Cikal bakal
sayap udara Angkatan Laut Indonesia (TNI AL) lahir ketika dibentuk Staf
Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950. Lembaga ini
kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI (Penerbal) pada 17 Juni
1956.
Dengan
wilayah laut yang sangat luas, Penerbal segera memikirkan memiliki kekuatan
udara yang dapat mengawasi dan menjaga wilayah laut dari kapal selam asing.
Pertengahan
tahun 1950-an Indonesia sebenarnya juga sudah melakukan negosiasi dengan AS
untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun
keinginan tersebut ditolak karena
masalah politik internal di dalam negeri Amerika Serikat.
Gagal
mendapatkan Tracker, Penerbal tidak putus asa dan mengincar pesawat Gannet
buatan Fairey, Inggris. Pemerintah
Inggris memberikan lampu hijau sehingga pada 1957 kontrak pembelian Gannet
ditandatangani.
Tahun 1959
TNI AL segera mengirim pilotnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di
pabrik Fairey di White Waltham. Mereka yang dikirim di antaranya Eddy
Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto.
Kadet TNI AL
lainnya belajar menerbangkan jet latih Vampire milik RAF di Oakington, di
antaranya Lmd Cokrodirejo dan Hamami.
Kelak mereka
diperbantukan kepada AURI untuk menerbangkan pesawat Vampire, melatih pilot
baru, dan memelihara kemampuan terbang mereka.
Sejatinya
Gannet adalah pesawat yang dioperasikan dari kapal induk. Namun Indonesia
membeli varian lain yakni versi AS.1
& T.2 bekas sayap udara Royal Navy.
Varian ini
telah dimodifikasi dan di-upgrade menjadi varian setara tipe AS.4 & T.5
menggunakan mesin lebih powerfull namun sayap utama telah diubah menjadi model
tetap alias tidak bisa dilipat.
Dari ke-18
Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T.5 dan
sisanya versi ASW. Tipe AS.4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam
dilengkapi dengan torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang
gendut.
Pesawat ini
juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta
rumah radar pencari yang bisa ditarik ke dalam perut pada bagian bawah belakang
pesawat.
AS.4 diawaki
tiga orang, yakni pilot dan navigator merangkap observer yang berada dalam satu
ruang, serta operator radio-radar di kokpit dengan posisi duduk terpisah
menghadap ke belakang ekor pesawat.
Gannet
didukung oleh mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac)
buatan Armstrong-Siddeley.
Mesin ini
menggerakkan bilah baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah
(contra rotating). Kelebihan mesin ini adalah salah satu mesin dapat dimatikan
untuk penerbangan jelajah ekonomis.
Jika salah
satu mesin gagal bekerja, maka pesawat juga tidak akan mengalami masalah dalam
penanganan terbang terkait dengan penggunaan mesin contra rotary tersebut.
Gannet milik
TNI AL telah mengadopsi mesin tipe baru Double Mamba Mark 101 berdaya 3.035 SHP
lebih besar dibanding Double Mamba Mark 100 yang dipakai pada versi AS.1
berdaya 2.950 SHP.
Dua pesawat
dari pengiriman pertama tiba di Surabaya tahun 1960. Berangsur-angsur disusul
pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit masuk Skadron Udara 100
antikapal selam bermarkas di Morokrembangan, Surabaya.
Belum genap
dua tahun berdinas AS.4 Gannet dilibatkan dalam Operasi Trikora, dikirim ke
wilayah timur untuk mengawasi dan meng-cover laut sekitar Sulawesi hingga laut
Banda yang berpangkalan di Liang, Ambon.
Selepas
Trikora, Gannet ditarik ke basisnya namun sebuah Gannet mengalami jatuh di sekitar Ambon waktu menjalani
penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan
secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.
Tak sempat
beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi masuk operasi tempur bergabung dalam
Operasi Dwikora dari 1964-1966 untuk mengawasi perairan di sepanjang perbatasan
Singapura hingga selat Karimata dan berbasis di Tanjung Pinang, Riau.
Gannet juga
terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah
selatan Samudra Hindia. Bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi
senjata buatannya sendiri.
Dengan
digunakananya Gannet oleh TNI AL makin membuat Inggris berang, hingga
memutuskan pasokan suku cadangnya.
Dalam
konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW.3 yakni versi Airborne Early
Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm No.849 Squadron.
Lambat laun
kinerja Gannet mulai menurun. Dengan terpaksa Penerbal pun akhirnya melakukan
kanibalisasi agar pesawat tetap bisa operasional. Awal tahun 1970-an diputuskan
seluruh Gannet tersisa harus beristirahat selamanya.
Walau dalam
dua operasi militer yang dijalani Gannet tak pernah melepaskan senjatanya,
namun pesawat gendut ini memasuki masa purnabakti dengan terhormat sebagai
veteran perang sejati.
0 comments:
Post a Comment