Meluncurkan
rudal dari kapal selam tidak semudah menekan tombol merah besar. Dibutuhkan
banyak teknik dan ilmu roket untuk memastikan rudal dapat keluar dari tabung peluncuran bawah air untuk kemudian
melesat melalui orbit rendah pada kecepatan lebih dari 13.000 mph.
Meluncurkan
rudal dari kapal selam benar-benar rumit dan tidak semua, bahkan hanya sebagian
kecil negara yang bisa membangunnya. Teknologi ini sebenarnya juga belum
berumur panjang.
Kapal selam
tidak selalu bisa meluncurkan rudal udara dari bawah laut. Selama kedua Perang
Dunia, kapal selam bersenjatakan torpedo dan senjata meriam di dek untuk melawan kapal permukaan dan
senjata ringan antipesawat. Kapal selam
juga menjadi penyebar teror dengan menebarkan ranjau pada paruh pertama abad ke-20.
Baru
pada awal Perang Dingin, menjadi jelas
bahwa rudal nuklir akan memutuskan konflik dunia masa depan. Versi awal dari
teknologi ini dikembangkan oleh Nazi yang membangun roket V-1 dan V-2 yang
digunakan untuk mengebom London.
Rudal Nazi
ini memiliki jangkauan hanya beberapa
ratus mil yang berarti Anda membutuhkan
sebuah pesawat atau kapal untuk membawa mereka mendekat ke target. Sebuah kapal
selam dengan membawa rudal akan menjadi
senjata yang sempurna, bisa membawa senjata pemusnah massal dalam jangkauan
sangat dekat dari musuh tanpa terdeteksi.
Pada tahun
1947, Amerika Serikat meluncurkan JB-2 Loon, salinan langsung dari V-1 Jerman
yang diluncurkan dari dek kapal selam
USS Cusk.
Pada 1953
USS Tunny telah diadaptasi menjadi
sebuah kapal selam rudal, tetapi menembakkan rudal jelajah Regulus prosesnya masih canggung. Kapal selam itu harus muncul ke permukaan, rudal secara manual diangkut dari penyimpanan ke rel peluncuran di geladak kapal selam sebelum bisa
menembak.
Selama seluruh
proses, kapal selam harus muncul ke permukaan yang menjadikannya sangat rentah
untuk terdeteksi dan diserang musuh. Kapal Selam kelas Grayback yang kemudian dibangun untuk meluncurkan
rudal dari permukaan.
Pada akhir
tahun 1950-an, sistem senjata masih belum menguasai ilmu rumit menembak roket
dari dalam air. Namun teknologi itu berkembang dengan cepat, dan pada
pergantian dekade ketika Angkatan Laut Amerika mengembangkan rudal balistik Polaris A1.
Rudal ini
berhasil diluncurkan oleh USS George Washington
dan menjadi perkembangan revolusioner
karena memungkinkan sebuah boomer, atau sebutan
untuk kapal selam rudal balistik, untuk tetap terendam. Setelah ini
berbagai rudal yang didasarkan dari Polaris A1 terus berkembang dengan tak
terbendung.
Puluhan
tahun kemudian, kapal selam rudal balistik masih dianggap kaki paling aman dari
triad nuklir. Dan rudal yang dibawa kapal selam juga terus meningkat dalam hal
kisaran, kekuatan dan akurasi. Polaris asli memiliki jarak sekitar 1.000 mil dan
membawa hulu ledak tunggal 600
kiloton dengan akurasi sekitar satu mil.
Pada tahun 1972 sebuah versi baru memasuki layanan. Awalnya versi baru ini
dikenal sebagai Polaris B3 tapi kemudian berganti nama Poseidon C3 dengan memiliki jangkauan hampir 3.000 mil,
dan membawa 12 hulu ledak.
Pada tahun
1979 datang senjata yang terbesar si dewa laut
Trident C4, yang membawa muatan yang sama dengan jarak 4.600 mil. Ini berarti kapal selam di Pasifik bisa mencapai target apapun di Uni
Soviet.
Hari ini,
Kapal Selam Kelas Ohio Amerika dan kapal
selam kelas Vanguard Inggris dilengkapi
dengan sistem senjata Trident generasi keenam yang jelas semakin mematikan
dalam hal merusak, jangkauan dan akurasinya dibandingkan pendahulu mereka.
Peluncuran
Awal
Dibuat oleh
Lockheed Martin, Trident II D-5 adalah rudal dengan hidung tumpul, dengan
panjang 44 kaki dan berat hampir 120.000
pound. Rudal ini ditembakkan oleh meriam
uap. Pertama, bahan peledak flash
menguapkan air di tangki menjadi uap. Tekanan
uap kemudian mendorong rudal
keluar dari tabung peluncuran, dan
menyediakan momentum yang cukup bagi senjata untuk membersihkan
permukaan air.
Cocktail tekanan tinggi dan ledakan peluncuran adalah fase penting dari
setiap peluncuran. Beberapa mekanisme keamanan berada di tempat ini untuk
menonaktifkan rudal jika gagal untuk menjauh dari kapal selam.
Rudal
melambat saat meninggalkan air dan gravitasi mencoba untuk menariknya kembali
ke bawah. Sensor gerak memantau perubahan ketika rudal menggantung di udara
untuk sesaat sebelum pertama dari roket tiga tahap menyalak dan rudal melesat.
Tes
peluncuran pertama Trident dilakukan dari USS Tennessee pada tahun 1989, namun gagal
karena butiran air mengikuti di belakang rudal dan bercampur dengan nozzle roket. Hasilnya membuat dorangan asimetris dan menjadikan rudal berputar spektakuler
selama empat detik sebelum berakhir meledak menjadi puing-puing.
Tetapi jika
semua berjalan dengan baik, roket tahap pertama akan terbakar selama 65 detik. Selama fase ini, rudal
meluaskan lonjakan aerodinamis untuk memperlancar aliran udara di atas silinder.
Tanpa lonjakan ini, rudal tidak dapat bertahan hidup, kemudian dengan
kecepatan tinggi transit melalui atmosfer.
Menemukan
Target
Selama menit
pertama ini, rudal harus baik dalam
perjalanan. Akhirnya rudal akan mencapai ketinggian 600 mil di atas permukaan
laut. Tahap roket yang sudah habis akan terpisah, dan tetap pada lintasan yang benar.
Sekali lagi,
ini tidak begitu mudah. Menurut laporan bocor baru-baru ini, sebuah rudal Trident
Inggris diluncurkan di lepas pantai Florida pada Juni 2016 sebagai bagian dari
program pengujian seharusnya mengarah ke timur menuju situs target dekat Afrika.
Sebaliknya, rudal diduga berbelok ke timur menuju Amerika sebelum
dihancurkan.
Jika rudal tetap
berada di jalan yang benar, Trident kemudian menavigasi dengan sistem bimbingan
inersia, berdasarkan satu set accelerometers sensitif mengukur secara tepat
seberapa rudal harus dipercepat dan untuk berapa lama.
Komputer
onboard menggunakan data ini untuk menghitung kecepatan dan posisi rudal. Dalam
teknologi militer, bimbingan inersia telah digantikan oleh GPS karena cara yang
lebih tua, lebih mahal dan memiliki kecenderungan posisi salah dari waktu ke
waktu.
Tapi itu
juga berarti tanpa masalah. Angkatan Laut AS tidak pernah menembakkan Trident
yang dilengkapi GPS karena takut
kemungkinan gangguan GPS.
Trident juga
memiliki sistem navigasi bintang.
Seperti pelaut kuno, sensor ini mendapat perbaikan lokasi dengan mengukur
posisi bintang-bintang untuk memberikan koreksi detail. Koreksi ini mungkin diperlukan karena
orientasi kapal selam mungkin tidak diketahui secara tepat pada saat
peluncuran.
Sebuah
kompas dapat dikecoh oleh gangguan
magnetik, dan kondisi di kutub bumi sehingga rudal serta Angkatan Laut harus memiliki kemampuan dalam membaca
bintang. Setelah semua bintang menyelaraskan arah, rudal akhirnya diputuskan
menuju tujuan mematikan.
Menghantam
Target
Saat
melakukan pendekatan ke target, rudal
menyemburkan 12 hulu ledak independen pada target yang berbeda. Setiap
hulu ledak memiliki hasil 100 kiloton atau
enam kali lebih besar dari bom Hiroshima.
Akurasi
rudal disebut kurang dari 400 kaki yang
berarti ada kesempatan 50 persen akan
mendarat kurang 400 kaki dari target.
Tapi
semuanya harus berfungsi sempurna agar rudal bisa mencapai target, dan kesalahan
pada tahap apapun dapat menjadi bencana.
Ada juga
bahaya sabotase baru dengan sistem cyber pengiriman nuklir. perangkat lunak
berbahaya, atau bahkan hardware yang mengganggu kontrol rudal, adalah cara yang
murah menonaktifkan penangkal nuklir. Meskipun kedengarannya tidak mungkin,
tetapi semua bisa saja terjadi.
0 comments:
Post a Comment