Monday 13 February 2017

Achmad Mochtar, Ilmuwan Asal Sumatera Barat Yang Jasanya Terlupakan


Achmad Mochtar, nama besarnya tertera di salah satu rumah sakit yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat sebagai penghormatan atas jasanya sebagai salah satu ilmuwan terbaik yang lahir di Indonesia. Namun sayangnya, sosok ini nyaris terlupakan dalam sejarah.

Lahir di Bonjol, Sumatera Barat pada 1892, pria bergelar dokter ini adalah seorang peneliti unggul di masa penjajahan Belanda sampai Jepang. Penemuan-penemuannya yang brilian menjadikannya sosok terpercaya dari dua era penjajahan. Tetapi akhir hayatnya tidak seindah kariernya.

Semua berawal dari semasa penjajahan Jepang. Ketika itu, tentara Sekutu sudah masuk ke wilayah Indonesia Timur, dan Jepang kewalahan karena harus menghadapi sekutu sekaligus Indonesia yang ingin merdeka.

Dalam masa perang tersebut, pemerintah Jepang menghadapi kenyataan bahwa harus kehilangan 900 pekerja romusa (kerja paksa) akibat kematian dengan gejala tetanus.

Beberapa hari sebelum kematian tersebut, mereka diberi vaksin TCD (tifus, kolera, disentri) oleh Staf Lembaga Eijkman yang diketuai oleh Achmad Mochtar. Para staf memang menyuntikkan cairan yang dibilang vaksin atas perintah Jepang, tetapi yang terjadi malah kematian 900 orang tersebut dalam waktu hampir bersamaan.

Karena kematian tersebut, Polisi Jepang atau Kenpetai menyatakan bahwa pemimpin Eijkman, Achmad Mochtar dan seluruh stafnya bersalah dan harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Mereka menuduh Achmad Mochtar dan stafnya sengaja mengganti vaksin dengan kuman tetanus supaya pekerja mati.

Akhirnya mereka pun menangkap Mochtar dan seluruh stafnya untuk dihukum lewat penyiksaan, mulai dari dibakar, disetrum, sampai akhirnya satu dokter tewas karena tidak tahan dengan hukuman itu. Tak ingin lagi banyak korban yang berjatuhan, Mochtar mengakui kesalahan tersebut dan memberikan syarat kepada Jepang agar membebaskan semua teman-temannya.

Para staf Eijkman lain kemudian dibebaskan, namun Mochtar harus menanggung hukuman pancung pada 3 Juli 1945. Bahkan setelah dipancung, tubuh tanpa kepala tersebut digilas dengan traktor sebelum akhirnya dikubur.

Fitnah

Dalam kurun waktu masa penjajahan Jepang, yakni 3,5 tahun banyak kaum intelektual yang dibantai ketika melakukan riset-ritetnya, salah satunya adalah Achmad Mochtar. Pada buku berjudul War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine terbitan University of Nebraska Press mengungkap fakta penting atas kematian Mochtar.

Jepang diduga melakukan eksperimen lain vaksin tetanus. Ditemukan jejak eksperimen ilmiah oleh militer Jepang unit 731 di Bandung, yang kala itu menjadi Lembaga Pasteur Institute. Kejahatan tersebut akhirnya terungkap pada tahun 2010, dengan ditemukannya makam Mochtar yang dikubur di Evereld, Ancol.

Jurnal tersebut memuat penemuan dan dugaan pembunuhan ilmuwan terbaik itu. Mochtar sengaja difitnah untuk menutupi kejahatan perang yang dilakukan Jepang. Para romusa sengaja disuntik toksin tetanus aagr keampuhan vaksin tetanus bisa diketahui.

Eksperimen tersebut awalnya dilakukan terhadap hewan sebelum akhirnya diberikan kepada manusia. Namun ternyata semua itu gagal. Tidak mau dianggap memalukan negaranya, Jepang akhirnya mencari orang untuk di-kambing hitam-kan, agar mereka terbebas dari tuduhan kejahatan.

Posisi Mochtar sebagai direktur lembaga penelitian dinilai Jepang mengancam terbongkarnya kejahatan itu. Agar ia tidak membuka mulutnya, Mochtar pun dieksekusi sedemikian rupa.

Pahlawan yang nyaris terlupakan

Peneribitan buku tentang Mochtar dalam bahasa Inggris bermaksud untuk mengungkapkan kepada dunia tentang adanya dokter yang dikriminalisasi untuk menutupi kejahatan perang. Sampai saat ini, Jepang tidak pernah meminta maaf atas tindakannya memancung Mochtar.

Di Indonesia, Mochtar belum terlalu dihargai. Dia pernah dianugerahi Bintang Jasa Utama pada masa Presiden Soeharto. Penghargaan itu ditujukan untuk orang yang berjasa pada kalangan terbatas.

Mochtar layak menjadi pahlawan nasional dengan jasa-jasanya. Jasa yang bisa dilihat pada Mochtar bukan hanya bahwa dia rela dipancung. Dia juga yang turut melakukan riset dan misi kedokteran pada masa Jepang.


Setelah sekolah kedokteran masa penjajahan Belanda ditutup, Achmad Mochtar turut serta membuka sekolah kedokteran Ikada Daikagu pada zaman Jepang (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).

0 comments:

Post a Comment