Harian
Kompas hari ini, Selasa (27/12/2016), mengangkat headline di halaman 1 terkait
pembelian helikopter TNI Angkatan Udara. Diberitakan, TNI AU tetap membeli
helikopter AgustaWestland 101 (AW 101), meski pernah mendapat penolakan
Presiden Joko Widodo pada Desember 2015 silam.
Foto
mengenai helikopter AW 101 yang menggunakan lambang TNI AU sudah beredar di
sejumlah situs, seperti www.rotorblur.co.uk. Dalam foto
itu terlihat AW 101 sedang terbang uji coba (maiden flight), disertai caption
yang menyebut heli telah dibeli TNI AU.
Fotografer
Rich Pittman yang menjepret foto itu juga menyatakan bahwa foto heli AW 101
yang dibeli TNI AU diambil di pusat pabriknya di Yeofil, Inggris, pada 19
Desember 2016. Menurut
Pittman dalam tulisannya, heli itu sebelumnya akan dibeli oleh India. Namun,
pembelian dibatalkan karena ada kasus korupsi.
Namun, kabar
tersebut kemudian dibantah oleh KSAU. "Heli
ini bukan bekas dari India. Ini kami pesan dari awal dan dikerjakan tiga shift
dengan pengawasan TNI AU sejak awal," kata Agus.
Presiden
Jokowi sebelumnya menolak pembelian heli angkut VVIP AW 101 buatan Inggris dan
Italia seharga 55 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 761,2 miliar per
unit itu karena dinilai terlalu mahal dan tak sesuai kondisi keuangan negara. TNI AU
kemudian mengajukan pembelian satu heli AW 101 melalui surat kepada Kementerian
Pertahanan pada 29 Juli 2016 untuk kebutuhan angkut militer.
Diangggap
langgar UU
Rencana pembelian itu mendapat penolakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan
(KKIP) dengan alasan melanggar Undang-Undang Industri Pertahanan. Menurut
Ketua Bidang Perencanaan Tim KKIP Muhammad Said Didu, proses pembelian heli AW
101 melanggar Pasal 43 yang menyebutkan bahwa pengguna, dalam hal ini TNI AU,
wajib menggunakan produksi industri pertahanan dalam negeri apabila suatu alat
pertahanan-keamanan telah diproduksi di Indonesia.
Jika
industri pertahanan dalam negeri tidak bisa memenuhi, TNI AU bisa mengusulkan
ke KKIP untuk menggunakan produk luar negeri dengan mekanisme antarpemerintah
(G to G) atau pemerintah dengan pabrik.
"Informasi
yang kami dapatkan, pembelian AW 101 dilakukan lewat agen. Ini saja sudah
melanggar," kata Said, dikutip dari Harian Kompas.
UU Industri
Pertahanan juga menyebutkan, pengadaan alat pertahanan keamanan dari luar
negeri harus memenuhi sejumlah syarat dalam perjanjian jual beli, seperti
kewajiban adanya transfer teknologi, kandungan lokal paling rendah 85 persen,
hingga imbal dagang. Ketentuan
yang disebut ofset dalam industri pertahanan ini harus dipatuhi pengguna (TNI)
di bawah persetujuan KKIP.
Said
mengatakan, walau pernah diadakan pertemuan antara KKIP dan TNI AU, belum ada
kesepakatan, apalagi rincian, pembicaraan tentang ofsetnya. Ia
menengarai, dari proses pembelian yang berubah-ubah, awalnya heli VVIP lalu
menjadi heli militer, ada siasat untuk menghindari kepatuhan terhadap UU
Industri Pertahanan.
Ia berharap
semua pihak mematuhi undang-undang yang bertujuan untuk strategi kemajuan
bangsa menguasai teknologi dan kemandirian pertahanan itu.
Heli AW 101 bukan untuk Kepresidenan, TNI AU: Ini untuk Militer dan SAR
Pembelian
helikopter AgustaWestland (AW) 101 awalnya ditujukan untuk kepentingan
kepresidenan. Namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolaknya karena merasa saat
itu heli yang dipakainya, yaitu Super Puma, masih laik.
TNI Angkatan
Udara (AU) yang mengajukan pembelian heli itu lalu merevisinya untuk
kepentingan militer dan diajukan kembali. Menurut Kepala Dinas Penerangan
(Kadispen) TNI AU Marsekal Pertama (Marsma) Jemi Trisonjaya, anggaran untuk
pembelian heli itu sudah turun sehingga tidak ada masalah lagi yang harus
diperdebatkan.
"Lo
kita kan menunda membeli pesawat VVIP (very very importan person). Nah, kita
kan revisi kebutuhannya itu untuk membeli pesawat militer. Nah, militer sudah
kita ajukan ke Kemenhan (Kementerian Pertahanan), makanya prosedur itu sudah
kita lewati kemudian kenapa bintang dicabut dan itu sudah pasti penggunaannya
pesawat itu," ucap Jemi saat berbincang dengan detikcom, Selasa
(27/12/2016).
"Kebutuhan
heli ini juga multifungsi, bisa untuk SAR, untuk angkut berat, untuk evakuasi,
untuk rumah sakit mobile, begitu, kan? Jadi penggunaannya itu memang kita
butuhkan untuk Angkatan Udara, yang selama ini kita melaksanakan SAR itu dengan
pesawat-pesawat yang sangat terbatas," sambung Jemi.
Kemudian,
Jemi juga mengatakan bahwa pengajuan anggaran pembelian heli itu untuk tahun
ini. Dengan demikian, menurut Jemi, pada tahun ini pembelian heli itu harus
segera diproses.
"Itu
sebenarnya pengajuannya dari tahun 2015 ya, prosesnya gitu. Kemudian keluarnya
tahun 2016. Anggaran ini kan harus dalam tahun anggaran sehingga dalam tahun
ini harus segera diproses," ucap Jemi.
Pada 23
Oktober 2015, saat itu Marsma Dwi Badarmanto, yang menjabat sebagai Kadispen
TNI AU, menyampaikan tentang peremajaan helikopter kepresidenan yang sudah
diusulkan sejak lama dan pengadaannya masuk dalam rencana strategis (renstra)
II TNI AU tahun 2015-2019. Dalam renstra, pilihan TNI AU untuk mengganti Super
Puma yang diproduksi tahun 1980 itu jatuh pada AW 101. Heli tersebut tidak
spesifik diperuntukkan bagi Presiden Jokowi, namun juga bagi pejabat VVIP,
termasuk wakil presiden dan tamu kenegaraan.
Alasan TNI
AU memilih AW 101 adalah heli tersebut dinilai yang paling mumpuni untuk
menunjang kepentingan VVIP. Heli yang akan dibeli TNI AU ini disebut Dwi juga
antipeluru. Selain itu, heli baru untuk VVIP tersebut juga dilengkapi dengan
bantalan udara yang dapat mengembang seperti kantong udara jika terjadi
benturan.
AW 101
dipilih juga karena dapat dipasangi pelampung sehingga heli dapat mendarat dan
mengapung di perairan dalam keadaan darurat. Pelat-pelat baja tahan peluru pada
heli ini juga bisa dipasangkan pada helikopter lain sesuai keperluan.
0 comments:
Post a Comment