan keberatan diplomatik kepada Amerika Serikat berdasarkan temuan-temuan para penerbang TNI AU itu.

F-16 A/B Block 15 OCU nomor registrasi TS- 1603 menunaikan tugasnya secara baik saat itu.


0 comments:

Post a Comment