Friday, 24 February 2017

Kisah Bom Atom Buatan Indonesia


Uji coba bom hidrogen (termo nuklir) AS di Kepulauan Marshall (Pasifik) pada 1954, membuat Sukarno khawatir wilayah Indonesia timur terkena dampak radiasi. Dia lalu mencari ahli radiologi dalam negeri untuk melakukan penyelidikan. Sukarno mengeluarkan Keppres No. 230/1954 tentang pembentukan Panitia Negara untuk Penjelidikan Radio-Aktivitet pada 23 November 1954. Panitia ini dipimpin ahli radiologi dalam negeri, G.A. Siwabessy, yang baru pulang studi di London.

Tim lalu bergerak dengan prioritas tempat-tempat yang berdekatan dengan Samudera Pasifik, seperti Manado, Ambon, dan Timor. Hasil penyelidikan tim menyimpulkan, Indonesia aman dari dampak ujicoba bom AS.

Selesai tugas itu, tim menyarankan kepada pemerintah agar menaruh perhatian lebih kepada pernukliran. Upaya tersebut menuai hasil. Pemerintah lalu membentuk Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom (LTA).

Siwabessy, yang dipercaya menjadi direktur jenderal LTA, lalu membuat blue print pengembangan nuklir nasional. Selain memberi beasiswa kepada anak bangsa ke berbagai negara untuk mempelajari nuklir, LTA aktif berkeliling untuk mempelajari nuklir. Berbagai kerjasama juga dijajaki, yang terpenting dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).

Kerjasama itu membuat Indonesia mendapatkan bantuan dari AS. Pada Juni 1960, Indonesia menandatangani kerjasama bilateral di bidang nuklir dengan AS di bawah program “Atom for Peace”. Selain memberi dukungan dana sebesar 350 ribu dolar untuk pembangunan reaktor nuklir, dan 141 ribu dolar untuk riset pengembangan. AS juga mengirim tenaga ahlinya. Meski menuai pro-kontra, Indonesia berhasil membangun reaktor nuklir pertamanya, Triga-Mark II, pada April 1961.

Namun, kerjasama itu perlahan berubah bentuk seiring berubahnya hubungan Indonesia-AS. Kematian Presiden John F. Kennedy membuat hubungan Indonesia-AS tak lagi mesra. Sukarno makin lantang mengkampanyekan perlawanan terhadap neokolonialisme dan imperialisme yang ditopang negeri-negeri tua seperti AS.

Keberhasilan Tiongkok dalam ujicoba bom atom pertamanya pada 16 Oktober 1964 menginspirasi Sukarno untuk melakukan hal serupa. Menurut Sulfikar Amir dalam “The State and the Reactor: Nuclear Politics in Post-Suharto Indonesia,” dimuat jurnal Indonesia, ketertarikan Sukarno didorong oleh ancaman terhadap keamanan Indonesia setelah AS melancarkan Perang Vietnam dan Inggris menyokong pembentukan Federasi Malaysia. Selain itu, ini merupakan taktik Sukarno untuk memperoleh dukungan dari dua kubu politik dalam negeri yang terus berseteru, Angkatan Darat dan PKI.

Sukarno lalu diam-diam mengirim ahli-ahli nuklir dan petinggi militer Indonesia ke Tiongkok untuk belajar membuat bom atom. Hal itu dia lakukan karena adanya perjanjian mengikat antara Indonesia dengan AS, yang tak membolehkan Indonesia berpaling dari AS dalam pengembangan nuklirnya. Amerika tak bisa menghentikan langkahnya kendati kemudian rencana besar itu redup seiring kejatuhan Sukarno pada 1965.


0 comments:

Post a Comment