Achmad
Mochtar, nama besarnya tertera di salah satu rumah sakit yang ada di Kota
Bukittinggi, Sumatera Barat sebagai penghormatan atas jasanya sebagai salah
satu ilmuwan terbaik yang lahir di Indonesia. Namun sayangnya, sosok ini nyaris
terlupakan dalam sejarah.
Lahir di
Bonjol, Sumatera Barat pada 1892, pria bergelar dokter ini adalah seorang
peneliti unggul di masa penjajahan Belanda sampai Jepang. Penemuan-penemuannya
yang brilian menjadikannya sosok terpercaya dari dua era penjajahan. Tetapi
akhir hayatnya tidak seindah kariernya.
Semua
berawal dari semasa penjajahan Jepang. Ketika itu, tentara Sekutu sudah masuk
ke wilayah Indonesia Timur, dan Jepang kewalahan karena harus menghadapi sekutu
sekaligus Indonesia yang ingin merdeka.
Dalam masa
perang tersebut, pemerintah Jepang menghadapi kenyataan bahwa harus kehilangan
900 pekerja romusa (kerja paksa) akibat kematian dengan gejala tetanus.
Beberapa
hari sebelum kematian tersebut, mereka diberi vaksin TCD (tifus, kolera, disentri)
oleh Staf Lembaga Eijkman yang diketuai oleh Achmad Mochtar. Para staf memang
menyuntikkan cairan yang dibilang vaksin atas perintah Jepang, tetapi yang
terjadi malah kematian 900 orang tersebut dalam waktu hampir bersamaan.
Karena
kematian tersebut, Polisi Jepang atau Kenpetai menyatakan bahwa pemimpin
Eijkman, Achmad Mochtar dan seluruh stafnya bersalah dan harus bertanggung
jawab atas tragedi tersebut. Mereka menuduh Achmad Mochtar dan stafnya sengaja
mengganti vaksin dengan kuman tetanus supaya pekerja mati.
Akhirnya
mereka pun menangkap Mochtar dan seluruh stafnya untuk dihukum lewat
penyiksaan, mulai dari dibakar, disetrum, sampai akhirnya satu dokter tewas
karena tidak tahan dengan hukuman itu. Tak ingin lagi banyak korban yang
berjatuhan, Mochtar mengakui kesalahan tersebut dan memberikan syarat kepada
Jepang agar membebaskan semua teman-temannya.
Para staf
Eijkman lain kemudian dibebaskan, namun Mochtar harus menanggung hukuman
pancung pada 3 Juli 1945. Bahkan setelah dipancung, tubuh tanpa kepala tersebut
digilas dengan traktor sebelum akhirnya dikubur.
Fitnah
Dalam kurun
waktu masa penjajahan Jepang, yakni 3,5 tahun banyak kaum intelektual yang
dibantai ketika melakukan riset-ritetnya, salah satunya adalah Achmad Mochtar.
Pada buku berjudul War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by
Medicine terbitan University of Nebraska Press mengungkap fakta penting atas
kematian Mochtar.
Jepang
diduga melakukan eksperimen lain vaksin tetanus. Ditemukan jejak eksperimen
ilmiah oleh militer Jepang unit 731 di Bandung, yang kala itu menjadi Lembaga
Pasteur Institute. Kejahatan tersebut akhirnya terungkap pada tahun 2010,
dengan ditemukannya makam Mochtar yang dikubur di Evereld, Ancol.
Jurnal
tersebut memuat penemuan dan dugaan pembunuhan ilmuwan terbaik itu. Mochtar
sengaja difitnah untuk menutupi kejahatan perang yang dilakukan Jepang. Para
romusa sengaja disuntik toksin tetanus aagr keampuhan vaksin tetanus bisa
diketahui.
Eksperimen
tersebut awalnya dilakukan terhadap hewan sebelum akhirnya diberikan kepada
manusia. Namun ternyata semua itu gagal. Tidak mau dianggap memalukan
negaranya, Jepang akhirnya mencari orang untuk di-kambing hitam-kan, agar
mereka terbebas dari tuduhan kejahatan.
Posisi
Mochtar sebagai direktur lembaga penelitian dinilai Jepang mengancam
terbongkarnya kejahatan itu. Agar ia tidak membuka mulutnya, Mochtar pun
dieksekusi sedemikian rupa.
Pahlawan
yang nyaris terlupakan
Peneribitan
buku tentang Mochtar dalam bahasa Inggris bermaksud untuk mengungkapkan kepada
dunia tentang adanya dokter yang dikriminalisasi untuk menutupi kejahatan
perang. Sampai saat ini, Jepang tidak pernah meminta maaf atas tindakannya
memancung Mochtar.
Di
Indonesia, Mochtar belum terlalu dihargai. Dia pernah dianugerahi Bintang Jasa
Utama pada masa Presiden Soeharto. Penghargaan itu ditujukan untuk orang yang
berjasa pada kalangan terbatas.
Mochtar
layak menjadi pahlawan nasional dengan jasa-jasanya. Jasa yang bisa dilihat
pada Mochtar bukan hanya bahwa dia rela dipancung. Dia juga yang turut
melakukan riset dan misi kedokteran pada masa Jepang.
Setelah
sekolah kedokteran masa penjajahan Belanda ditutup, Achmad Mochtar turut serta
membuka sekolah kedokteran Ikada Daikagu pada zaman Jepang (kini Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia).
0 comments:
Post a Comment