Monday 13 February 2017

Gannet, Cikal Bakal Sayap Udara Angkatan Laut Indonesia


Cikal bakal sayap udara Angkatan Laut Indonesia (TNI AL) lahir ketika dibentuk Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950. Lembaga ini kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI (Penerbal) pada 17 Juni 1956.

Dengan wilayah laut yang sangat luas, Penerbal segera memikirkan memiliki kekuatan udara yang dapat mengawasi dan menjaga wilayah laut dari kapal selam asing.

Pertengahan tahun 1950-an Indonesia sebenarnya juga sudah melakukan negosiasi dengan AS untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun keinginan tersebut ditolak karena  masalah politik internal di dalam negeri Amerika Serikat.

Gagal mendapatkan Tracker, Penerbal tidak putus asa dan mengincar pesawat Gannet buatan Fairey, Inggris.  Pemerintah Inggris memberikan lampu hijau sehingga pada 1957 kontrak pembelian Gannet ditandatangani.

Tahun 1959 TNI AL segera mengirim pilotnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabrik Fairey di White Waltham. Mereka yang dikirim di antaranya Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto.

Kadet TNI AL lainnya belajar menerbangkan jet latih Vampire milik RAF di Oakington, di antaranya Lmd Cokrodirejo dan Hamami.

Kelak mereka diperbantukan kepada AURI untuk menerbangkan pesawat Vampire, melatih pilot baru, dan memelihara kemampuan terbang mereka.

Sejatinya Gannet adalah pesawat yang dioperasikan dari kapal induk. Namun Indonesia membeli varian lain yakni  versi AS.1 & T.2 bekas sayap udara Royal Navy.

Varian ini telah dimodifikasi dan di-upgrade menjadi varian setara tipe AS.4 & T.5 menggunakan mesin lebih powerfull namun sayap utama telah diubah menjadi model tetap alias tidak bisa dilipat.

Dari ke-18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T.5 dan sisanya versi ASW. Tipe AS.4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam dilengkapi dengan torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang gendut.

Pesawat ini juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta rumah radar pencari yang bisa ditarik ke dalam perut pada bagian bawah belakang pesawat.

AS.4 diawaki tiga orang, yakni pilot dan navigator merangkap observer yang berada dalam satu ruang, serta operator radio-radar di kokpit dengan posisi duduk terpisah menghadap ke belakang ekor pesawat.

Gannet didukung oleh mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac) buatan Armstrong-Siddeley.

Mesin ini menggerakkan bilah baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah (contra rotating). Kelebihan mesin ini adalah salah satu mesin dapat dimatikan untuk penerbangan jelajah ekonomis.

Jika salah satu mesin gagal bekerja, maka pesawat juga tidak akan mengalami masalah dalam penanganan terbang terkait dengan penggunaan mesin contra rotary tersebut.

Gannet milik TNI AL telah mengadopsi mesin tipe baru Double Mamba Mark 101 berdaya 3.035 SHP lebih besar dibanding Double Mamba Mark 100 yang dipakai pada versi AS.1 berdaya 2.950 SHP.

Dua pesawat dari pengiriman pertama tiba di Surabaya tahun 1960. Berangsur-angsur disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit masuk Skadron Udara 100 antikapal selam bermarkas di Morokrembangan, Surabaya.


Belum genap dua tahun berdinas AS.4 Gannet dilibatkan dalam Operasi Trikora, dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan meng-cover laut sekitar Sulawesi hingga laut Banda yang berpangkalan di Liang, Ambon.

Selepas Trikora, Gannet ditarik ke basisnya namun sebuah Gannet mengalami jatuh di sekitar Ambon waktu menjalani penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.

Tak sempat beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi masuk operasi tempur bergabung dalam Operasi Dwikora dari 1964-1966 untuk mengawasi perairan di sepanjang perbatasan Singapura hingga selat Karimata dan berbasis di Tanjung Pinang, Riau.

Gannet juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia. Bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi senjata buatannya sendiri.

Dengan digunakananya Gannet oleh TNI AL makin membuat Inggris berang, hingga memutuskan pasokan suku cadangnya.

Dalam konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW.3 yakni versi Airborne Early Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm No.849 Squadron.

Lambat laun kinerja Gannet mulai menurun. Dengan terpaksa Penerbal pun akhirnya melakukan kanibalisasi agar pesawat tetap bisa operasional. Awal tahun 1970-an diputuskan seluruh Gannet tersisa harus beristirahat selamanya.


Walau dalam dua operasi militer yang dijalani Gannet tak pernah melepaskan senjatanya, namun pesawat gendut ini memasuki masa purnabakti dengan terhormat sebagai veteran perang sejati.

0 comments:

Post a Comment