Melihat
kondisi regional dan geopolitik khususnya di Laut Cina Selatan yang semakin tak
menentu, plus ditambah dengan negara-negara Asia Tenggara yang meningkatkan
kemampuan Angkatan Lautnya dengan melakukan pembelian sejumlah kapal selam,
Australia akhirnya menjatuhkan pilihan untuk menggantikan kapal selam kelas
Collins yang sudah bertugas selama puluhan tahun.
Pilihan
pengadaan alutsista untuk Australia tak pernah mudah, karena kebutuhan yang
unik dan kewajiban membangun sebagian besar alutsista tersebut di Australia
untuk menjamin transfer teknologi dan lapangan pekerjaan lokal.
Dari
sekian banyak tawaran, ada tiga finalis yang mencapai tahap akhir seleksi. Yang
pertama ada Mitsubishi Heavy Industries dari Jepang yang menawarkan kapal selam
kelas Soryu yang ditingkatkan kemampuannya dengan banderol harga dasar US$750
juta belum termasuk dengan pembangunan fasilitas produksi di Australia.
Penawaran kapal selam kelas Soryu ini sempat membuat heboh karena merupakan
upaya penjualan sistem senjata ofensif pertama dari Jepang ke luar negerinya.
Penawaran
kedua datang dari konsorsium TKMS (Thyssen Krupp Marine System)-HDW Jerman yang
menawarkan U214 sebanyak 12 unit dengan harga US$20 Miliar, sudah termasuk
biaya membangun galangan kapal di Australia. Tawaran ini menarik karena
harganya sama dengan apabila membeli langsung dan dibuat oleh galangan kapal
Kiel di Jerman. Dengan kata lain, biaya transfer teknologinya diberikan gratis
oleh Jerman kepada Australia.
Namun rupa-rupanya Australia justru kepincut dengan tawaran dari DCNS Perancis, yang
justru merupakan penawaran termahal dari antara ketiga finalis. DCNS menawarkan
Shortfin Barracuda senilai US$50 Miliar untuk 12 kapal selam. Banyak yang
mengernyitkan dahi dengan kemenangan DCNS ini. Pertama, karena Shortfin
Barracuda adalah kapal selam konvensional yang desainnya baru ada di atas
kertas.
DCNS
Barracuda sendiri adalah kapal selam dengan propulsi nuklir, dan DCNS
menjanjikan untuk dapat membuat kapal selam konvensional dengan mengubah desain
Barracuda. Banyak yang menyangsikan hal ini karena desain dasar dari kapal
selam konvensional dan kapal selam nuklir adalah dua hal yang berbeda, tidak
sekedar mengganti sistem mesin, generator, dan kelistrikannya saja.
Perkara
kedua, DCNS Shortfin Barracuda sendiri justru tidak menawarkan teknologi AIPS
(Air Independent Propulsion System), teknologi yang memampukan kapal selam
konvensional untuk bertahan menyelam di bawah air sampai 2-3 minggu tanpa perlu
mengisi baterai ke permukaan, yang membuat kapal selam konvensional modern
setara dengan kapal selam nuklir. U214 dan Soryu sendiri menawarkan teknologi
AIPS sebagai standar dalam paket penawarannya.
Jadi apa
yang membuat Australia mengambil keputusan untuk memenangkan penawaran yang
paling inferior dan justru paling beresiko?. Jawabannya justru ada pada desain
Barracuda sendiri yang aslinya adalah kapal selam nuklir. Australia jelas sudah
berhitung bahwa potensi konflik terbesar dimana ia harus mewakili kepentingan
Barat di Selatan ada di Laut Cina Selatan. Untuk memproyeksikan kapal selam ke
lokasi yang letak dan posisinya jauh dari negerinya itu, jawabannya mau tidak
mau, hanya terletak pada kapal selam nuklir yang memiliki endurance yang
mumpuni. Bisa jadi, dari sejumlah Shortfin Barracuda yang dibeli, pada akhirnya
sejumlah kapal selam yang dibuat akan ditenagai dengan propulsi nuklir.
Australia
hanya tidak ingin memicu sensitifitas dari negara-negara tetangganya dan
mencegah lomba senjata di kawasan yang sudah menghangat selama sepuluh tahun
terakhir. Hal lain adalah untuk mencegah protes dari dalam negerinya sendiri
yang mungkin menentang penggelaran senjata nuklir.
Pada waktu
yang sama, Australia harus memikirkan nasib kapal selam kelas Collins yang
dimilikinya kini. Karena Shortfin Barracuda pertama baru akan selesai pada
2030, butuh upaya upgrade bagi armada Collins agar mampu bertugas sampai
Shortfin Barracuda masuk dinas aktif, dan itu artinya akan ada tambahan anggaran US$15
Miliar lagi.
0 comments:
Post a Comment