Tuesday 14 February 2017

Refleksi 72 Tahun Perlawanan Para Pejuang PETA di Blitar


Ada kisah sejarah amat penting yang terukir pada hari selasa 14 Februari. Tepat 72 tahun lalu, yakni pada 14 Februari 1945, pejuang PETA (Pembela Tanah Air) melakukan perlawanan terhadap militer Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Perlawanan yang dilakukan para pemuda bangsa ini untuk membebaskan rakyat yang tertindas perilaku keji tentara Jepang.

Perlawanan tersebut dipimpin oleh Shodancho Supriyadi, yang hingga kini tak ditemukan jasadnya pasca perlawanan itu. Namun begitu namanya abadi sebagai salah seorang pahlawan nasional dan jasanya tak terlupakan sebagai tonggak semangat pemuda Indonesia memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

PETA yang dalam bahasa Jepang bernama 郷土防衛義勇軍 (kyōdo bōei giyūgun) merupakan sebuah organisasi kesatuan semi militer yang dibentuk Jepang di Indonesia pada saat masa pendudukannya di tanah bangsa ini.

Pembentukan PETA ini diprakarsai oleh Raden Gatot Mangkupraja bersama sepuluh ulama, yakni K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri. Oleh karena itu diusulkanlah ide pembentukan PETA ini kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943.

Mereka berharap agar Bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Dalam pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo atau Barisan Pemuda yang kemudian menjadi kader senior dalam barisan PETA. Rekrutasinya pun berisikan para pemuda Bangsa Indonesia yang digembleng sebagai prajurit yang memiliki wawasan yang dan pemahaman kebangsaan yang baik.

Faktor fundamental kesebelas tokoh ini ingin membentuk PETA adalah karena mereka menuntut agar segera dibentuk organisasi tentara sukarela (bukan wajib militer) mempertahankan stabilitas keamanan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera dari pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda).

Tujuan pengusulan pembentukan PETA ini oleh golongan agama dan Gatot Mangkupraja. Ini sejatinya merupakan langkah brilian mereka untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal tersebut juga menggambarkan secara jelas bahwa golongan agama memiliki peran strategis dan krusial dalam rangka membentuk kekuatan milisi lokal yang kemudian menjadi embrio Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Hal itu pun kemudian tertuang pada desain panji atau bendera tentara PETA yang berupa simbol matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) namun berlatar hijau serta lambang bulan sabit dan bintang yang berwarna putih sebagai simbol keagamaan.

Dengan datangnya Maklumat Osamu Seirei No.44 pada 3 Oktober 1943 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada, maka organisasi tentara sukarela ini pun sah melakukan aktifitasnya. Sementara untuk pelatihan pasukan, Jepang memberikan fasilitas yang dipusatkan di kompleks militer Bogor yang dikenal dengan nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.

Selain PETA, Jepang juga membentuk organisasi semi militer lainnya, yakni Seinendan yang merupakan organisasi pemuda dengan usia antara 15-25 tahun, namun kemudian diubah menjadi 14-22 tahun; Keibodan atau barisan pembantu polisi Jepang yang anggotanya berisikan pemuda yang berusia 20-35 tahun dan kemudian berubah menjadi 26-35 tahun; Heiho yang merupakan pembantu prajurit Jepang yang anggotanya berumur antara 18-25 tahun dan paling tidak telah lulus Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar); serta Fujinkai atau Organisasi wanita yang anggotanya berusia minimal 15 tahun.

Gejolak Perlawanan Batalyon PETA di Blitar

Tak sedikit kader PETA yang kecewa terhadap pemerintah pendudukan kekaisaran Jepang di Indonesia. Ekspektasi positif terhadap semboyan ‘3A’ (Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia ) yang dikoar-koarkan Jepang sirna karena slogan tersebut tak berjalan dengan linier dengan bunyinya yang syahdu. Keberadaaan pemerintahan Kekaisaran Jepang di Indonesia justru amat merugikan Bangsa ini, karena lebih kejam ketimbang era kepandudukan Belanda di tanah Bangsa ini.

Ambisi Jepang untuk menunjukan identitas mereka sebagai sebuah entitas negara yang fasis terhadap pergaulan internasional memicu respon keras negara-negara barat untuk memeranginya. Situasi keamanan global yang saat itu berubah menjadi panas karena Jepang telah bermain api dengan pimpinan kekuatan blok barat, Amerika Serikat.

Sebagai langkah strategisnya, Jepang pun memanfaatkan negara-negara yang masih lemah di Asia termasuk Indonesia sebagai basis komponen kekuatan tambahannya untuk memperkaya logistik dan sumber daya manusia untuk dimiliki secara cuma-cuma.

Mengingat situasi mereka yang sedang dalam masa perang, Jepang mulai berpikir untuk membangun sarana dan prasarana seperti kubu pertahanan, jalan, lapangan udara, hingga benteng pertahanan di Indonesia. Namun, mereka pun tidak mungkin untuk memerintahkan tentara mereka untuk melakukan hal tersebut karena akan lebih tepat jika pekerjaan semacam itu dikerjakan oleh rakyat yang mereka kuasai wilayahnya.

Puluhan ribu warga Jawa dikirim ke Sumatera untuk membongkar hutan demi membangun jalur kereta api di sana, yang melintang dari Muaro Sijunjung hingga Pekanbaru.

Rakyat dikirim ke kamp-kamp untuk diterapkan sistem kerja paksa (romusha), tanpa memperlakukan mereka selayaknya manusia. Pekerjaan berat dan kasar yang menguras fisik harus dilakukan para romusha dengan waktu kerja yang amat panjang. Dari pagi buta hingga senja, mereka harus melakukan pekerjaan itu tanpa makan maupun perawatan yang menyebabkan kondisi fisik mereka semakin sangat lemah.

Kondisi fisik yang lemah tersebut membuat para romusha menjadi semakin rentan terhadap berbagai jenis penyakit, bahkan hingga meninggal dunia di tempat. Tak peduli mereka tua, muda, anak-anak ataupun perempuan, bahkan yang sakitpun harus tetap bekerja dan tanpa memperhatikan mereka sakit atau kelaparan.

Seakan belum cukup, pasukan Jepang juga memberi siksaan seperti cambukan, pukulan, dan menembak para romusha yang berani melawan perintah mereka. Siksaan terhadap rakyat yang tak mampu lagi memacu energinya untuk bekerja kerap dilakukan dengan amat kejam dan tak peduli dengan kondisi fisik mereka. Tak sedikit dari mereka yang gugur dalam kerja paksa itu, bahkan jenazah mereka pun dibiarkan tergeletak begitu saja bak bangkai binatang yang mati di tengah jalan.

Kondisi itulah yang mendorong niat para pejuang PETA tergerak untuk melakukan pemberontakan terhadap para pasukan Kekaisaran Jepang. Para pejuang PETA tak tega melihat saudara sebangsa dan setanahairnya gugur dengan tidak manusiawi di tangan pasukan Jepang. Tak sedikit juga dari perempuan-perempuan anak bangsa ini yang dijadikan budak seks oleh para tentara Jepang yang keji.

Faktor determinan lain yang mendorong para pejuang PETA untuk melakukan perlawanan itu adalah ketika para perwira PETA ini tak memiliki pangkat yang lebih tinggi dari prajurit kelas teri Jepang. Kerap kali Perwira PETA merasa dilecehkan kehormatannya ketika harus menghormat terhadap prajurit kelas teri Jepang ketika berhadapan.

Enam bulan sebelum teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, terjadilah sebuah peristiwa bersejarah. PETA melakukan pemberontakan di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 terhadap pasukan Jepang yang melakukan pertemuan di sebuah lokasi di sana.

Hari tersebut dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan perlawanan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota serta komandan PETA di Blitar. Sehingga diharapkan kader-kader pejuang PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Dengan begitu kota Blitar dapat mereka kuasai sekaligus menularkan semangat perlawanan terhadap Jepang di daerah-daerah lain.

Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, pasukan PETA di bawah komando Shodancho Supriyadi menyerang Hotel Sakura, tempat kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang, markas Kempetai (Polisi Militer) serta tempat tempat lainnya yang menjadi kediaman tentara Jepang.

Para pejuang PETA melancarkan serangan ke target-target yang dituju dengan mortir dan senapan mesin dari asrama PETA di Blitar. Pengibaran bendera Merah putih pun dilakukan tepat diseberang asrama PETA. Namun sayang, diluar dugaan mereka, ternyata spot-spot yang menjadi target serangan para pejuang PETA itu telah dikosongkan. Diduga rencana pemberontakan PETA itu telah bocor dan diketahui oleh tentara Jepang.

Tentara Kekaisaran Jepang akhirnya berhasil mengatasi perlawanan itu. Tentara Jepang segera menarik seluruh senjata yang dipegang pejuang PETA. Pasca kejadian itu, komandan mereka, Shodancho Supriyadi dinyatakan hilang dan tidak pernah diketahui jejaknya hingga kini. Sedangkan komandan lainnya dijatuhi hukuman mati dengan memenggal kepala mereka di daerah Ancol dan ada pula yang mendapat hukuman penjara.

Ingat dan Sadarlah

Dari kisah tersebut, dapat diambil sebuah makna penting yang juga relevan dengan kondisi bangsa yang saat ini sedang mengalami degradasi persatuan. Agama pada saat itu menjadi dasar para pejuang PETA untuk bersatu, merapatkan kaki dan barisan untuk melawan penindasan yang dilakukan tentara Jepang yang tidak berprikemanusiaan dan prikeadilan terhadap rakyat bangsa ini.

Perlawanan yang mereka lakukan memotivasi para pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara ini. Begitu banyak darah para pejuang yang tumpah untuk mencapai cita-cita bersama, melihat bangsa ini merdeka. Berkat perjuangan mereka, kita pun tidak lagi merasakan derita karena tindak kekejian bangsa asing yang menjajah tanah ini.

Setidaknya dengan mengingat kisah perjuangan perlawanan para pejuang PETA tersebut, sebagai generasi penerus harus pula kita teruskan semangat persatuan untuk melawan indoktrinisasi secara lunak yang bersifat memecah persatuan bangsa. Jangan karena kompetisi perpolitikan untuk menduduki jabatan yang dilakukan oleh elit politik, sehingga rakyat pun harus terpecah persatuan dan kesatuannya.

Sebagai anak bangsa ini, putera dan puteri bangsa Indonesia, dapatlah sekiranya untuk mengambil sikap mewarisi semangat nasionalisme dan patriotisme, untuk membebaskan bangsanya, tanah airnya dari cengkeraman penjajahan negara asing, baik dari sisi soft power maupun hard power. Junjung tinggi dan jalankan sepenuhnya Pancasila yang menjadi falsafah bangsa ini untuk meraih kesentosaan hidup berbangsa dan bernegara.

Hal lain yang perlu disadari adalah, begitu banyak momen-momen peristiwa bersejarah yang fundamental, yang tergantikan dengan momen-momen milenial. Seperti contoh yang terjadi pada tanggal 14 Februari, selayaknya kita sebagai anak bangsa, penerus bangsa, lebih membanggakan kisah sejarah bangsa ini. Contoh lain adalah momen dimana terintegrasinya Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi 1 Mei 1963 yang tergeser oleh peringatan hari buruh.


Momen milenial menjadi amat diminati oleh generasi muda bangsa ini, sehingga peristiwa sejarah yang memiliki esensi yang fundamental terus tergerus dan kurang difahami lagi bahkan mungkin tak lagi diketahui oleh generasi-generasi ke depan. Dengan mengetahui sejarah perjuangan nasional dan menguatkan nasionalisme serta patriotisme, bukan tidak mungin Bangsa ini bisa tumbuh kembali menjadi bangsa yang disegani oleh lingkungan global.

0 comments:

Post a Comment