Direktur
Utama PT Dirgantara Indonesia (Persero) Budi Santoso menegaskan bahwa tidak ada
kaitan antara kinerja produksi dengan rencana pergantian direksi menjelang
berakhirnya masa jabatan direksi.
“Jadi, kalau
dilihat pemberitaan seperti itu, rasanya aneh apabila orang dalam memperlambat
produksi, rasanya tidak mungkin,” kata Budi Santoso saat dihubungi Antara dari
Pontianak, Kamis.
Menurut dia,
saat ini PT Dirgantara Indonesia tengah fokus menyelesaikan sejumlah pesanan
pesawat dari beberapa pihak seperti TNI AU, Thailand dan Filipina.
“Setiap hari
kerja, jadi tidak benar seperti yang diberitakan sebelumnya,” kata Budi
Santoso.
Secara
pribadi pun ia menilai lebih baik menjadi direksi saja dibandingkan menjadi
direktur utama di PT DI.
“Tanggung
jawabnya lebih besar, sedangkan pendapatan beda sedikit saja. Dan itu semua
sudah diatur kementerian BUMN,” ujar mantan Dirut PT Pindad ini.
Budi Santoso
yang sudah hampir 22 tahun menjadi direktur utama di sejumlah BUMN menuturkan,
produksi yang sempat melambat terlebih disebabkan karena adanya perubahan
engineering yang berimbas kepada desain yang baru.
Ia
mencontohkan produksi NC212 yang mulai kembali diproduksi pada tahun 2011 yang
sebelumnya PTDI (dahulu IPTN) fokus pada program pesawat N250, dimana program
tersebut ketika terjadi krisis moneter tahun 1997 dan 1998 dihentikan.
Setelah
krisis mulai berlalu, perusahaan tersebut kembali berproduksi. Lalu, direksi
melihat apa lagi yang dapat dikerjakan. Ada dua pilihan pesawat, jenis
helikopter atau fixed wing. Pilihan jatuh ke fixed wing dengan pertimbangan
lebih banyak pekerjaan yang dapat dilakukan PTDI. “Lalu, kita fokus ke NC212,”
ungkap Budi Santoso.
Pesawat
NC212 dan CN235 menjadi fokus PTDI dengan melakukan beberapa upgrade agar
sesuai dengan kebutuhan dan teknologinya tidak ketinggalan zaman, dimana saat
ini pesawat tersebut menjadi unggulan produk PTDI yang telah diakui dunia.
Untuk
memperkuat posisi PTDI sebagai produsen NC212, pihaknya menggandeng kerja sama
dengan Airbus Defence and Space (sebelumnya dikenal dengan Aibus Military/CASA)
agar seluruh fasilitas produksi yang berkaitan dengan NC212 dipindahkan ke
PTDI. “Peralatan PTDI sebagian besar dari Airbus Defence and Space di Spanyol.
Meski tidak baru, dan ada beberapa yang perlu diperbaiki,” kata dia.
Kini, permintaan
terhadap NC212 terus tumbuh. Saat ini ada pesanan dari Thailand meski PTDI
dikenakan denda 3,5 – 4 juta dolar AS namun denda tersebut dapat di konversi ke
pekerjaan jasa pemeliharaan pesawat dan dukungan suku cadang, bukan dalam
bentuk tunai.
Selain itu,
ada juga pesanan dari Filipina untuk NC212i yang merupakan pengembangan lebih
lanjut dari seri NC212-200/400.
“Kelambatan
pengiriman bukan karena masalah di sisi PTDI, namun pesawat ini sudah siap di
delivery akan tetapi pihak angkatan udara Filipina saat ini masih mempersiapkan
fasilitas hanggar untuk NC212i tersebut sehingga pesawatnya masih dititipkan di
PTDI,” ungkap dia.
Ia
menambahkan, hingga tahun 2018, ada pesanan 18 unit NC212 yang harus
diselesaikan PTDI. Nilai per unit pesawat tersebut di kisaran 12 juta dolar AS,
harga tersebut bisa lebih atau kurang tergantung permintaan dan kebutuhan
pemesan. Pesanan tersebut terdiri dari pesanan TNI AU sebanyak 9 unit, Thailand
2 unit dan Filipina 7 unit.
“Kalau
Thailand mempermasalahkan keterlambatan, toh buktinya mereka kembali memesan ke
PTDI,” kata Budi Santoso.
Ia
melanjutkan, PTDI pernah mengalami masa-masa sulit sebelumnya. “Dan kini mulai
menuai hasil,” kata dia.
Pada pameran
dirgantara di Langkawi, Malaysia (LIMA 2017), ia dengan tegas mengatakan bahwa
produksi NC212 dan CN235 saat ini semua berasal dari PTDI di Bandung. “Ini
menjadi identitas Indonesia di dunia sebagai industri pesawat bertaraf
internasional,” ujar dia.
Selain NC212
dan CN235, program selanjutnya adalah pesawat N219 untuk pesawat ringan dengan
kapasitas 19 penumpang dan pesawat N245 dengan kapasitas yang lebih besar,
pesawat tersebut akan menjadi branding PTDI dan Indonesia di mata dunia.
0 comments:
Post a Comment