Meski jadi
salah satu BUMN strategis, belum banyak orang mengenal PT Dahana (Persero).
Bisnis utama perusahaan yang berkantor pusat di Kabupaten Subang, Jawa Barat,
ini adalah produksi bahan peledak alias bom. Selain memiliki keandalan dalam
produksi dan jasa peledakan di pertambangan dan konstruksi, Dahana juga
memproduksi bom untuk pesawat Sukhoi dan roket.
Tugas berat
disandang Dahana yakni agar Indonesia tak terlalu bergantung pada bom impor.
Sejak beberapa tahun terakhir, Dahana tengah mengembangkan bom dan roket untuk
kebutuhan dalam negeri. Keandalan bom buatan Dahana dalam berbagai uji coba
latihan militer membuat beberapa negara kepincut.
Bagaimana
pengembangan roket maupun bom pesawat yang digarap Dahana saat ini?. Berikut
petikan wawancara khusus dengan Direktur Utama Dahana, Budi
Antono, di Menara MTH, Cawang, Jakarta, Jumat (3/3/2017).
Produksi bom
pesawat dan roket itu bisnis atau penugasan pemerintah?
Otomatis
kalau usser (pemerintah) minta ini, minta itu artinya penugasan. Tidak mungkin
Dahana bikin tanpa ada yang pakai, ada kontraknya, kalau bom P-100 Live dari
TNI-AU, kalau roket R-Han dari Kemenhan. Jadi kan pemerintah punya 7 program
kemandirian alutsista, Dahana kebagian membuat bom pesawat dan roketnya.
Berapa
kontrak pembuatan roket dan bom?
Kalau bom
P-100 Live dari TNI US$ 6,4 juta itu 1.000 buah. Terus kalau roket itu dari
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) 120 buah roket. Kalau Roket R-Han kalau dua
saja harganya hampir Rp 4 miliar, saya lupa nilai kontraknya. R-Han 122 bisa
sampai 35 kilometer (km), jarak kan ada ketepatan, ketepatan sudah masuk ke
tujuan, sasarannya bukan nyimpang-nyimpang, kalau misalnya kapal ya kena
kapalnya. April dan Mei ini kita akan mulai buat. Lagi dikembangkan roket R-Han
450, jangkauannya bisa lebih dari 100 km.
Kalau bom
itu untuk Sukhoi. Kalau ledakannya kira-kira bom yang penting pecahannya,
terbang sampai 200 meter dan 250 meter, bukan dua lapangan bola hancur semua,
tapi pecahannya, seperti granat membuat orang meninggal dalam radius itu.
Apakah
produksi bom militer menguntungkan?
Jadi
tanggung jawab Dahana di konsorsium itu membuat roket dan bom. Semuanya
menguntungkan, tapi enggak boleh sebut untungnya berapa, enggak boleh keluar
uang tapi enggak menghasilkan. Jadi kalau buat bom kita ada hitungannya, dan
juga harus bandingkan dengan produk luar negeri.
Rencana mau
ekspor bom, sudah ada negara yang minat?
Sebetulnya
kalau ada permintaan boleh-boleh saja, asal sesuai. Misalnya ke Mynamar tapi
ada kasus di Rohingnya, boleh ekspor tapi harus izin ke Kemenhan dulu. Pernah
ngomong minat, ada utusan Dahana juga ke Myanmar. Untuk bom yang bisa ditempel
di dinding, namanya Dayagel Sivor, kita sudah ekspor ke Timur Tengah.
Selain
Dahana ada PT Pindad, apakah bersaing membuat bom untuk militer?
Ya enggak
bersaing, itu kan diputuskan Kemenhan. Dahana buat R-Han 450, Dahana buat R-Han
122, buat bom P-100 Live. Jadi tidak ada Dahana buat bom, Pindad buat bom,
sudah ada masing-masing.
Bagaimana
dengan bom impor?
Program-program
dalam negeri dibelilah sama pemerintah. Memang sih kalau teknologi tinggi harus
impor, ada penggolongan di dalam negeri apa saja, yang diimpor apa saja.
Bagaimana
kelanjutan proyek pabrik propelan untuk bahan bakar roket?
Jadi
sejujurnya kalau misalkan Dahana harus biayai pabrik propelan belum mampu, kita
buat usulan propelan harus goverment own company operated. Kalau uangnya Dahana
enggak mampu, karena nilainya mahal, investasinya Rp 9 triliun. Selama ini
bahan baku propelan diimpor dari luar negeri lalu diproses di LAPAN, tapi
Dahana yang mengerjakan, pabrik propelan di LAPAN itu masih kecil.
0 comments:
Post a Comment