Sebuah
pesawat militer Tu-154 yang sedang dalam perjalanan menuju Suriah jatuh di Laut
Hitam. Semua penumpang tewas dalam tragedi itu. Para penyelidik kini tengah
mempertimbangkan tiga teori yang mungkin menyebabkan jatuhnya pesawat:
kesalahan manusia, kesalahan teknis, atau serangan teroris.
Sebuah
pesawat Tu-154 milik Kementerian Pertahanan Rusia tujuan Suriah jatuh ke Laut
Hitam pada Minggu (25/12/2016) pagi, hanya beberapa kilometer dari lepas pantai
dekat Sochi.
Laporan
terkait jumlah dan identitas penumpang pesawat masih bervariasi. Namun, telah
dikonfirmasi bahwa para penumpang yang berada dalam pesawat itu termasuk 68
anggota Ansambel Alexandrov yang terkenal, sembilan orang wartawan, dan delapan
awak pesawat. Kementerian Situasi Darurat Rusia dan tim SAR setidaknya telah
menemukan sepuluh jasad korban kecelakaan.
Presiden
Rusia Vladimir Putin telah menginstruksikan Perdana Menteri Dmitry Medvedev
untuk membentuk sebuah komisi negara dan menyelidiki persitiwa nahas ini di
bawah kendalinya.
Menurut
laporan media Rusia, insiden itu terjadi saat pesawat sedang naik menuju
ketinggian. Namun, awak pesawat sama sekali tak mengirimkan sinyal mara bahaya
apa pun.
Kementerian
Situasi Darurat dan para pakar dari Komite Investigasi kini tengah bekerja di
lokasi kejadian. Mereka telah mendapatkan segala dokumen yang berkaitan dengan
penerbangan dan sekarang sedang menginterogasi pejabat-pejabat terkait dan staf
teknis bandara.
Mereka
melihat tiga teori yang mungkin telah menyebabkan kecelakaan itu.
1. Kesalahan
Teknis
Menurut
Kepala Asosiasi Penerbangan Sipil Aeroflot Viktor Gorbachev, pesawat mungkin
telah mengalami kekurangan pasokan daya selama penerbangan.
"Pasti
ada sesuatu yang salah dengan mesin. Kita masih belum tahu dan sulit untuk
berspekulasi, apakah itu berhubungan dengan bahan bakar atau kegagalan mesin. Lepas landas memang, tentu saja, periode yang paling sulit. Pesawat (bisa jadi)
tidak memiliki daya atau kecepatan yang memadai dan jatuh berputar-putar,"
kata sang ahli.
Tu-154
diproduksi pada 1984, diperbaiki pada Desember 2014, dan menjalani proses
pemeliharaan rutin pada September 2016. Namun menurut Gorbachev, usia tua
pesawat ini tidak menjadi masalah.
"Ada
pesawat di seluruh dunia yang usianya 30, 50, bahkan 60 tahun lebih tua dan
masih beroperasi. Dalam hal ini, itu tidak menjadi masalah. Pesawat itu layak
terbang, ia memenuhi semua persyaratan," tambah sang ahli.
Namun, tidak
semua analis sependapat. Seorang pakar militer TASS dan sekaligus pensiunan
kolonel Viktor Litovkin menunjukkan bahwa armada pesawat sipil milik
Kementerian Pertahanan Rusia tidak dalam kondisi terbaik berbeda dengan pesawat
tempur yang terawat dengan baik.
"Sebagian
besar pesawat sipil Kementerian Pertahanan Rusia adalah Tu-154 buatan Soviet.
Karena industri pembuatan pesawat terbang hampir hancur pada 1990-an, tidak ada
pesawat angkut militer atau pesawat penumpang baru yang diproduksi selama
bertahun-tahun," kata sang ahli.
Menurut
Litovkin, Kementerian Pertahanan Rusia tidak ingin membeli pesawat sipil buatan
luar negeri. Namun di sisi lain, mereka tidak punya pengganti Tu-154.
"Setelah
segala pemeriksaan yang dibutuhkan tim investigasi selesai, pihak militer akan
kembali menggunakan pesawat ini," kata Litovkin.
2. Kesalahan
Manusia
Kapten
Tu-154, Roman Volkov, adalah seorang pilot kelas satu dengan lebih dari 3.000
jam terbang, kata Kementerian Pertahanan Rusia.
"Para
awak pesawat juga merupakan awak-awak yang paling berpengalaman. Mereka telah
beberapa kali menerbangkan pesawat yang sama, memimpin pengiriman Su-30, Su-35,
dan Su-24 ke Pangkalan Udara Hmeimim," terang seorang narasumber di
lembaga penegak keamanan dan hukum kepada surat kabar Izvestia.
Namun, para
analis mengatakan, penyelidikan kecelakaan ini juga akan mempertimbangkan
kemungkinan faktor kesalahan manusia.
"Tidak
ada teori yang dikesampingkan, mulai dari bahan bakar berkualitas rendah hingga
serangan teroris, termasuk faktor kesalahan pilot, yang menyebabkan pesawat
jatuh berputar-putar akibat naik menuju ketinggian terlalu cepat dan membuat
belokan yang terlalu tajam," kata Litovkin.
3. Serangan
Teroris
Beberapa
ahli mengindikasikan kemiripan antara kecelakaan Tu-154 dan meledaknya pesawat
penumpang Airbus 321-231 dalam perjalanan dari Sharm el-Sheikh, Mesir, ke Sankt
Peterburg pada 30 Oktober 2015.
Pada tragedi
di Mesir tahun lalu, para teroris telah menanam bom di bagian ekor pesawat yang
merupakan bagasi barang-barang besar. Sekitar 20 menit setelah lepas landas,
pesawat meledak, dan jatuh dari ketinggian beberapa ribu meter. Pada kasus
Tu-154. kecelakaan terjadi hanya tujuh menit setelah pesawat lepas landas.
"Kondisi
cuaca sangat baik. Jika ada masalah dengan pesawat, misalnya dengan mesin,
pesawat seharusnya bisa berbalik arah dan kembali mendarat di lapangan terbang,
atau bisa juga mendarat di lepas pantai. Padahal dalam kasus ini, pesawat jatuh
begitu saja, seperti ada keadaan darurat di pesawat, ketika ada sesuatu yang
meledak atau sesuatu terlepas dari badan pesawat. Berdasarkan peraturan, hanya
bagian ekor yang bisa lepas pada pesawat-pesawat semacam ini," kata
instruktur penerbangan Mayor Andrei Krasnoperov kepada stasiun radio Kommersant
FM.
Dalam
situasi lainnya, lanjut Krasnoperov, pilot bisa menginformasikan pengontrol
lalu lintas atas kerusakan di dalam pesawat dan mengirim sinyal mara bahaya.
Namun dalam kasus Tu-154, itu tidak terjadi.
"Ini
berarti ada sesuatu yang tiba-tiba dan diharapkan terjadi pada tujuh menit
pertama penerbangan. Jadi, saya tidak bisa menyalahkan kru, dan ketika ada
masalah teknis, jarang sekali hal itu terjadi begitu tiba-tiba.
Mereka
bahkan menemukan seorang pria dekat pantai yang terluka akibat pecahan badan
pesawat. Ini menunjukkan bahwa fragmen pesawat itu tersebar sedemikian rupa
saat mereka terjatuh, dan menunjukkan bahwa pesawat meledak di udara.
0 comments:
Post a Comment