Ancaman
terhadap ideologi kebangsaan semakin nyata terasa belakangan ini. Ancaman
tersebut seiring semakin menguatnya kelompok radikal dan garis keras. Apalagi
terdapat partai politik yang merangkul dan bekerja sama dengan
kelompok-kelompok tersebut.
Pengamat
politik Boni Hargens menyatakan, ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) akan terancam jika partai politik yang berkolaborasi
dengan ormas-ormas garis keras semakin mendapat dukungan masyarakat. Bahkan,
Boni memprediksi jika radikalisasi di level politik ini terus dibiarkan, umur
NKRI dan ideologi Pancasila hanya tinggal empat atau lima kali pemilu lagi atau
20 hingga 25 tahun dari sekarang. Selanjutnya, NKRI akan berganti menjadi
negara syariah atau NKRI Syariah.
"Saya
perhitungkan kalau dalam dua atau tiga pemilu ke depan, partai berjubah agama
yang memperjuangkan Indonesia Syariah atau NKRI Syariah memperoleh suara yang
signifikan dan pada saat yang sama ormas-ormas garis keras makin subur, maka
nasib Indonesia akan terancam serius dalam empat atau lima Pemilu dari
sekarang. Dengan kata lain, umur Indonesia tinggal 20 sampai 25 tahun dari
sekarang kalau partai politik yang bekerja sama dengan ormas garis keras meraih
dukungan besar dalam dua atau tiga pemilu mendatang," kata Boni yang juga
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dalam diskusi 'Merawat Keindonesiaan:
Deradikalisasi melalui Politik Kebudayaan' di Jakarta, Jumat (10/3).
Boni
memaparkan, dengan suara signifikan yang diraupnya dalam dua atau tiga pemilu mendatang,
partai pengusung NKRI syariah bakal menancapkan kaki di berbagai institusi
negara. Partai tersebut kemudian membangun basis yang kuat di semua titik
strategis di Indonesia. Selanjutnya, setelah pemilu keempat, partai ini akan
mengubah kultur politik di parlemen. "Ini sebagai prakondisi menuju
amendemen konstitusi setelah pemilu kelima dari sekarang," ungkapnya.
Dikatakan,
keputusan amendemen konstitusi yang dilakukan melalui mekanisme voting di DPR
memberi keuntungan bagi kelompok pengusung NKRI syariah. Kelompok tersebut
tidak hanya mendapat dukungan dari partai pengusung, tetapi juga dari wakil
rakyat yang pragmatis. "Meskipun wakil-wakil rakyat itu berasal dari
partai nasionalis," katanya.
Preseden ini
sudah terjadi di tataran daerah. Dikatakan, sejak 2005 hingga saat ini,
terdapat 232 Perda Syariah di seluruh Indonesia. Ratusan perda itu didukung
oleh para wakil rakyat dari partai yang mengklaim diri nasionalis. "Modus
yang sama akan terjadi apabila partai pengusung syariah meraih suara signifikan
dalam dua atau tiga pemilu mendatang," katanya.
Untuk itu,
Boni meminta masyarakat Indonesia sadar siapa pun pihak yang ingin merusak
konstitusi merupakan musuh bersama. Selain itu, pada ranah politik, Boni
menyatakan, pemerintah dan parlemen yang menjadi harapan utama harus memiliki
komitmen dan kemauan politik yang kuat untuk tidak menyuburkan
kelompok-kelompok radikal dan garis keras.
"Kemauan
politik dari pemerintah dan parlemen yang merupakan harapan utama harus
didukung dengan peran serta birokrasi dalam membangun kultur kerja dan
pelayanan publik yang bebas dari nilai-nilai sektarian dan sikap mementingkan
kelompok sendiri. Selain itu, pegawai negeri dan pejabat publik tidak boleh
memperlakukan masyarakat secara diskriminatif atas dasar agama karena hal itu
merupakan bentuk dukungan tidak langsung terhadap kelompok
fundamental-radikal," paparnya.
Namun, Boni
menambahkan, yang menjadi persoalan utama ada pada parlemen di tingkat pusat
maupun daerah. Dikatakan, pembuatan UU atau perda seringkali tidak didasarkan
pada pertimbangan ideologis, tetapi pada kepentingan pragmatis. Akibatnya, UU
atau perda yang memberi ruang pada kelompok radikal biasanya lolos dan
disahkan. "Transformasi pada level partai politik penting terjadi agar
praktik legislasi di parlemen benar-benar memperhitungkan demokrasi Pancasila
yang tengah terancam gelombang radikalisasi," tegasnya.
0 comments:
Post a Comment