Friday, 3 February 2017

Gatot Wilotikto: Kisah WNI Pertama Yang Ke Korut, Habiskan Waktu 51 Tahun 'Terjebak' Tanpa Status Kewarganegaraan


Pada 1960, Gatot dan Waluyo adalah dua pemuda Indonesia yang beruntung karena mendapat kesempatan belajar ke Korea Utara selama enam tahun.
"Ada undangan dari sana, mereka menerima dua mahasiswa. Maksud utama selain belajar, memang untuk menggalang hubungan persahabatan dua negara ini," katanya mengawali kisah.
Keberadaan Gatot dan Waluyo menjadi istimewa karena mereka adalah "dua WNI pertama yang tinggal di Pyong Yang." Pembukaan kantor setingkat Konsulat Jendral di Pyong Yang baru dilakukan pada 1961.

Bung Karno siapa yang punya?


Gatot saat menyambut kedatangan Bung Karno
Selain belajar ilmu kelistrikan, Gatot juga sering diminta bantuan di konsulat jenderal. Salah satunya untuk menyambut Presiden Soekarno ketika berkunjung ke Pyongyang pertama kali pada 1-4 November 1964.
"Staf konsulat jenderal saat itu cuma tiga orang saja, tapi harus menerima delegasi Bung Karno yang isinya 70 orang. Sehingga kita kewalahan, kita pinjam mahasiswa di Peking empat," ceritanya.
Hal yang paling istimewa dalam kunjungan itu adalah gelaran rapat umum, kata Gatot yang kini menikah dengan warga Korea Utara.
"Itu yang bikin lagu-lagu Indonesia terkenal di Korea. Sebelumnya Bengawan Solo sudah agak dikenal, Rayuan Pulau Kelapa sudah, lalu waktu kunjungan Bung Karno, ada lagu wajib untuk menyambut dengan lagu Bung Karno siapa yang punya."
"Itu wajib semua penyambut harus dari kecil sampai dewasa. Sampai sekarang masih ingat, itu nyonya (menunjuk istrinya) juga diajarkan, waktu itu dia masih SMP."
Pada 1965 Kim Il Sung didampingi putranya memberi kunjungan balasan ke Jakarta. Kunjungan istimewa, karena Kim Il Sung tak pernah membawa anaknya dalam lawatan resmi.
"Hubungan baik sekali kan?" kata Gatot.

Paspor yang dicabut


Paspor Gatot yang "dihitamkan"
Hubungan baik itu kemudian runtuh ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi dan orang-orang yang dituduh komunis dibantai di Indonesia.
"Kami terkejut, orang Korea apa lagi, terkejut sekali, karena hubungan itu diharapkan begitu dekat," kata Gatot yang kala itu mendengar berita dari radio ABC berbahasa Inggris, sebuah fasilitas yang khusus diberikan bagi orang asing.
"Seminggu sebelum kejadian itu, Chairul Saleh (salah satu menteri di Kabinet Dwikora I) ke Pyong Yang, dan tidak ada informasi soal ketegangan. Kita masih genjer-genjeran, terus terang, masih genjer-genjeran dengan Chairul Saleh."
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Gatot dan enam pelajar Indonesia lainnya di Pyongyang, selain menunggu kabar dari kedutaan.
Barulah pada 1966, tim penelitian khusus (dikenal dengan istilah litsus atau screening) datang mendata para pelajar di Peking dan Pyongyang.
Saat itu, mereka menolak mengikuti litsus, paspornya dicabut sehingga status mereka stateless atau tanpa kewarganegaraan.
"Saya dengar dari dubes (Korea Utara), menantu beliau yang studi di Tokyo, pulang dan ditangkap. Beliau sebetulnya mengajak juga saya pulang. Tapi saya balik apa bapak bisa bertanggung jawab?"
"Lah bagaimana saya bisa bertanggung jawab, mantu saya saja ditangkap," kata Gatot menirukan sang dubes.

"Only for you"


"Fasilitas orang asing berbeda. Gaji saya dibandingkan gaji menteri mereka, tinggi gaji saya. Fasilitas lebih enak di sana, walau sudah pensiun," kata Gatot. Inilah berbagai hadiah dari Korea Utara saat Gatot merayakan ulang tahun ke 60
Menetap di Korea Utara, Gatot lalu bekerja menjadi peneliti di universitas, menikah dan memiliki tiga anak. Kehidupan di sana, menurutnya "biasa" dan "tidak ada yang menyenangkan, karena tergantung kepada sutradaranya."
"Manis dilihat tapi mungkin pahit di rasa," katanya menyimpulkan.
Sehari-hari, kegiatan warga Korea Utara relatif tenang, tidak ada kecelakaan, pembunuhan, pencopetan, dan tidak ada pengemis.
Sampai pada 1970, perekonomian Korea Utara menurut Gatot lebih makmur dibandingkan Korea Selatan. Pasalnya, semua kebutuhan warga Utara sudah dipenuhi, termasuk sandang pangan, pendidikan hingga perguruan tinggi, dan buku-buku disediakan tanpa bayar.
Orang-orang Utara menggunakan seragam untuk bekerja dan sekolah, tetapi untuk sehari-hari mereka bebas menjahit sendiri bajunya. Hanya saja, mereka harus selalu memakai pin bergambar foto pemimpin di bagian dada.
"Bagaimana kalau lupa pakai Pak?"
"Wah, jarang orang lupa pakai!" jawabnya sambil tertawa.
Lalu bagaimana akses informasi? Bagi warga Utara, aksesnya sangat terbatas karena sumber-sumbernya hanya berasal dari pemerintah.
Akses informasi yang tertutup ini, menurut Gatot, wajar karena di sana ada pemikiran bahwa, "kalau jendela dibuka lalat saja bisa masuk, apalagi kalau pintu dibuka?"
Untungnya Gatot diperlakukan sebagai orang asing sehingga bisa mengakses sejumlah berita.
"Saya karena ada hubungan dekat dengan kedutaan Cina, saya dapat buletin yang kalau diterjemahkan judulnya only for you. Isinya berita-berita yang terbatas yang tidak bisa dibaca orang Cina yang umum. Dari Korea, ada juga semacam majalah, cuma pejabat tertentu yang boleh, mahasiswa tidak boleh."
"Tapi, saya diberi, dan diwanti-wanti jangan sampai dibaca mahasiswa Korea. Jadi habis dibaca saya selalu simpan."

Surat terakhir

Berpuluh-puluh tahun tinggal di Korea Utara dengan fasilitas warga asing (yang lebih baik dibandingkan warga biasa) tidak membuat Gatot nyaman. Kerinduan untuk pulang selalu ada dan berbagai kemungkinan dijajaki untuk kembali ke Indonesia.
"Selama 40 tahun saya dan keluarga di Indonesia tidak ada komunikasi. Surat terakhir mereka saya terima pada 1965, setelah itu tidak ada lagi walau saya mencoba mengirim surat."
Barulah ketika masa pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pintu kembali pulang terbuka. Kewarganegaraan Gatot diputihkan dan dia berhasil pulang pada tahun 2000.
Di situlah dia menemukan bahwa ayah dan ibunya telah meninggal dunia. Dia berhasil bertemu dengan saudara dan kerabat-kerabatnya, namun hubungan mereka tak dekat karena terlalu lama tak menjalin kontak.
Setelah diputihkan pada 1998, Gatot berusaha mengeluarkan istri dan ketiga anaknya dari Korea Utara -untuk mencari masa depan yang lebih baik. Satu-satu, mereka diupayakan untuk menjadi warga negara Indonesia. Upaya bertahun-tahun yang tidak mudah dan membutuhkan kesabaran karena kesulitan birokrasi.
"Saya pribadi, menghabiskan masa tua lebih enak di sana karena biaya hidup di sana lebih murah, tetapi saya memikirkan masa depan anak-anak. Kita tahu sendiri, Korea Utara negara tertutup dan masa depan di sana tidak menentu."
Situasi Gatot memang lebih sulit dibandingkan eksil-eksil lain yang tinggal di Eropa, misalnya. Meninggalkan Korea Utara dan pindah menjadi WNI adalah keputusan sekali jalan, tanpa bisa kembali lagi.
Namun apakah keputusan kembali ke Indonesia adalah jalan yang tepat? Hingga hari ini, Gatot masih belum menemukan jawabannya.

0 comments:

Post a Comment