Ada kisah
sejarah amat penting yang terukir pada hari selasa 14 Februari. Tepat 72 tahun lalu, yakni
pada 14 Februari 1945, pejuang PETA (Pembela Tanah Air) melakukan perlawanan
terhadap militer Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Perlawanan yang
dilakukan para pemuda bangsa ini untuk membebaskan rakyat yang tertindas
perilaku keji tentara Jepang.
Perlawanan
tersebut dipimpin oleh Shodancho Supriyadi, yang hingga kini tak ditemukan
jasadnya pasca perlawanan itu. Namun begitu namanya abadi sebagai salah seorang
pahlawan nasional dan jasanya tak terlupakan sebagai tonggak semangat pemuda
Indonesia memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
PETA yang
dalam bahasa Jepang bernama 郷土防衛義勇軍 (kyōdo bōei giyūgun) merupakan
sebuah organisasi kesatuan semi militer yang dibentuk Jepang di Indonesia pada
saat masa pendudukannya di tanah bangsa ini.
Pembentukan
PETA ini diprakarsai oleh Raden Gatot Mangkupraja bersama sepuluh ulama, yakni
K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur,
Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan
H. Mohammad Sadri. Oleh karena itu diusulkanlah ide pembentukan PETA ini kepada
Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943.
Mereka
berharap agar Bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di
medan perang. Dalam pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo atau Barisan
Pemuda yang kemudian menjadi kader senior dalam barisan PETA. Rekrutasinya pun
berisikan para pemuda Bangsa Indonesia yang digembleng sebagai prajurit yang
memiliki wawasan yang dan pemahaman kebangsaan yang baik.
Faktor
fundamental kesebelas tokoh ini ingin membentuk PETA adalah karena mereka
menuntut agar segera dibentuk organisasi tentara sukarela (bukan wajib militer)
mempertahankan stabilitas keamanan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera dari pasukan
Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda).
Tujuan
pengusulan pembentukan PETA ini oleh golongan agama dan Gatot Mangkupraja. Ini sejatinya merupakan langkah brilian mereka untuk menanamkan paham kebangsaan
dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal tersebut juga
menggambarkan secara jelas bahwa golongan agama memiliki peran strategis dan
krusial dalam rangka membentuk kekuatan milisi lokal yang kemudian menjadi
embrio Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Hal itu pun
kemudian tertuang pada desain panji atau bendera tentara PETA yang berupa
simbol matahari terbit (lambang kekaisaran Jepang) namun berlatar hijau serta
lambang bulan sabit dan bintang yang berwarna putih sebagai simbol keagamaan.
Dengan
datangnya Maklumat Osamu Seirei No.44 pada 3 Oktober 1943 yang diumumkan oleh
Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada, maka organisasi
tentara sukarela ini pun sah melakukan aktifitasnya. Sementara untuk pelatihan
pasukan, Jepang memberikan fasilitas yang dipusatkan di kompleks militer Bogor
yang dikenal dengan nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Selain PETA,
Jepang juga membentuk organisasi semi militer lainnya, yakni Seinendan yang
merupakan organisasi pemuda dengan usia antara 15-25 tahun, namun kemudian
diubah menjadi 14-22 tahun; Keibodan atau barisan pembantu polisi Jepang yang
anggotanya berisikan pemuda yang berusia 20-35 tahun dan kemudian berubah
menjadi 26-35 tahun; Heiho yang merupakan pembantu prajurit Jepang yang
anggotanya berumur antara 18-25 tahun dan paling tidak telah lulus Sekolah
Rakyat (Sekolah Dasar); serta Fujinkai atau Organisasi wanita yang anggotanya
berusia minimal 15 tahun.
Gejolak
Perlawanan Batalyon PETA di Blitar
Tak sedikit
kader PETA yang kecewa terhadap pemerintah pendudukan kekaisaran Jepang di
Indonesia. Ekspektasi positif terhadap semboyan ‘3A’ (Jepang pemimpin Asia,
Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia ) yang dikoar-koarkan Jepang sirna
karena slogan tersebut tak berjalan dengan linier dengan bunyinya yang syahdu.
Keberadaaan pemerintahan Kekaisaran Jepang di Indonesia justru amat merugikan
Bangsa ini, karena lebih kejam ketimbang era kepandudukan Belanda di tanah
Bangsa ini.
Ambisi
Jepang untuk menunjukan identitas mereka sebagai sebuah entitas negara yang
fasis terhadap pergaulan internasional memicu respon keras negara-negara barat
untuk memeranginya. Situasi keamanan global yang saat itu berubah menjadi panas
karena Jepang telah bermain api dengan pimpinan kekuatan blok barat, Amerika
Serikat.
Sebagai
langkah strategisnya, Jepang pun memanfaatkan negara-negara yang masih lemah di
Asia termasuk Indonesia sebagai basis komponen kekuatan tambahannya untuk
memperkaya logistik dan sumber daya manusia untuk dimiliki secara cuma-cuma.
Mengingat
situasi mereka yang sedang dalam masa perang, Jepang mulai berpikir untuk
membangun sarana dan prasarana seperti kubu pertahanan, jalan, lapangan udara,
hingga benteng pertahanan di Indonesia. Namun, mereka pun tidak mungkin untuk
memerintahkan tentara mereka untuk melakukan hal tersebut karena akan lebih
tepat jika pekerjaan semacam itu dikerjakan oleh rakyat yang mereka kuasai
wilayahnya.
Puluhan ribu
warga Jawa dikirim ke Sumatera untuk membongkar hutan demi membangun jalur
kereta api di sana, yang melintang dari Muaro Sijunjung hingga Pekanbaru.
Rakyat
dikirim ke kamp-kamp untuk diterapkan sistem kerja paksa (romusha), tanpa
memperlakukan mereka selayaknya manusia. Pekerjaan berat dan kasar yang
menguras fisik harus dilakukan para romusha dengan waktu kerja yang amat
panjang. Dari pagi buta hingga senja, mereka harus melakukan pekerjaan itu
tanpa makan maupun perawatan yang menyebabkan kondisi fisik mereka semakin
sangat lemah.
Kondisi
fisik yang lemah tersebut membuat para romusha menjadi semakin rentan terhadap
berbagai jenis penyakit, bahkan hingga meninggal dunia di tempat. Tak peduli
mereka tua, muda, anak-anak ataupun perempuan, bahkan yang sakitpun harus tetap
bekerja dan tanpa memperhatikan mereka sakit atau kelaparan.
Seakan belum
cukup, pasukan Jepang juga memberi siksaan seperti cambukan, pukulan, dan
menembak para romusha yang berani melawan perintah mereka. Siksaan terhadap
rakyat yang tak mampu lagi memacu energinya untuk bekerja kerap dilakukan
dengan amat kejam dan tak peduli dengan kondisi fisik mereka. Tak sedikit dari
mereka yang gugur dalam kerja paksa itu, bahkan jenazah mereka pun dibiarkan
tergeletak begitu saja bak bangkai binatang yang mati di tengah jalan.
Kondisi
itulah yang mendorong niat para pejuang PETA tergerak untuk melakukan pemberontakan
terhadap para pasukan Kekaisaran Jepang. Para pejuang PETA tak tega melihat
saudara sebangsa dan setanahairnya gugur dengan tidak manusiawi di tangan
pasukan Jepang. Tak sedikit juga dari perempuan-perempuan anak bangsa ini yang
dijadikan budak seks oleh para tentara Jepang yang keji.
Faktor
determinan lain yang mendorong para pejuang PETA untuk melakukan perlawanan itu
adalah ketika para perwira PETA ini tak memiliki pangkat yang lebih tinggi dari
prajurit kelas teri Jepang. Kerap kali Perwira PETA merasa dilecehkan
kehormatannya ketika harus menghormat terhadap prajurit kelas teri Jepang
ketika berhadapan.
Enam bulan
sebelum teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dibacakan oleh Bung Karno
dan Bung Hatta, terjadilah sebuah peristiwa bersejarah. PETA melakukan
pemberontakan di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945 terhadap pasukan Jepang
yang melakukan pertemuan di sebuah lokasi di sana.
Hari
tersebut dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan perlawanan, karena
saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota serta komandan PETA di
Blitar. Sehingga diharapkan kader-kader pejuang PETA yang lain akan ikut
bergabung dalam aksi perlawanan. Dengan begitu kota Blitar dapat mereka kuasai
sekaligus menularkan semangat perlawanan terhadap Jepang di daerah-daerah lain.
Dini hari
sekitar pukul 03.00 WIB, pasukan PETA di bawah komando Shodancho Supriyadi menyerang
Hotel Sakura, tempat kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang, markas
Kempetai (Polisi Militer) serta tempat tempat lainnya yang menjadi kediaman
tentara Jepang.
Para pejuang
PETA melancarkan serangan ke target-target yang dituju dengan mortir dan
senapan mesin dari asrama PETA di Blitar. Pengibaran bendera Merah putih pun
dilakukan tepat diseberang asrama PETA. Namun sayang, diluar dugaan mereka,
ternyata spot-spot yang menjadi target serangan para pejuang PETA itu telah
dikosongkan. Diduga rencana pemberontakan PETA itu telah bocor dan diketahui
oleh tentara Jepang.
Tentara
Kekaisaran Jepang akhirnya berhasil mengatasi perlawanan itu. Tentara Jepang
segera menarik seluruh senjata yang dipegang pejuang PETA. Pasca kejadian itu,
komandan mereka, Shodancho Supriyadi dinyatakan hilang dan tidak pernah
diketahui jejaknya hingga kini. Sedangkan komandan lainnya dijatuhi hukuman
mati dengan memenggal kepala mereka di daerah Ancol dan ada pula yang mendapat
hukuman penjara.
Ingat dan
Sadarlah
Dari kisah
tersebut, dapat diambil sebuah makna penting yang juga relevan dengan kondisi
bangsa yang saat ini sedang mengalami degradasi persatuan. Agama pada saat itu
menjadi dasar para pejuang PETA untuk bersatu, merapatkan kaki dan barisan
untuk melawan penindasan yang dilakukan tentara Jepang yang tidak
berprikemanusiaan dan prikeadilan terhadap rakyat bangsa ini.
Perlawanan
yang mereka lakukan memotivasi para pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus
memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara ini. Begitu banyak darah para
pejuang yang tumpah untuk mencapai cita-cita bersama, melihat bangsa ini
merdeka. Berkat perjuangan mereka, kita pun tidak lagi merasakan derita karena
tindak kekejian bangsa asing yang menjajah tanah ini.
Setidaknya
dengan mengingat kisah perjuangan perlawanan para pejuang PETA tersebut,
sebagai generasi penerus harus pula kita teruskan semangat persatuan untuk
melawan indoktrinisasi secara lunak yang bersifat memecah persatuan bangsa.
Jangan karena kompetisi perpolitikan untuk menduduki jabatan yang dilakukan
oleh elit politik, sehingga rakyat pun harus terpecah persatuan dan
kesatuannya.
Sebagai anak
bangsa ini, putera dan puteri bangsa Indonesia, dapatlah sekiranya untuk
mengambil sikap mewarisi semangat nasionalisme dan patriotisme, untuk
membebaskan bangsanya, tanah airnya dari cengkeraman penjajahan negara asing,
baik dari sisi soft power maupun hard power. Junjung tinggi dan jalankan
sepenuhnya Pancasila yang menjadi falsafah bangsa ini untuk meraih kesentosaan
hidup berbangsa dan bernegara.
Hal lain
yang perlu disadari adalah, begitu banyak momen-momen peristiwa bersejarah yang
fundamental, yang tergantikan dengan momen-momen milenial. Seperti contoh yang
terjadi pada tanggal 14 Februari, selayaknya kita sebagai anak bangsa, penerus bangsa,
lebih membanggakan kisah sejarah bangsa ini. Contoh lain adalah momen dimana
terintegrasinya Papua Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi 1 Mei 1963 yang tergeser
oleh peringatan hari buruh.
Momen
milenial menjadi amat diminati oleh generasi muda bangsa ini, sehingga
peristiwa sejarah yang memiliki esensi yang fundamental terus tergerus dan
kurang difahami lagi bahkan mungkin tak lagi diketahui oleh generasi-generasi
ke depan. Dengan mengetahui sejarah perjuangan nasional dan menguatkan
nasionalisme serta patriotisme, bukan tidak mungin Bangsa ini bisa tumbuh
kembali menjadi bangsa yang disegani oleh lingkungan global.
0 comments:
Post a Comment