Friday, 10 March 2017

Radikalisme Mengancam, Umur NKRI Diprediksi Tinggal 25 Tahun


Ancaman terhadap ideologi kebangsaan semakin nyata terasa belakangan ini. Ancaman tersebut seiring semakin menguatnya kelompok radikal dan garis keras. Apalagi terdapat partai politik yang merangkul dan bekerja sama dengan kelompok-kelompok tersebut.

Pengamat politik Boni Hargens menyatakan, ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan terancam jika partai politik yang berkolaborasi dengan ormas-ormas garis keras semakin mendapat dukungan masyarakat. Bahkan, Boni memprediksi jika radikalisasi di level politik ini terus dibiarkan, umur NKRI dan ideologi Pancasila hanya tinggal empat atau lima kali pemilu lagi atau 20 hingga 25 tahun dari sekarang. Selanjutnya, NKRI akan berganti menjadi negara syariah atau NKRI Syariah.

"Saya perhitungkan kalau dalam dua atau tiga pemilu ke depan, partai berjubah agama yang memperjuangkan Indonesia Syariah atau NKRI Syariah memperoleh suara yang signifikan dan pada saat yang sama ormas-ormas garis keras makin subur, maka nasib Indonesia akan terancam serius dalam empat atau lima Pemilu dari sekarang. Dengan kata lain, umur Indonesia tinggal 20 sampai 25 tahun dari sekarang kalau partai politik yang bekerja sama dengan ormas garis keras meraih dukungan besar dalam dua atau tiga pemilu mendatang," kata Boni yang juga Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dalam diskusi 'Merawat Keindonesiaan: Deradikalisasi melalui Politik Kebudayaan' di Jakarta, Jumat (10/3).

Boni memaparkan, dengan suara signifikan yang diraupnya dalam dua atau tiga pemilu mendatang, partai pengusung NKRI syariah bakal menancapkan kaki di berbagai institusi negara. Partai tersebut kemudian membangun basis yang kuat di semua titik strategis di Indonesia. Selanjutnya, setelah pemilu keempat, partai ini akan mengubah kultur politik di parlemen. "Ini sebagai prakondisi menuju amendemen konstitusi setelah pemilu kelima dari sekarang," ungkapnya.

Dikatakan, keputusan amendemen konstitusi yang dilakukan melalui mekanisme voting di DPR memberi keuntungan bagi kelompok pengusung NKRI syariah. Kelompok tersebut tidak hanya mendapat dukungan dari partai pengusung, tetapi juga dari wakil rakyat yang pragmatis. "Meskipun wakil-wakil rakyat itu berasal dari partai nasionalis," katanya.

Preseden ini sudah terjadi di tataran daerah. Dikatakan, sejak 2005 hingga saat ini, terdapat 232 Perda Syariah di seluruh Indonesia. Ratusan perda itu didukung oleh para wakil rakyat dari partai yang mengklaim diri nasionalis. "Modus yang sama akan terjadi apabila partai pengusung syariah meraih suara signifikan dalam dua atau tiga pemilu mendatang," katanya.

Untuk itu, Boni meminta masyarakat Indonesia sadar siapa pun pihak yang ingin merusak konstitusi merupakan musuh bersama. Selain itu, pada ranah politik, Boni menyatakan, pemerintah dan parlemen yang menjadi harapan utama harus memiliki komitmen dan kemauan politik yang kuat untuk tidak menyuburkan kelompok-kelompok radikal dan garis keras.

"Kemauan politik dari pemerintah dan parlemen yang merupakan harapan utama harus didukung dengan peran serta birokrasi dalam membangun kultur kerja dan pelayanan publik yang bebas dari nilai-nilai sektarian dan sikap mementingkan kelompok sendiri. Selain itu, pegawai negeri dan pejabat publik tidak boleh memperlakukan masyarakat secara diskriminatif atas dasar agama karena hal itu merupakan bentuk dukungan tidak langsung terhadap kelompok fundamental-radikal," paparnya.


Namun, Boni menambahkan, yang menjadi persoalan utama ada pada parlemen di tingkat pusat maupun daerah. Dikatakan, pembuatan UU atau perda seringkali tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi pada kepentingan pragmatis. Akibatnya, UU atau perda yang memberi ruang pada kelompok radikal biasanya lolos dan disahkan. "Transformasi pada level partai politik penting terjadi agar praktik legislasi di parlemen benar-benar memperhitungkan demokrasi Pancasila yang tengah terancam gelombang radikalisasi," tegasnya.

0 comments:

Post a Comment