Ada kisah
suatu ketika Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman jalan-jalan melihat
beberapa wilayah Jawa Timur hingga Bali dengan sebuah pesawat. Pesawat tua
dengan dipiloti (orang) Jepang dari Pangkalan Bugis (kini Lanud Abdurrahman
Saleh) Malang. Begini ceritanya...
Di suatu
hari tanggal 27 April 1946, Pangsar Jenderal Soedirman dengan ditemani beberapa
pejabat militer dan sipil di Malang dalam rangka inspeksi pemulangan serdadu
Jepang, sekaligus beliau mengunjungi Pangkalan Bugis.
Pangkalan
ini berada di bawah naungan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Udara Malang pimpinan
Lettu Imam Soepeno sebagai ketuanya dan Lettu Hanandjoeddin yang menjabat
Komandan Pertahanan Teknik Udara, sekaligus kepala Hanggar I.
Pangkalan
ini sering terdengar capaian-capaian positifnya hingga ke telinga Jenderal
Soedirman, lantaran tergolong sangat baik dalam merenovasi dan memperbaiki
sejumlah alutsista udara peninggalan Jepang.
Dengan
senyum bangga, Pak Dirman melihat-lihat hanggar yang terdapat sederetan
pesawat-pesawat Cukiu dan Pesawat Pangeran Diponegoro I dan II. Saat
melihatnya, Pak Dirman seketika berkeinginan menjajal salah satu pesawat itu.
Yang dipilih
adalah Pesawat Pangeran Diponegoro I. Pesawat yang aslinya merupakan pesawat
pembom ringan peninggalan Jepang jenis Shoki Ki-48.
Pesawat
dengan kecepatan maksimal 510 km/jam itu di masa Perang Pasifik, acap
disalahartikan sebagai Pesawat Messerschmitt Me-109 milik Jerman saking
miripnya. Ditambah lagi karena memang motor pesawatnya berlisensi Daimler
DB-601A buatan Jerman
Penamaan Pesawat
Pangeran Diponegoro I itu sendiri dicetuskan Lettu Imam Soepeno. Uji terbangnya
sendiri setelah mengalami beberapa perbaikan, dilakukan seorang pilot (orang)
Jepang yang sudah mengubah namanya jadi Atmo.
Atmo jadi
satu dari beberapa pilot Jepang yang memilih bertahan di Indonesia pasca-Perang
Dunia II. Mereka bersedia jadi pilot penguji pesawat dengan jaminan
perlindungan dengan status penerbang Indonesia dari Panglima
Divisi VII Surapati Jenderal Mayor Imam Soeja’i.
Nah kembali
ke soal Pak Dirman ingin mencoba Pesawat Pangeran Diponegoro I, sebagaimana
dikutip buku ‘Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H AS Hanandjoeddin di
Kancah Revolusi Kemerdekaan RI’ karya Haril M Andersen, sang Panglima besar bertanya,
siapa yang sudah mengujicobakan pesawat tersebut.
“Siap
Panglima Besar! Penerbang Atmo yang sudah mengujicobanya,” jawab Jenderal Mayor
Imam Soeja’i.
“Kalau
begitu, saya minta Atmo untuk menerbangkannya lagi. Saya mau coba naik pesawat
ini,” timpal Jenderal Soedirman.
Saat
dipanggil, Atmo bersama teknisi Mochammad Usar sebagai pendamping, barulah
Jenderal Soedirman tahu bahwa dia akan dipiloti eks penerbang Jepang. Kendati
begitu, tak ada niatan Pak Dirman batal terbang dan tetap menaruh percaya pada
sang pilot.
Pesawat itu
pun take off atau lepas landas dengan lancar. Dari penuturan Atmo dan Usar
selepas terbang, disebutkan bahwa Pak Dirman meminta mereka menerbangkan
pesawat berkeliling di atas Kota Banyuwangi, lalu ke langit Bali, lantas
kembali ke Pangkalan Bugis.
Pesawat pun
landing atau mendarat kembali dengan mulus. Wajah-wajah tegang perwira lainnya
yang menunggu di landasan, mencair setelah melihat kepuasan Pak Dirman setelah
keluar dari pesawat.
0 comments:
Post a Comment