Meskipun
sampai tahun lalu campur tangan asing di Suriah masih berada di bawah
bayang-bayang, namun banyak pengulas yang sudah berbicara tentang “perang
perwalian”. Perang
perwalian masih berlangsung hingga 2015, tapi pada 2016 negara adidaya
memperlihatkan keterlibatan secara pribadi dalam konflik hampir enam tahun di
Suriah.
Sejak awal
krisis Suriah, Turki telah memperlihatkan keberpihakan pada kelompok
perlawanan. Belakangan Ankara memainkan peran penting dalam mendukung
gerilyawan dengan tujuan menggulingkan Pemerintah Presiden Bashar al-Assad.
Sepanjang
waktu, Ankara mendukung gerilyawan dari jauh, dengan mengizinkan senjata dan
petempur asing dikirim melalui wilayah itu, selain membantu mendirikan kamp
pelatihan untuk gerilyawan. Tapi pada
2016, kondisinya berbeda! Ankara mulai mengirim tentara ke Suriah untuk
mendukung sebagian kelompok gerilyawan yang telah lama didukungnya.
Ada banyak
alasan di balik pengiriman pasukan khusus dan tank Turki ke dalam wilayah
Suriah. Alasan
nyatanya ialah mendukung kelompok gerilyawan Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dalam
perang melawan kelompok ISIS, yang berlindung di balik kegiatan yang disebut
Tameng Kekhalifahan.
Alasan
kedua, yang menjadi alasan utama, ialah mengizinkan FSA mengisi kekosongan di
daerah yang direbut dari ISIS guna memotong jalan sebelum petempur Kurdi dapat
mengambil-alihnya. Sebab, garis merah Ankara ialah peningkatan pengaruh Kurdi
di Suriah Utara dan perbatasannya.
Itu semua
adalah sasaran pertama yang diumumkan secara nyata di balik kegiatan Ankara
sampai Presiden Recep Tayyip Erdogan diberitakan belum lama ini mengatakan
Tentara Turki memasuki Suriah untuk mengakhiri Presiden Bashar al-Assad.
Erdogan
menuduh Bashar melakukan aksi teror dan mengakibatkan kematian ribuan orang!
“Kami masuk (ke Suriah) untuk mengakhiri kekuasaan (Bashar) al-Assad, yang
meneror dengan memanfaatkan negara. Kami tidak masuk karena alasan lain apa
pun,” kata Presiden Turki tersebut yang dikutip harian Hurriyet pada November.
Osama
Danura, seorang pengulas politik, mengatakan kepada Xinhua campur tangan
internasional di Suriah telah menjadi lebih penting dan lebih jelas
dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.
“Negara
semacam itu telah mulai terlibat secara langsung setelah kelompok yang
didukungnya gagal mencapai rancangannya dalam menjatuhkan pemerintah dan negara
Suriah,” katanya. Namun ia memperingatkan campur tangan semacam itu akan
meningkatkan risiko terorisme di wilayah tersebut.
“Tak
diragukan bahwa campur tangan Turki lebih nyata tahun ini,” kata Danura. Campur
tangan Turki telah menjadi lebih mencolok dibandingkan dengan kapan pun,
terutama setelah masuknya pasukan dan tank Turki ke dalam wilayah Suriah. Danura yang memegang gelar PhD dalam bidang Ilmu Politik dan salah satu
perunding pemerintah dalam pembicaraan Suriah di Jenewa tidak menyembunyikan
kemungkinan mengenai bentrokan langsung pada satu tahap antara militer Suriah
dan pasukan Turki. Namun,
katanya, bentrokan semacam itu mungkin masih jauh.
Sementara
itu Amerika Serikat juga telah berulangkali menyerukan penggulingan Bashar, dan
selama bertahun-tahun perang di Suriah, tampaknya Washington sedang mencari
sekutu kuat yang bisa diandalkan di lapangan.
Pentagon
pada Sabtu (10/12/2016) menyatakan Amerika Serikat akan menggelar sebanyak 200
prajurit tambahan AS ke Suriah dalam aksi militer militer melawan ISIS. Menurut satu
pernyataan Pentagon, tambahan tentara AS tersebut akan meliputi personel
pasukan operasi khusus, pelatih, penasehat dan tim penjinak peledak. AS telah
melatih beberapa kelompok gerilyawan dan bahkan memperlihatkan standard ganda
dalam menangani mereka. Sekarang Washington mendukung kelompok gerilyawan yang
bertikai, FSA yang didukung Turki, dan Pasukan Demokratik Suriah (SDF),
pimpinan Kurdi.
Tetap saja
kehadiran AS di Suriah, yang dimulai pada penghujung 2014 saat serangan
udaranya mulai ditujukan ke posisi ISIS, juga menjadi makin jelas pada tahun ini. Pada
September, bendera AS dikibarkan di satu pangkalan Kurdi Suriah di Suriah Utara
di dekat perbatasan Turki.
Di Tal Abyad
di pinggiran utara Kota Raqqa di Suriah Utara, bendara garis dan bintang
dikibarkan oleh Satuan Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG). Pada bulan
yang sama, kantor berita Kurdi, Kurdistan24 menyatakan satuan militer yang
diduga adalah Marinir AS mendirikan beberapa pos pemantauan di Tal Abyad dan
mengibarkan beberapa bendera AS di dekatnya.
Masalah
bendera tersebut muncul empat bulan setelah beberapa laporan mengatakan 150
personel pasukan khusus AS memasuki Kota Rmailan, yang dikuasai Kurdi di Kota
Hasakah di bagian timur-laut Suriah.
Pada saat
yang sama, Kementerian Luar Negeri Suriah menanggapi dengan satu pernyataan,
“Kami telah menerima laporan mengenai masuknya 150 prajurit AS ke dalam wilayah
Suriah di Daerah Rmailan.” Ditambahkannya, tindakan tersebut “gelap, tidak sah,
dan dilakukan tanpa izin dari Pemerintah Suriah”.
Sementara
itu Presiden AS Barack Obama pada April malah mengumumkan pengiriman tambahan
250 personel pasukan operasi khusus ke Suriah, dalam “upaya menghambat pengaruh
dan penyebaran ISIS”. Namun,
keinginan Amerika Serikat sejak dulu telah dipertanyakan, dan Pemerintah Suriah
menyampaikan keraguan mengenai sasaran sesungguhnya di balik aksi AS terhadap
ISIS.
Dua pendapat
Pemerintah Suriah memang menganggap campur tangan AS sebagai aksi berbahaya,
dan tindakan Rusia sebagai perbuatan baik. Tapi kebenaran adalah bahwa Rusia juga telah makin terlibat belakangan ini dalam perang melawan
gerilyawan dukungan Barat.
Sejak
memasuki Suriah untuk membantu pasukan Pemerintah di Damaskus, Rusia telah
memasukkan makin banyak perangkat militer dan sekarang sedang mempertimbangkan
untuk mendirikan pangkalan jangka-panjang di Suriah. Tahun ini
saja, Moskow menggelar sistem kekuatan udaranya S300 dan S400, yang tangguh, di
pangkalan udara yang digunakannya di Humaiman di Kota Pantai Latakia untuk
membela pasukan Suriah dan Rusia.
Ketua Komite
Dewan Federasi Rusia mengenai Pertahanan dan Keamanan Viktor Ozerov dilaporkan
mengatakan Moskow menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Suriah untuk
mendirikan pangkalan Angkatan Laut permanen di Kota Pantai Tartus.
Menurut
kesepakatan itu, Moskow akan menggunakan pangkalan Humaiman tanpa biaya, dan
kesepakatan tersebut juga mengizinkan Rusia mengangkut senjata apa saja,
amunisi atau perlengkapan ke Suriah tanpa pajak atau bayaran.
Meskipun
banyak negara terlibat dalam krisis Suriah, namun beberapa pengulas percaya
pembicaraan mengenai “Perang Dunia III” terkait kemelut Suriah “tidak logis”. Mereka
mengatakan setiap negara besar saling memiliki kepentingan yang lebih besar
ketimbang keterlibatan dalam perang langsung di Suriah.
Maher Ihsan,
seorang pengulas politik, mengatakan kepada Xinhua kemajuan militer Suriah di
banyak medan, terutama di Kota Aleppo di Suriah Utara, adalah yang penting saat
ini. Ia
menyatakan kemenangan militer Suriah di Aleppo dan daerah sekitarnya berarti
kendali pemerintah atas kota besar utama di negeri tersebut, yang akan
mendukung pendirian Suriah dalam setiap dialog mengenai penyelesaian.
Ia
menambahkan negara adidaya akhirnya akan mencapai konsensus guna menyelesaikan
perang Suriah setelah mencapai kepentingan mereka tanpa terjerumus ke dalam
bentrokan langsung.
0 comments:
Post a Comment