Revolusi
Libya, yang dimulai dari Benghazi pada 2011, telah memasuki tahun keenamnya.
Harapan bahwa kehidupan akan lebih baik
tetap menjadi sebuah omong kosong. Tidak ada perubahan
positif yang dialami, bahkan Libya
terjebak ke dalam kekacauan tanpa akhir.
Buat
kebanyakan warga Libya, revolusi itu hanya menghasilkan kerusuhan dan aksi
teror. Kebanyakan orang Libya menyesalkan penggulingan Muammar Gaddafi, bukan
karena mereka mencintai nya, tetapi karena pilihannya ternyata tak sesuai
harapan.
Kekacauan
dan kondisi tidak-aman menggantikan keamanan enam tahun lalu. Apa yang lebih
buruk ialah korupsi di seluruh Libya.
“Ketika kami
berdemonstrasi menentang rezim, kami memimpikan kebebasan dan menikmati
kekayaan kami. Namun, kami sekarang dikelilingi oleh penjahat dan gembong
perang. Bukannya menikmati kekayaan minyak kami, kemiskinan telah meningkat dan
warga tak berdaya,” kata Jalal Fituri, seorang pengajar di universitas Libya.
Ibtisam
Naili, seorang perawat di Tripoli, mengatakan wanita tersebut percaya ada
persekongkolan internasional dalam revolusi itu.
“Mereka yang
berdemonstrasi menentang rezim Gaddafi pada 2011 dibodohi oleh politisi Libya
di luar negeri yang sangat menginginkan kekuasaan. Mereka mengambil-alih
kekuasaan dengan mencuci otak pemuda Libya,” kata perawat tersebut, sebagaimana
dikutip Xinhua. Naili mengatakan Libya telah terpecah akibat konflik di seluruh
negeri tersebut.
“Barat dan
timur terpisah dan hasilnya tiga pemerintah yang bertikai yang mengakui
keabsahan dan dua parlemen di timur dan barat, keduanya mengaku ‘mereka
mewakili rakyat Libya’,” kata Naili.
Demonstrasi
guna menentang rezim Gaddafi meletus pada 17 Februari 2011 di Kota Benghazi,
Libya Timur, dan dengan cepat menyebar ke kota lain. Beberapa pekan kemudian,
demonstrasi damai itu berubah menjadi konflik bersenjata antara gerilyawan
Libya dan pasukan Gaddafi.
Pada Oktober
2011, gerilyawan menangkap dan membunuh Gaddafi di kota kelahirannya, Sirte,
dan menggulingkan rezimnya yang telah
berkuasa selama 42 tahun.
“Kami turun
ke jalan dengan spontan. Kami bersatu sekalipun kami tidak saling mengenal.
Kami memiliki harapan tinggi dan setiap orang memimpinkan Libya baru yang
stabil dan makmur. Tapi sayangnya, tidak semua keinginan dapat terwujud,” kata
Mohamed An-Ne’mi, seorang gerilyawan dari Tripoli.
Tapi lelaki
tersebut tidak kehilangan harapan buat negerinya. “Kami akan bersabar dan kami
memiliki keyakinan pada tujuan kami meskipun kekacauan melanda negeri kami.
Kami tetap optimistis mengenai masa depan kami,” katanya.
Najwa
Al-Hami, seorang pegiat hak asasi manusia, mengatakan kepada Xinhua bahwa apa
yang terjadi di Libya bukan lah revolusi. “Mana mungkin ini revolusi rakyat
sedangkan tiga-perempat rakyat mendukung Gaddafi?” demikian pertanyaan Najwa
Al-Hami.
“Apakah
protes oleh ratusan orang di setiap kota adalah revolusi? Saya percaya dinas
intelijen Barat berada di belakangnya untuk mengubah rejim Gaddafi melalui
kekerasan,” katanya.
“Revolusi
milik setiap politikus yang memiliki dwi-kewarganegaraan dan memiliki rekening
bank di luar negeri. Mereka sangat ingin merayakan peringatan sebab itu lah
alasan mengapa mereka berada pada posisi ini,” katanya.
0 comments:
Post a Comment