Royal
Malaysia Air Force (RMAF) atau Angkatan Udara Malaysia menghadapi masa depan
yang tidak pasti terkait rencana pembangunan kemampuan. Hal ini karena keterbatasan
anggaran yang diberikan kepada mereka sebagai buntut pelemahan ekonomi akibat
turunnya harga minyak dunia.
Sulit untuk
memprediksi masa depan pengadaan sistem persenjataan utama RMAF. Alokasi
anggaran pertahanan tahunan untuk pengadaan sebenarnya bukan untuk memperoleh
peralatan pertahanan utama, tetapi untuk pembayaran progresif peralatan yang
sudah dibeli.
Pilatus PC-7 Mark II
Dana sebesar
462 juta ringgit Malaysia (sekitar US$ 104 juta) dialokasikan untuk RMAF untuk
pengadaan di bawah anggaran pertahanan 2017. Jumlah ini terpangkas besar
dibandingkan angka 2016 yang mencapai 702 juta ringgit.
Tetapi
penting untuk dicatat bahwa sebagian besar dari alokasi 2016 itu digunakan
untuk membayar lima Pilatus PC-7 Mark II dan dua Airbus A400M yang disampaikan
tahun lalu. Dengan A400M terakhir datang pada tahun 2017, dan tidak ada pesawat
lain diharapkan untuk bergabung dengan armada RMAF, dana berkurang tidak
terduga.
Meskipun
demikian, ada kemungkinan Kuala Lumpur akan kekurangan dana untuk setiap pembelian alutsista dalam jangka pendek. Menteri Pertahanan
Hishammuddin Hussein beberapa kali mengatakan kementerian menghadapi
keterbatasan anggaran. Komandan Angkatan udara Malaysia Jenderal Tan Sri Roslan
Saad, yang pensiun pada akhir 2016, juga mengatakan RMAF harus memperhatikan
situasi fiskal pemerintah ketika merencanakan masa depan.
Kendala
pendanaan dalam kurangnya kemajuan dalam program penerbangan kunci militer seharusnya
jadi prioritas tinggi, yaitu pada setelah dua krisis nasional. Yang pertama adalah
Serbuan Sulu di Borneo Maret 2013 yang
mendorong Kuala Lumpur untuk mengekspresikan kebutuhan memperoleh
pesawat pengintai maritim untuk mendeteksi serangan dari laut. Namun rencana
tidak terwujud dalam anggaran.
Demikian
pula, setelah hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370 pada Maret 2014,
pemerintah Malaysia menyatakan akan meng-upgrade kemampuan radar surveillance
berbasis darat RMAF, serta menambah pesawat pengintai maritim. Tetapi lagi-lagi
tidak ada item dana untuk rencana itu.
PENGADAAN
JET TEMPUR TIDAK JELAS
Tapi contoh
yang paling terlihat adalah ketika RMAF berencana untuk membeli jet tempur
multirole untuk menggantikan MiG-29 yang sudah cukup tua. Rencana ini sudah
dibangun sejak 2010 tetapi hingga sekarang tidak ada kepastian.
Menteri
Pertahanan Hishammuddin mengatakan kepada media pada Januari bahwa keputusan
tentang jet tempur multirole akan
dilakukan sebelum 2020, tetapi dia mengiingatkan bahwa kesepakatan apapun akan
bergantung pada perekonomian Malaysia.
Pada bulan
Oktober 2016, dia juga mengatakan bahwa pilihan diciutkan pada Dassault Rafale
dan Eurofighter Typhoon sedangkan Boeing F/A-18 E/F Super Hornet dan Saab
Gripen telah dikesampingkan.
Meskipun
telah ada pernyataan ini, Boeing dan Saab terus memasarkan jet mereka ke Kuala
Lumpur. Saab kini juga menawarkan Gripen E, yang akan siap pada tahun 2020, dengan
opsi untuk menyewa Gripen C/D pada masa tunggu hingga pesawat pesanan tiba.
Perusahaan
Sistem Teknologi Aerospace Malaysia juga telah menawarkan rencana peningkatan
MiG-29, tetapi sumber industri mengatakan RMAF lebih memilih pesawat baru.
Sementara itu, Angkatan Udara Malaysia
terus menerbangkan MiG-29 yang tersisa yang diperkirakan tinggal enam
unit dan kapasitas operasionalnya juga telah berkurang.
Pesawat
tempur RMAF lainnya yakni 18 Sukhoi
Su-30MKM dan 8 F/A-18 Hornet, beroperasi seperti biasa. Terbatasnya jumlah
airframes, menimbulkan tantangan karena wilayah udara yang luas serta kebutuhan
latihan. Negara ini secara geografis terbagi menjadi dua yakni Peninsular dan Malaysia
Timur yang mewajibkan RMAF untuk memutar detasemen tempur mereka.
Sebagaimana
dilaporkan Flightglobal Senin 13 Maret 2017, pemindahan permanen dari pangkalan
Kuantan di Semenanjung Malaysia ke pangkalan
Labuan di Pulau Labuan, di Malaysia Timur yang diisi dengan skuadron 6
dengan pesawat Hawk 208 telah mengurangi kebutuhan untuk rotasi tempur.
EMPAT
KECELAKAAN MEMPERBURUK KEADAAN
Masalah
bertambah karena pada 2016 RMAF
kehilangan empat jenis pesawat karena kecelakaan. Empat pesawat itu adalah
pesawat transportasi Airtech CN235-225M, pesawat latih Aermacchi MB-399,
Beechcraft King Air 200T yang dikonfigurasi sebagai patroli maritim dan
helikopter transportasi Sikorsky S-61A- 4 Nuri.
Dari empat
kecelakaan itu , MB-339CM dan King Air memiliki dampak paling besar. Armada
kecil MB-339CM sudah tidak memadai untuk
kebutuhan pelatihan dan hanya mempertahankan delapan pesawat. Itupun dengan
mengkanibal mesin pesawat MB-339A dan
menginstal ke pesawat seri CM. Opsi
untuk empat pesawat tambahan tidak pernah dilaksanakan.
RMAF juga
memiliki enam Hawk 108 untuk peawat tempur latih lead-in, tetapi jumlahnya
cukup kecil dan tidak cukup untuk menghasilkan pilot tempur dalam jumlah yang
memahadahi. Sejauh ini RMAF belum mengeluarkan persyaratan untuk pesawat latih
tempur lead-in baru. BAE telah menawarkan Hawk T2S dengan syarat Malaysia harus
membeli jet tempur Typhoon.
Demikian
pula, kecelakaan King Air menjadikan pesawat yang sudah sedikit semakin tidak
memadahi. Belum ada informasi apakah pesawat yang rusak itu akan diganti atau
tidak.
Namun,
laporan berkala muncul bahwa RMAF bisa memperoleh pesawat patroli maririm
CN-235 yang dibangun PT DI atau
mengkonversi beberapa CN-235 yang mereka miliki menjadi versi pesawat patroli
maritime.
Northrop
Grumman menawarkan E-2D Hawkeye dan Saab juga mengajukan Erieye. Kedua pesawat
ini bisa melakukan misi patroli maritime serta sebagai pesawat peringatan dini
dan kontrol. Namun tidak jelas komitmen Malaysia atas tawaran tersebut.
Angkatan
laut AS telah mengirimkan Boeing P-8 Poseidon MPA ke Malaysia pada sejumlah
kesempatan, tapi para pejabat AS menekankan bahwa kunjungan bertujuan untuk
membantu Malaysia di wilayah kesadaran domain maritim bukan untuk mempromosikan
Platform P -8. Pilihan lain tampaknya
melengkapi dua pesawat transportasi taktis Lockheed Martin C-130 dengan peralatan patroli maritime.
Hilangnya
CN-235 dan helikopter Nuri tidak bergitu membawa pengaruh karena RMAF masih
memiliki 12 helikopter Airbus Helicopters H225M yang beroperasi secara normal.
Sedangkan
CN-235 adalah transportasi VIP, tapi kemampuan transportasi taktis RMAF lebih
dari cukup dengan armada yang terdiri dari
C-130 dan tiga dari empat A400M
telah memasuki layanan. A400M Malaysia pertama saat ini kembali ke Seville
untuk ditingkatkan ke konfigurasi taktis, sedangkan dua sisanya dijadwalkan
untuk mengunjungi Seville untuk hal yang sama. Pesawat keempat akan tiba
sebelum pertengahan 2017, sepenuhnya dilengkapi dalam konfigurasi taktis.
0 comments:
Post a Comment