Tuesday 14 February 2017

Meluncurkan Rudal Kapal Selam Tak Semudah Yang Anda Pikirkan


Meluncurkan rudal dari kapal selam tidak semudah menekan tombol merah besar. Dibutuhkan banyak teknik dan ilmu roket untuk memastikan rudal dapat keluar dari  tabung peluncuran bawah air untuk kemudian melesat melalui orbit rendah pada kecepatan lebih dari 13.000 mph.

Meluncurkan rudal dari kapal selam benar-benar rumit dan tidak semua, bahkan hanya sebagian kecil negara yang bisa membangunnya. Teknologi ini sebenarnya juga belum berumur panjang.

Kapal selam tidak selalu bisa meluncurkan rudal udara dari bawah laut. Selama kedua Perang Dunia, kapal selam bersenjatakan torpedo dan senjata meriam di dek  untuk melawan kapal permukaan dan senjata ringan antipesawat.  Kapal selam juga menjadi penyebar teror dengan menebarkan ranjau pada paruh pertama abad ke-20.

Baru pada awal Perang Dingin, menjadi jelas bahwa rudal nuklir akan memutuskan konflik dunia masa depan. Versi awal dari teknologi ini dikembangkan oleh Nazi yang membangun roket V-1 dan V-2 yang digunakan untuk mengebom London.


Rudal Nazi ini  memiliki jangkauan hanya beberapa ratus mil  yang berarti Anda membutuhkan sebuah pesawat atau kapal untuk membawa mereka mendekat ke target. Sebuah kapal selam dengan membawa rudal  akan menjadi senjata yang sempurna, bisa membawa senjata pemusnah massal dalam jangkauan sangat dekat dari musuh tanpa terdeteksi.

Pada tahun 1947, Amerika Serikat meluncurkan JB-2 Loon, salinan langsung dari V-1 Jerman yang diluncurkan dari dek kapal selam USS Cusk.

Pada 1953 USS Tunny telah diadaptasi menjadi sebuah kapal selam rudal, tetapi menembakkan rudal jelajah Regulus prosesnya masih canggung. Kapal selam itu harus muncul ke permukaan, rudal secara manual diangkut dari penyimpanan ke rel peluncuran di geladak kapal selam sebelum bisa menembak.

Selama seluruh proses, kapal selam harus muncul ke permukaan yang menjadikannya sangat rentah untuk terdeteksi dan diserang musuh. Kapal Selam kelas Grayback  yang kemudian dibangun untuk meluncurkan rudal dari permukaan.

Pada akhir tahun 1950-an, sistem senjata masih belum menguasai ilmu rumit menembak roket dari dalam air. Namun teknologi itu berkembang dengan cepat, dan pada pergantian dekade ketika Angkatan Laut Amerika mengembangkan  rudal balistik Polaris A1.

Rudal ini berhasil  diluncurkan oleh USS George Washington dan menjadi  perkembangan revolusioner karena memungkinkan sebuah boomer, atau sebutan  untuk kapal selam rudal balistik, untuk tetap terendam. Setelah ini berbagai rudal yang didasarkan dari Polaris A1 terus berkembang dengan tak terbendung.

Puluhan tahun kemudian, kapal selam rudal balistik masih dianggap kaki paling aman dari triad nuklir. Dan rudal yang dibawa kapal selam juga terus meningkat dalam hal kisaran, kekuatan dan akurasi. Polaris asli memiliki jarak sekitar 1.000 mil dan membawa hulu ledak tunggal  600 kiloton  dengan akurasi sekitar satu mil. Pada tahun 1972 sebuah versi baru memasuki layanan. Awalnya versi baru ini dikenal sebagai Polaris B3 tapi kemudian berganti nama Poseidon C3  dengan memiliki jangkauan hampir 3.000 mil, dan membawa 12 hulu ledak.

Pada tahun 1979 datang senjata yang terbesar si dewa laut  Trident C4, yang membawa muatan yang sama dengan jarak  4.600 mil. Ini berarti kapal selam di  Pasifik bisa mencapai target apapun di Uni Soviet.

Hari ini, Kapal Selam Kelas Ohio Amerika  dan kapal selam kelas Vanguard Inggris  dilengkapi dengan sistem senjata Trident generasi keenam yang jelas semakin mematikan dalam hal merusak, jangkauan dan akurasinya dibandingkan pendahulu mereka.

Peluncuran Awal

Dibuat oleh Lockheed Martin,  Trident II D-5  adalah rudal dengan hidung tumpul, dengan panjang 44 kaki dan berat hampir 120.000 pound. Rudal ini ditembakkan oleh meriam uap.  Pertama, bahan peledak flash menguapkan air di tangki menjadi uap. Tekanan  uap kemudian  mendorong rudal keluar dari tabung peluncuran, dan  menyediakan momentum yang cukup bagi senjata untuk membersihkan permukaan air.

Cocktail  tekanan tinggi dan ledakan peluncuran adalah fase penting dari setiap peluncuran. Beberapa mekanisme keamanan berada di tempat ini untuk menonaktifkan rudal jika gagal untuk menjauh dari kapal selam.

Rudal melambat saat meninggalkan air dan gravitasi mencoba untuk menariknya kembali ke bawah. Sensor gerak memantau perubahan ketika rudal menggantung di udara untuk sesaat sebelum pertama dari roket tiga tahap menyalak dan rudal melesat.

Tes peluncuran pertama Trident dilakukan dari USS Tennessee pada tahun 1989, namun gagal karena butiran air mengikuti di belakang rudal dan bercampur dengan nozzle roket. Hasilnya membuat dorangan asimetris dan menjadikan rudal berputar  spektakuler  selama empat detik sebelum berakhir meledak menjadi puing-puing.

Tetapi jika semua berjalan dengan baik, roket tahap pertama akan terbakar  selama 65 detik. Selama fase ini, rudal meluaskan lonjakan aerodinamis untuk memperlancar aliran udara di atas silinder. Tanpa lonjakan ini, rudal tidak dapat bertahan hidup, kemudian dengan kecepatan tinggi transit melalui atmosfer.

Menemukan Target

Selama menit pertama ini, rudal harus baik dalam perjalanan. Akhirnya rudal akan mencapai ketinggian 600 mil di atas permukaan laut. Tahap roket yang sudah habis akan terpisah, dan tetap pada lintasan yang benar.

Sekali lagi, ini tidak begitu mudah. Menurut laporan bocor baru-baru ini, sebuah rudal Trident Inggris diluncurkan di lepas pantai Florida pada Juni 2016 sebagai bagian dari program pengujian seharusnya mengarah ke timur menuju situs target dekat Afrika.  Sebaliknya, rudal diduga berbelok ke timur menuju Amerika sebelum dihancurkan.

Jika rudal tetap berada di jalan yang benar, Trident kemudian menavigasi dengan sistem bimbingan inersia, berdasarkan satu set accelerometers sensitif mengukur secara tepat seberapa rudal harus dipercepat dan untuk berapa lama.

Komputer onboard menggunakan data ini untuk menghitung kecepatan dan posisi rudal. Dalam teknologi militer, bimbingan inersia telah digantikan oleh GPS karena cara yang lebih tua, lebih mahal dan memiliki kecenderungan posisi salah dari waktu ke waktu.

Tapi itu juga berarti tanpa masalah. Angkatan Laut AS tidak pernah menembakkan Trident yang dilengkapi GPS karena  takut kemungkinan gangguan GPS.

Trident juga memiliki sistem navigasi  bintang. Seperti pelaut kuno, sensor ini mendapat perbaikan lokasi dengan mengukur posisi bintang-bintang untuk memberikan koreksi detail.  Koreksi ini mungkin diperlukan karena orientasi kapal selam mungkin tidak diketahui secara tepat pada saat peluncuran.

Sebuah kompas dapat dikecoh  oleh gangguan magnetik, dan kondisi di kutub bumi sehingga rudal serta Angkatan Laut  harus memiliki kemampuan dalam membaca bintang. Setelah semua bintang menyelaraskan arah, rudal akhirnya diputuskan menuju tujuan mematikan.

Menghantam Target

Saat melakukan pendekatan ke target, rudal  menyemburkan 12 hulu ledak independen pada target yang berbeda. Setiap hulu ledak memiliki hasil 100 kiloton atau  enam kali lebih besar dari bom Hiroshima.

Akurasi rudal disebut  kurang dari 400 kaki yang berarti ada kesempatan 50 persen  akan mendarat kurang 400 kaki dari target.

Tapi semuanya harus berfungsi sempurna agar rudal bisa mencapai target, dan kesalahan pada tahap apapun dapat menjadi bencana.

Ada juga bahaya sabotase baru dengan sistem cyber pengiriman nuklir. perangkat lunak berbahaya, atau bahkan hardware yang mengganggu kontrol rudal, adalah cara yang murah menonaktifkan penangkal nuklir. Meskipun kedengarannya tidak mungkin, tetapi semua bisa saja terjadi.


0 comments:

Post a Comment