Panser
Daimler Dingo tua di punggung bukit Cicurug-Sukabumi seperti kesepian. Sendiri,
membisu. Sementara di bawah bukit, orang dan kendaraan hilir-mudik melintas di
Jalan Raya Siliwangi Sukabumi.
Di tempat
panser itu dan sekitarnya pernah pecah Pertempuran Bojong Kokosan pada penghujung
1945. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan penduduk Sukabumi menyergap konvoi
pasukan Inggris (Sekutu) yang hendak ke Bandung via Sukabumi.
Inggris
bertugas melucuti dan merepatriasi tentara Jepang, membebaskan dan melindungi
tawanan Sekutu, serta memelihara hukum serta ketertiban. Namun, Inggris datang
bersama pasukan Belanda dan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) yang
berambisi menjajah kembali Indonesia. Menurut A.E. Kawilarang dalam Untuk Sang
Merah Putih, Belanda memprovokasi Inggris bahwa TKR merupakan pasukan liar,
ekstremis. Konflik dengan TKR pun tak terhindarkan.
Pada 21
November 1945, Resimen 5 di bawah Moeffreni Moe’min membajak kereta api
logistik Inggris di Cikampek. Untuk menghindari kejadian itu terulang, Inggris
mengalihkan suplai logistiknya ke Bandung melalui Bogor-Sukabumi. Panglima
Komandemen I Jawa Barat Mayjen Didi Kartasasmita memerintahkan pasukan di bawah
kekuasaannya, termasuk Resimen III Sukabumi, membantu misi Inggris.
Tapi situasi
terlanjur panas. Pasukan Inggris juga seringkali bergerak sendiri tanpa
koordinasi. Akibatnya, menurut Kawilarang, “pertempuran sering terjadi antara
Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Bandung, berupa penghadangan terhadap konvoi
Sekutu yang dikawal dengan endaraan lapis baja dan tank.”
Letkol Eddie
Sukardi, komandan Resimen III di Sukabumi, kesal dengan tindakan pasukan
Inggris yang dianggapnya melecehkan wibawa TKR. Rencana penghadangan besar
dibuat. Desa Bojong Kokosan dipilih menjadi titik penghadangan. Selain jalannya
berkelok-kelok dan menanjak, kanan-kirinya bukit cocok untuk penyergapan. Empat
batalion dikerahkan menjaga masing-masing satu koridor yang totalnya mencapai
81 km.
Selain
mengerahkan empat batalion, Eddie mengajak laskar-laskar dan penduduk.
“Semuanya ikut berperang, termasuk ibu-ibu yang bawa alu. Apapun dijadikan
senjata,” ujar Wawan Suwandi, sukarelawan Museum Palagan Bojong Kokosan yang
juga anak pejuang pertempuran tersebut.
Pada Minggu,
9 Desember, para pejuang bersiaga menunggu konvoi Sekutu. Guna menghambat laju
konvoi, mereka menaruh pohon-pohon untuk barikade di tikungan “Talang Luhur” kini
sekira 200 meter dari museum.
Konvoi
Inggris tiba di Bojong Kokosan pada siang hari. Di luar dugaan para Republiken,
“konvoi itu terdiri dari 150 truk dengan pengawal dari Batalion 5/9 Jats dan
tank,” tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali!”
Konvoi
Inggris berhenti di tikungan “Talang Luhur” akibat barikade. “Ketika tank
Sherman di depan sedang membersihkan barikade, konvoi yang sedang berhenti
diserang pasukan TKR yang berada di bukit-bukit kiri-kanan jalan,” tulis Saleh.
Banyak dari mereka menyerang dari lubang-lubang pertahanan di punggung bukit.
Semua pejuang mulai dari Cicurug sampai Bojong Kokosan menyerang konvoi
sepanjang sekira 12 km itu.
Pasukan
Inggris kewalahan. “Pimpinan pasukan Jats sudah terluka berat pada awal
serangan. Satu kendaraan terbakar, sejumlah lainnya rusak berat dan sejumlah
pengemudi tertelungkup di atas kemudi, entah mati atau karena terkena luka
tembak,” tulis A.J.F. Doulton dalam The Fighting Cock.
Pasukan Jats
mati-matian melindungi konvoi. Balabantuan datang yaitu pesawat tempur RAF
(Royal Air Force) dan Batalion 3/3 Gurkha Rifles. Di sisi lain, para pejuang
kehabisan amunisi lalu mundur. Pasukan Inggris hanya bisa merayap untuk
mencapai Sukabumi sembari terus bertahan. “Dalam keadaan pincang, konvoi
memasuki Kota Sukabumi hampir tengah malam,” lanjut Doulton.
Meski jumlah
korban tak diketahui pasti, Indonesia mencatat sebanyak 28 putra-putrinya
gugur. Ke-28 nama itu diabadikan pada dinding di belakang Museum Palagan Bojong
Kokosan.
0 comments:
Post a Comment