Hari ini,
Rabu 15 Februari 2017, sebanyak 101 daerah melaksanakan pemilihan kepala daerah
(pilkada) secara serentak, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Tetapi tahukah Anda kapan kegiatan memilih pemimpin ini pertama kali
dilaksanakan?
Awalnya
pilkada di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial
Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda. Perjalanan pelaksanaan pilkada di
Indonesia jika dikaji secara histori dibagi menjadi tiga zaman.
Hal ini
berdasarkan zaman sebelum Indonesia merdeka sampai memperoleh kemerdekaan.
Berikut penjelasan pilkada tiga zaman ini.
Pilkada
zaman Belanda
Pada zaman
Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan menjadi
dua bagian yang salin terkait satu sama lain. Pertama daerah Jawa dan Madura.
Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan
dan sebagainya.
Pembagian
wilayah ini dimaksudkan untuk membagi sebagian kewenangan yang dimiliki pusat
kepada daerah-daerah. Misalnya di daerah Jawa dan Madura, Belanda
mengelompokkan menjadi pangreh dan pamong praja, mulai dari yang posisi
tertinggi sampai terendah, yakni gubernur hingga Kepala desa. Namun untuk di
luar Jawa dan Madura, pemerintahan daerah agak sedikit berbeda.
Pada zaman
Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan pilkada sudah dilakukan
dengan cara penunjukan secara langsung. Politik kolonial Belanda dalam menguasai
daerah jajahan menerapkan
sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan
mereka.
Untuk
tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan di atas, pilkada
dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Oleh sebab itu, baik untuk daerah Jawa dan Madura atau
daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan gubernur, residen, asisten residen
dan kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda.
Sedang untuk
jabatan-jabatan lainnya seperti camat dan kepala desa diberikan kepada pribumi
bangsa Indonesia untuk mendudukinya. Untuk pemilihannya sendiri tentu saja
dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak ada
mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintahan
daerah.
Mekanisme
pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman Belanda dilakuakn
dengan sistem penunjukan langsung oleh Belanda melalui gubernur jenderal.
Penunjukan pemimpin kepada pribumi dimaksudkan agar para masyarakat pada saat
itu memberikan upeti.
Pilkada
zaman Jepang
Setelah
zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas pemerintahan. Selaku pemegang
kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan tiga undang-undang, yakni tentang
perubahan pemerintahan, aturan pemerintahan, dan mengubah nama negeri dan nama
daerah.
Pada zaman
ini Jepang masih meneruskan beberapa aturan yang sudah dijalankan saat
pendudukan Belanda. Jepang hanya mengubah nama daerah serta pejabat yang
memerintah di suatu daerah.
Namun, yang
membedakannya, Jepang sama sekali tidak memberi kesempatan orang pribumi untuk
memimpin. Bahkan gubernur Jawa dan luar Jawa dihapus.
Sistem
rekrutmen kepala daerah saat zaman Jepang sangat mengabaikan nilai-nilai
demokrasi, transparansi, dan akutabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat
yang akan diangkat atau ditunjuk oleh penguasa Jepang. Sistem pengangkatan ini
dilakukan secara hierarkis, sama seperti pemerintahan Belanda.
Pilkada
zaman kemerdekaan
Pemilihan
kepala daerah di zaman ini dibagi menjadi tiga era, yakni era Orde Lama, era
Orde Baru, dan era Reformasi. Berikut ulasan singkatnya.
Orde Lama
Produk hukum
yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde lama ialah undang-undang.
Undang-undang pertama yang
diterbitkan pada masa kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.
Undang-Undang
ini bermaksud mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang
diketuai oleh kepala daerah. Lalu pada tahun 1948 terbit sebuah undang-undang
baru yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan,
yakni provinsi, kabupaten, dan desa.
Seteah itu
pada tahun 1957, Undang-Undang nomor 22 tahun 1948 yang mengatur pembagian
wilayah tersebut direvisi. Isinya mengenai pembagian kepala daerah seperti
gubernur memimpin daerah tingkat I, bupati/wali kota memimpin daerah tingkat
II, dan camat untuk daerah tingkat III.
Selanjutnya,
terbitlah Undang-Undang Nomor 18 taun 1965 yang mengatur tentang kependudukan
kepala daerah baik sebagai alat pemerintah pusat maupun sebagai dan alat
pemerintah daerah. Kepala daerah menjadi pemegang kebijaksanaan politik di
daerahnya dengan berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk melakukan
pengawasan jalannya pemerintahan.
Orde Baru
Perkembangan
politik yang terjadi dalam masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru telah
membawa nuansa baru dalam kepemimpinan kepala daerah. Hal ini tentu membawa
nuansa baru dalam kepemimpinan kepala
daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Sejak
berlakunya undang-undang tersebut, ketentuan pilkada tidak mengalami perubahan
berarti. Sebab DPRD masih memegang komando dalam melaksanakan pemilihan dan
pencalonan kepala daerah.
Reformasi
Pilkada pada
zaman ini merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan
daerah yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Pilkada secara
langsung muncul sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pada
pelaksanaannya, pilkada secara langsung merupakan hasil dari proses pembelajaran
demokrasi di Indonesia. Di era Reformasi sampai
saat ini telah terdapat beberapa undang-undang yang
mengatur tentang pemerintahan daerah.
Undang-undang tersebut ialah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah
beberapa kali diubah.
Terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
0 comments:
Post a Comment