Wednesday 8 February 2017

Dengan Berbagai Keterbatasan, Bagaimana Nurtanio Merintis Industri Penerbangan Tanah Air?


“Sudah! Kita tidak usah ikut ribut-ribut. Kita bekerja saja!” Demikian ucap Marsekal  Pertama TNI Nurtanio Pringgoadisuryo memberi pengarahan kepada staf-stafnya dalam salah satu rapat rutin pada bulan-bulan awal tahun 1965. Waktu itu, suasananya hiruk-pikuk pernyataan politik dalam iklim politik yang sudah mulai panas.

Ada unsur menentang arus dalam pernyataannya. Sekali pun bagi Nurtanio tak ada pilihan lain. Ia sibuk dengan proyek Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) yang didirikan dengan modal beberapa mesin tua sebelum Perang Dunia II.

Sibuk dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Ia juga masih disibukkan oleh tugas-tugas di Dewan Penerbangan Republik Indonesia (Depanri) dan Komando Pelaksana Pembangunan Industri Penerbangan (Kopelapip).

Ada lagi kesibukannya, dengan beban tugas beberapa kelompok kerja di Markas Besar TNI AU. Oh ya, ia juga menjadi anggota Dewan Perancang Pembangunan Nasional (Depernas).

Tubuhnya tidak setinggi cita-citanya. Pendiam, tapi orang akan segera tertarik melihat penampilannya: di leher bajunya terpasang lambang korp teknik pesawat terbang tapi di dadanya ada wing penerbang. Itulah Nurtanio Pringgoadisuryo.

Ketika ia dilahirkan di Kandangan (Kalimantan) pada 3 Desember 1923, Nugroho Pringgoadisuryo yang asal Semarang mengharapkan putra ketiga dari 12 bersaudara ini bekerja di bidang pertanian.

“Nurtanio,” kata Nugroho, dalam bahasa Jawa berarti “Nur, bertanilah”. Namun minat anak ini berkembang ke arah lain. Tidak ada perhaitannya ke pertanian.

Setelah menyelesaikan Europeesch Lagere School (ELS) di Semarang, Nurtanio diarahkan ke MULO. Lepas MULO diusahakan memasuki pendidikan MOSVIA untuk menjadi pamongpraja. Diterima! Namun Nurtanio menolak karena tidak sesuai dengan harapannya.

Ia melanjutkan ke AMS. Di sini pula mulai kelihatan minatnya yang lebih cenderung ke seluk-beluk teknik, seperti ayahnya yang pejabat Dinas Pekerjaan Umum. Lebih khusus lagi, ia tertarik ke teknik penerbangan.

Keluarga Nugroho rupanya sudah menanamkan minat baca sejak dini dan menyediakan beragam bacaan untuk anak-anaknya. Tertarik pada bidang penerbangan, Nurtanio remaja yang bertubuh kurus dan sakit-sakitan sering menenggelamkan diri di tengah kesibukannya membuat pesawat-pesawat model di kamarnya.

Seluruh waktu liburnya dihabiskannya untuk merancang dan membuat pesawat model. Pada waktu itu pula, Nurtanio sudah berkorespondensi dengan Wiweko Supono, seorang mahasiswa THS (ITB sekarang) yang punya minat dan kegemaran serupa.

Cuma mendorong pesawat

Dalam masa pendudukan Jepang, Nurtanio mendengar Jepang membuka sekolah untuk pemuda-pemuda Indonesia dididik di bidang penerbangan. Ia segera berangkat ke Surabaya dan mendaftarkan diri. Namun setelah beberapa bulan, ia dan kawan-kawannya merasa tertipu.

“Kami cuma disuruh  mendorong dan membersihkan pesawat terbang. Tidak lebih dari itu,” katanya.

Nurtanio pun meninggalkan “sekolah itu” dan melarikan diri dari asrama. Beberapa lama ia harus menyembunyikan diri di rumah orangtuanya di Semarang. Agar lebih aman, ia pindah ke rumah salah seorang keluarganya di Yogyakarta.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Nurtanio bergabung ke Bagian Rencana dan Konstruksi Kementerian Pertahanan, yang lantas dilantik menjadi anggota TKR bagian penerbangan. Di Bagian Rencana dan Konstruksi itu pula ia bertemu dengan Wiweko, yang meninggalkan Bandung setelah ditugaskan mencari S. Suryadarma ke Sukabumi.

Tahun 1946, Bagian Rencana dan Konstruksi dipindahkan ke Pangkalan Udara Maospati (Lanud Iswahyudi sekarang). Di sanalah Nurtanio dan Wiweko mencurahkan pikiran, tenaga, dan angan-angan untuk membangun penerbangan nasional.

Bersama pemuda-pemuda yang pernah bekerja di bengkel ML di Andir (Lanud Husein Sastranegara sekarang), dibangunlah bengkel pembuatan pesawat di kawasan Magetan.

Dalam keadaan blokade Belanda waktu itu, mereka hanya mampu membuat pesawat layang jenis Zoglin. Pesawat layang ini terbuat dari kayu yang mereka tebang sendiri di hutan, kain belacu untuk sayap, dan tidak jarang terpaksa mengambil kawat jemuran orang.

Betapa pun sederhananya, pesawat layang yang dikenal dengan sebutan NWG (Nurtanio-Wiweko-Glider) itulah yang digunakan untuk menyebarkan minat dirgantara di tengah-tengah pemuda Indonesia di ibukota RI Yogyakarta.

Bahkan pesawat sederhana itu pula yang digunakan untuk seleksi calon-calon kadet penerbang TNI AU sebelum diberangkatkan belajar ke luar negeri (India).


Keberhasilan tersebut mendorong Kepala Staf  TNI AD pada tahun 1946 mengusulkan pembentukan Komisi Penerbangan. Tujuannya, menetapkan kemauan politik mengembangkan penerbangan sipil. Selain itu, ia juga mendorong Kepala Staf TNI AU untuk merencanakan pendirian “perusahaan pesawat terbang nasional”.

Sebagai upaya untuk mencapai cita-cita itu, Nurtanio ditugaskan belajar di Filipina (FEATI-Far Eastern Aero Technical Institute). Dengan menerobos blokade Belanda, ia diterbangkan ke Manila dan dari FEATI Nurtanio mendapat gelar Bachelor in Aeronautical Science.

Semangat tetap menyala

Kesulitan bahan dan peralatan karena blokade Belanda yang ketat tidak memadamkan semangat Wiweko dan kawan-kawannya di gudang kapuk. Mereka tetap pada cita-cita merancang dan membuat sendiri pesawat bermotor. Tidak ada mesin pesawat terbang, mereka gunakan mesin sepeda motor Harley Davidson.

Dibuatlah pesawat jenis olahraga WEL (Wiweko-Experimental-Light)-1 yang juga dikenal sebagai RI-X. Semua komponennya, sampai pada mur, buatan sendiri. Ketika diuji coba, RI-X ini sempat terbang, walaupun hanya sampai ketinggian 3 m. Sayang pesawat itu dirusak tangan-tangan jahil saat pengangkutan.

Untuk mewujudkan rencana pembangunan industri penerbangan nasional dan maskapai penerbangan, sebagaimana dicita-citakan semula, Opsir Udara II Wiweko dalam revolusi fisik itu juga dikirim belajar ke luar negeri (Amerika Serikat). Namun karena waktu itu Yogyakarta diserang Belanda, Wiweko “tersangkut” di Burma (Myanmar sekarang) dan mendirikan Indonesia Airways.

Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan Belanda menyerahkan pangkalan udara Andir kepada TNI AU, TNI AU menunjuk Wiweko untuk memimpin Depot Perawatan Teknik di Andir. Tidak lama setelah itu, pimpinan Depot diserahterimakan dari Komodor Muda Udara (Kol) Wiweko kepada Mayor Udara Nurtanio, yang telah kembali dari Filipina.

Nurtanio mengumpulkan kembali kawan-kawannya dari gudang kapuk Magetan dan mendirikan Seksi Percobaan. Dengan semangat perjuangan 1945 dan mesin-mesin tua pembelian Belanda sebelum Perang Dunia II, mereka merancang dan membuat pesawat anti-gerilya Sikumban.

Pesawat all metal pertama dan pesawat tempur pertama buatan Bangsa Indonesia ini berhasil diterbangkan pada 1 Agustus 1954. Kepercayaan diri yang ditimbulkan oleh Sikumbang pun mendorong lahirnya pesawat-pesawat lain: Kunang-kunang dan Belalang.


Dengan dorongan Depernas, didirikanlah Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip), yang diresmikan tahun 1961. Lapip kemudian mengadakan kerjasama dengan Polandia untuk mendirikan pabrik pesawat terbang di Indonesia.

Pendiriannya terbagi dalam tiga langkah: pendidikan personel dan persiapan material, percobaan produksi dalam jumlah terbatas (membangun pabrik) , serta menyempurnakan produksi dalam jumlah banyak (1966-1968). Mengapa Polandia? Karena hanya negeri ini yang bersedia memberikan kredit.

Sesuai dengan keadaan waktu itu, untuk diproduksi di Indonesia, Nurtanio memilih pesawat Wilga yang di Indonesia diganti namanya menjadi Gelatik. Di samping itu, ia menyiapkan juga kemungkinan-kemungkinan produksi Otter. Sementara untuk Kopelapip, Nurtanio menyiapkan produksi Fokker F-27.

Menyiapkan tenaga personel

Salah satu tugas berat Nurtanio pastilah menyiapkan personel yang diperlukan. Ia tahu  betapa sulitnya mempertemukan mereka yang berlatar belakang pengalaman dan mereka  yang digodok pendidikan.

Lapip merekrut lulusan STM untuk menjadi foreman, lulusan ST untuk menjadi workman, dan sejumlah guru STM.  Instruktur didatangkan dari Polandia. Tiap memberi instruksi, mereka didampingi guru STM. Pada waktunya, eks guru STM inilah yang menggantikan instruktur-instruktur Polandia dalam pendidikan angkatan-angkatan berikutnya.

Anak-anak “Nurtanio” itu beserta seluruh fasilitasnya, kemudian diserap oleh IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara, sekarang PT Dirgantara Indonesia) dan menjadi tenaga inti di bengkel-bengkel pabrik yang memroduksi CN-235. Banyak juga dari mereka yang semula  dididik untuk Kopelapip kemudian ditampung oleh TNI AU dan perusahaan-perusahaan penerbangan swasta. Ini jasa lain dari Nurtanio.

Keliling dunia dengan pesawat buatan Bangsa Indonesia . Itulah salah satu keinginan Nurtanio. Untuk itulah, Lapip merancang sebuah pesawat terbang dengan dasar Super Aero buatan Cekoslovakia, yang sudah bobrok dan terbuang di Bandara Kemayoran.

“Jangan bilang-bilang orang-orang dahulu,” kata Nurtanio kepada salah seorang stafnya.

“Pesawat ini nanti akan diberi nama Arev (Api Revolusi) dan dipakai untuk terbang keliling dunia. Penerbangnya saya dan Bob (Budiarto Iskak),” tambahnya. Namun ketika tanggal 21 Maret 1966 ia untuk kesekian kalinya menguji-coba Arev, pesawat ini terbakar di udara dan jatuh di kota Bandung. Nurtanio gugur.

Beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini, tiba-tiba saja Nurtanio punya pikiran yang disampaikan kepada stafnya: “Bagaimana kalau sekali-sekali kita mengadakan piknik dengan seluruh karyawan dan keluarganya. Semuanya bawa makanan masing-masing untuk kita makan bertsama-sama.”

Piknik bersama itu berlangsung sehari sebelum kecelakaan, sehingga seperti pamitan antara bapak dengan anak-anaknya. Suasana ini berminggu-minggu jadi tekanan berat kepada anak-anak buahnya.

Mereka mengenal Nurtanio sebagai orang yang “lurus”, besar perhatiannya kepada anak buah dan selalu mendorong mereka untuk terus belajar. Ia juga jujur; memeriksa dengan teliti pekerjaan pemborong dan tidak segan-segan memerintahkan untuk membongkar dan memperbaikinya, serta rajin mengembalikan hadiah rekanan.

Nurtanio adalah orang berpangkat yang rajin melayani pemuda-pemuda yang meminta penjelasan, sampai melayani surat-surat BJ Habibie muda, yang ketika itu belajar di Jerman. Orang penerbangan, yang uniknya, masih memikirkan bagaimana memanfaatkan penerbangan untuk pertanian.


Setelah gugur, Nurtanio meninggalkan seorang istri dengan dua putra dan seorang putri, pangkatnya dinaikkan setingkat menjadi Marsekal Muda.

0 comments:

Post a Comment