Monday, 13 March 2017

Seminggu Serangan Trump ke Yaman, Lebih Banyak Dibanding Setahun Era Obama


Selama seminggu lalu, pasukan Amerika Serikat menggempur sejumlah target yang diklaim milik Al-Qaeda di semenanjung Arab (AQAP) di Yaman. Jumlah serangan selama seminggu oleh pemerintah Trump ini melebihi jumlah serangan selama satu tahun yang dilakukan Obama.

Majalah Foreign Policy melaporkan Minggu 12 Maret 2017, sebanyak 40 target dihantam oleh serangan udara pada awal Maret. Serangan yang menggunakan pesawat tempur dan drone tersebut dinilai Foreign Policy menunjukkan Trump lebih cepat dalam memberikan lampu hijau serangan ke wilayah negara yang sebenarnya Amerika tidak mengeluarkan deklarasi perang.

Seorang mantan pejabat senior pertahanan AS yang menentang sikap pemerintah sebelumnya mengatakan pada masa lalu proses izin sangat panjang dan harus melalui Dewan Keamanan Nasional. Hal ini menurutnya kerap membuat perencana militer Amerika fustrasi. Pemerintah baru tampaknya memberikan peran kepada militer lebih kuat dalam pengambilan keputusan dan tindakan lebih diutamakan daripada musyawarah.

Sekarang tampaknya juga lebih mudah untuk mengambil keputusan karena jumlah staf yang lebih kecil. “Secara default, semuanya akan menjadi lebih cepat dari flash bang daripada selama kepresidenan Obama,” kata mantan pejabat Pentagon tersebut.

Amerika menargetkan AQAP yang masuk ke Yaman di tengah situasi negara tersebut yang terkoyak oleh perang saudara. Amerika selalu mengklaim kelompok ini memberi ancaman terhadap keamanan nasional mereka hingga berhak untuk menyerang di manapun mereka ditemukan.

Serangan terhadap AQAP, juga telah menewaskan warga sipil dan setidaknya dua anak hanya dalam seminggu terakhir. Sementara Yaman telah dilandan kelaparan yang menurut PBB ada 12 juta warga Yaman yang membutuhkan bantuan untuk menyelematkan diri.


“Meskipun banyak kompleksitas di Yaman, jelas bahwa pihak yang bertikai di semua sisi tidak berbuat cukup untuk meminimalkan kerugian bagi warga sipil,” Kristine Beckerle, seorang  peneliti Human Rights Watch untuk Yaman dan Kuwait,  kepada  VICE News.

0 comments:

Post a Comment