Usia
helikopter yang dimiliki TNI AU saat ini sudah tua. Pada tujuh skuadron tempur
yang ada di Indonesia, masing-masing butuh satu helikopter SAR. Selama ini
di-back up heli kecil yang tak memenuhi syarat. Dalam konteks inilah, TNI AU
merencanakan pengadaan heli angkut berat, AgustaWestland (AW) 101.
Masalahnya
pengadaan helikopter ini belakangan memicu polemik. Menteri Pertahanan Jenderal
(Purn.) Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saling
mengaku tidak tahu tentang pembelian helikopter.
Kepala Staf
Angkata Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto muncul sebagai perwira yang
memberi kejelasan tentang status helikopter AW 101 yang terparkir di Pangkalan
Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, kemarin. Demi meluruskan dan memberi
kejelasan, Hadi pun membentuk tim investigasi internal TNI AU.
Terlepas
dari benar-tidaknya proses pengadaan AW 101 kemarin, Hadi mengakui bahwa TNI AU
memang membutuhkan armada helikopter angkut berat untuk menunjang operasional
skadron tempurnya. “Minimal, tiap ada pesawat tempur yang terbang, ada
helikopter SAR yang standby,” kata Hadi ketika ditemui di kantornya, di
Markas Besar TNI AU, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa kemarin.
Berikut ini
adalah wawancara Hadi Tjahjanto dengan beberapa awak media nasional:
- Seperti apa
proses pengadaan helikopter AW 101 ini?
Sesuai
dengan postur TNI, kita memerlukan 4 skuadron heli angkut berat. Rencana
strategis (Renstra) pertahanan tahap 2 (2014-2019) akan merealisasikan postur
kebutuhan heli itu. 6 unit angkut ditambah 4 untuk VVIP. Jadi total jumlahnya
10 unit heli.
- Memangnya
ada apa dengan persediaan heli kita saat ini?
Yang kita
punya itu buatan tahun 1978-1980an. Contohnya Puma. Ada juga buatan yang agak
baru, yaitu Super Puma. Tapi bermasalah di suku cadang. Gearbox dan lainnya.
- Apakah heli
VVIP yang dipakai Presiden itu juga buatan tahun 1980an?
VVIP itu
pakai Super Puma tahun 2001. Itu sebabnya dalam Renstra ini kita minta
tambahan. 6 pesawat angkut berat, dan 4 VVIP karena sudah tua.
- Enam heli
angkut berat itu sendiri rencananya ditempatkan di mana?
Sebenarnya
syaratnya adalah satu heli SAR untuk setiap skadron tempur. Saat ini kita punya
tujuh skadron tempur. Jadi setiap ada pesawat tempur yang terbang, harus ada
satu heli yang standby untuk SAR. Karena masih belum mencukupi syarat, kita
sekarang dibackup oleh heli kecil Kolibri. Itu sebenarnya tidak memenuhi
syarat. Karena tidak bisa untuk mengambil korban dalam misi penyelamatan. Tidak
ada hoist atau slang. Oleh sebab itu, keinginan kita kebutuhan ini segera
dipenuhi.
- Anda sempat
menyebut, pengadaan Agusta ini ada hubungannya dengan India?
Di India
memang ada masalah internal dengan merek yang sama ini. Mereka memutuskan tidak
jadi beli. Ternyata dampaknya ke Indonesia.
- Mengapa
berdampak kesini?
Yang jelas,
jangan sampai kita seperti India. Sehingga pada 2015 pemerintah memutuskan
untuk tidak beli (AW 101). karena memang ada tekanan dari media juga. waktu itu
pemerintah memutuskan 2015 itu untuk tidak beli, karena memang tekanan dari
media.
- Semua
pesanan AW 101 dibatalkan?
Khusus pada
waktu itu, pemesanan untuk VVIP saja. Tapi untuk enam pesawat angkut itu belum
dilaksanakan pengajuan usulan permintaan (UP).
- Lalu mengapa
AW 101 kemarin tetap datang ke Indonesia?
Januari 2016
itu uangnya sudah ada, tapi karena pemerintah menghentikan, jadi anggarannya
diberi tanda bintang di Dirjen Anggaran. Tidak bisa dicairkan. Nah, kepala staf
TNI AU yang lalu berpikir, kita masih punya kepentingan. Ada kebutuhan yang
sangat mendesak. Sehingga KSAU pada waktu itu mengajukan perubahan spesifikasi,
dari VVIP menjadi heli angkut berat. Di situlah saya membentuk tim investigasi
untuk melihat alirannya.
- Sejauh ini,
seperti apa alur perubahannya?
KSAU
mengirim surat kepada Menteri Pertahanan untuk ijin mengganti spesifikasi.
Kemudian, KSAU juga bersurat kepada Dirjen anggaran untuk mengganti spesifikasi
dari VVIP menjadi angkut. Kemudian ditindaklanjuti surat itu oleh kementerian
pertahanan kepada dirjen anggaran untuk rapat mengubah spek. Waktu itu ada
perwakilan dari beberapa instansi terkait untuk melepas tanda bintang. Setelah
lepas, proses dimulai lagi dari UP.
- Artinya,
proses penganggaran ini sebetulnya semua tahu dan terlibat di sesi terakhir?
Tahu, tahu.
- Apakah
mungkin ada salah satu yang luput? Mabes TNI misalnya?
Enggak (ada). Karena dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) ada lampiran yang
tentu semuanya tahu. Yang jelas, yang tahu banget pengadaan ini adalah
Kementerian Pertahanan sebagai pembina kekuatan dan pemberi kebijakan.
- Tim investigasi
ini sekarang akan fokus ke tahapan apa saja?
Saya akan
menginvestigasi proses perencanaan sampai proses pengadaan. Proses perencanaan
itu sudah mulai dari dokumen perubahan dari VVIP menjadi angkut, sampai pada
kontrak. Dan sejauh ini, itu sudah memenuhi (SOP) karena tidak sepihak.
Melibatkan banyak pihak. Apalagi untuk menghilangkan tanda bintang.
- Jadi sampai
saat ini tidak ada temuan istimewa?
Sampai saat
ini tidak ada temuan istimewa. Saya hanya melihat dari dokumennya saja
- Status heli
ini sendiri sudah terbayar atau belum?
Kalau
melihat dari yang saya sampaikan tadi, kontrak sampai datang tanggal 27 Januari
2016 itu artinya itu pesawat sudah dibayar penuh.
- Apakah US$
55 juta tidak kemahalan?
Dari segi
harga, saya kira itu udah bagus. Karena ada paket pelatihan, pemeliharaan
sekian tahun, kemudian ada paket tools kit, dan lainnya.
- Walaupun
sudah dibayar, apakah bisa dibatalkan juga seperti di India? Atau mungkin
helinya dikembalikan?
Kita kalau
lihat India, India pembeliannya adalah G to G. Kalau kita G to B, pemerintah
langsung pada Leonardo (induk perusahaan AgustaWestland). Kita langsung kepada
prinsipal. Itu yang agak sulit. Jadi saya mengamankan aset negara yang sudah
dikeluarkan. Itu Rp 740 milyar sekian uang rakyat.
- Dengan
adanya garis polisi ini, apakah garansinya bisa tidak berlaku?
Nah itu.
Warranty itu ada jatuh temponya. Jangan sampai jatuh tempo.
- Kapan jatuh
temponya?
Tanggal 20
Februari.
- Lalu
bagaimana kalau ternyata terlewat?
Garansi
mesin dan spare partnya hangus. Makanya saya katakan, helikopter itu harus
tetap kita gunakan. Tapi juga tidak mengabaikan bila proses perencanaan itu ada
kekeliruan. Kita jalan seiring.
- Rugi bandar
dong?
Kita kan
tidak ingin rugi bandar. Saya juga berpikir untuk menyelamatkan uang negara.
- Bila yang
satu ini saja bermasalah, bagaimana rencana kelanjutan pengadaan heli angkut
berat sisanya?
Yang enam
alat angkut sisanya itu tetap diproses. Statement saya adalah selalu mendukung
pemerintah. Jadi sisanya itu kita tawarkan kepada industri pertahanan dalam
negeri.
- Maksudnya?
Kan kita
punya PTDI. Melalui KKIP kemudian PTDI, bisa untuk mengadakan pesawat angkut
itu. Atau joint production dengan negara lain. Kita bisa minta PTDI. Tapi kita
menyampaikan bahwa spesifikasi saya adalah angkut berat. Saya cuma bisa
menyampaikan usulan pengadaan dan operational requirement kepada Kemhan. Nanti
mereka lah yang akan menentukan. Entah nanti jatuhnya Agusta atau apa, yang
penting spesifikasinya sesuai. Hal itu akan saya sampaikan dalam Tim Evaluasi
Pengadaan (TEP) di Kemhan. Kalau tidak sesuai, ya saya tolak.
Apabila
produksi dalam negeri tidak bisa, ya KKIP akan menghitung beli dari luar
negeri. Kami libatkan semuanya. Yang penting, saya perlu helikopter. Karena
skadron saya butuh helikopter. Waktu pengirimannya pun harus tepat. Karena saya
tidak bisa operasi tanpa heli, jumlahnya pun harus sesuai.
- Jadi pada
akhirnya nanti kita akan punya tujuh heli angkut berat?
Iya, VVIP
belum kita pikirkan lagi.
- Bagaimana
ceritanya sehingga Panglima dan Menhan sempat saling mengaku tidak tahu tentang
pengadaan heli ini?
Ya
sebenarnya yang disampaikan Menhan atau Panglima itu bukan di rapat dengan DPR,
tapi di luar ruangan. Lagipula kemarin itu bukam membahas heli. Melainkan
program kerja.
- Bahwa memang
kebutuhan heli itu ada ya?
Sangat
- Mengapa
tidak pesan yang bisa dibikin oleh PTDI?
EC725 Super
Puma ini kita setting untuk heli tempur SAR. Ini pesan 6 unit dari 2012. Baru
datang dua unit di 2016. itupun masih dalam kondisi belum bisa operasional.
Padahal kita keperluannya kan segera. Makanya saya akan buka komunikasi dengan
PTDI. Supaya kita bisa carikan solusi.
- Bukankah
makin banyak varian, malah makin repot dan mahal perawatannya?
Berdasarkan
pengalaman personil, mereka memang sudah terbiasa memelihara varian super puma.
Pilot juga demikian. Tapi tentu ada alasan untuk bisa menggunakan Agusta.
Karena memang dari spesifikasi itu sudah beda. Dari segi mesin, dia punya 3 engine.
Puma 2 engine. Lalu Agusta lebih stabil karena ada wingtip di rotornya.
Penumpangnya pun bisa lebih banyak. Sampai 50 orang. Dan punya ramp door. Meski
pintu itu lebih mahal, tapi lebih mudah dan cocok jadi pesawat angkut.
- Lalu
bagaimana dengan transfer teknologinya?
Itu saya
serahkan kepada KKIP, biar mereka kalkulasi sendiri.
- Jadi nanti
siapa yang putuskan apa yang dibeli?
Panglima TNI
secara organisasi. Tapi secara anggaran di Kemhan.
- Mengapa
Basarnas bisa beli Agusta tanpa kerepotan ini?
Mereka kan
kebutuhan sipil, tidak melalui KKIP. Mereka juga tidak dibatasi aturan terkait
industri pertahanan.
- Mengapa TNI
AU atau bahkan Presiden masih mau mengoperasikan Super Puma, padahal
di grounded dimana-mana?
Sewaktu saya
di Sekretaris Militer Presiden, saya sendiri yang mengoperasikan pesawatnya.
Saya minta service buletin, rutin, dan saya punya hotline langsung ke
Eurocopter.
- Mengapa
harus beli empat heli VVIP?
Setiap
penerbangan itu standarnya tiga heli. Pertama untuk presiden, ke dua untuk cadangan,
ke tiga untuk perangkat seperti paspampres. Yang ke empat itu untuk sirkulasi,
pengganti sewaktu-waktu dari yang tiga tadi. Tapi sekarang, presiden sering
terbang pakai pesawat yang bukan VVIP.
Kadang pakai Bell 412 punya angkatan darat atau angkatan laut. Kita negara besar. Menurut saya, Presiden harus menggunakan pesawat yang lebih aman. Bukan sekadar kebutuhan, tapi keharusan. Kalau bisa pengadaan heli ini jangan diundur lagi. Saya dalam kondisi bahaya untuk menjaga pesawat-pesawat tempur saya. Karena setiap mereka terbang, harus ada helikopter yang standby di situ.
Kadang pakai Bell 412 punya angkatan darat atau angkatan laut. Kita negara besar. Menurut saya, Presiden harus menggunakan pesawat yang lebih aman. Bukan sekadar kebutuhan, tapi keharusan. Kalau bisa pengadaan heli ini jangan diundur lagi. Saya dalam kondisi bahaya untuk menjaga pesawat-pesawat tempur saya. Karena setiap mereka terbang, harus ada helikopter yang standby di situ.
0 comments:
Post a Comment