Di antara
bapak bangsa yang karangan-karangannya mungkin sering kita baca sejak SMA dahulu adalah
Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Muhamad Natsir dan Tan Malaka.
Dari semua
itu kira-kira karangan siapa yang paling sering anda baca?. Salah satu karangan buku yang mungkin harus anda baca adalah buku-buku dan pemikiran Muhammad Hatta.
Alasannya karena bahasa dari karangan-karangan Hatta memang bagus dan enak
dibaca. Ia tidak berapi-api seperti Sukarno.
Selain itu dari karangan beliau pula
jejak sejarah sosial ekonomi Indonesia lebih banyak dipaparkan oleh Hatta. Ia
tahu banyak tentang kebudayaan Indonesia. Salah satu karangannya yang menarik
bagi saya ialah pidatonya dalam Kongres Kebudayaan II di Bandung pada tahun
1951.
Di situ ia
menyadarkan kita apa yang dilakukan kolonial terhadap kebudayaan Indonesia,
yang kelak dijadikan dasar kebijakan pemerintah Indonesia sesudah berakhirnya
Dwitunggal Sukarno Hatta.
Menurut
Hatta, kota-kota di Indonesia yang dibangun kolonial dirancang sebagai pusat
perdagangan barang kelontongan dan pusat pemerintahan kolonial. Kebudayaan
tidak diberi tempat dengan sebaik-baiknya.
Maka, tidak
heran apabila kota seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang lebih banyak dipenuhi
toko dan warung makan (sekarang mall, supermarket, hotel mewah, dan lain-lain).
Ada pun perpustakaan umum, pusat kegiatan seni, dan lain-lain hampir sulit
ditemukan.
Sampai
pertengahan abad ke-19 M jumlah penduduk pribumi di kota-kota besar itu tidak
banyak. Pada masa kolonial penduduk pribumi tidak dianggap sebagai subyek
pembangunan, melainkan obyek semata. Mereka juga lebih banyak bekerja di sektor
non-formal dan kedudukannya rendah sekali.
Menurut
Hatta, berbeda sekali dengan kota-kota yang dibangun pada zaman kerajaan Hindu dan
Islam. Kota-kota yang dibangun sultan-sultan Melayu dan Jawa bukan hanya
dimaksudkan sebagai pusat pemerintahan perdagangan, tetapi juga sebagai pusat
kebudayaan.
Istana besar
kontrbusinya terhadap perkembangan kebudayaan dan seni. Mereka melindungi kegiatan
penulisan kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.
Maka
kota-kota yang dahulu dibangun sebagai ibukota kesultanan seperti Kutaraja
(Banda Aceh), Banjarmasin, Palembang, Riau Penyengat, Surakarta, Yogyakarta,
Gowa dan lain-lain tumbuh sebagai pusat kegiatan intelektual dalam arti
sebenarnya. Di sana
lahir tokoh besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin
al-Raniri, Abdul Rauf al-Sinkili, Yusuf al-Makassari, Arsyad al-Banjari, Abdul
Samad al-Palimbangi, Nawawi al-Bantani, Raja Ali Haji, Yasadipura I dan II,
Ranggawarsita dan lain sebagainya.
Dan di sana
pula bahasa Melayu dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan zaman-zaman
sebelumnya di mana pusat-pusat kerajaan melahirkan pujangga besar seperti Mpu
Kanwa, Mpu Panuluh, Mpu Sedah, Mpu Tanakung, Mpu Tantular, Mpu Prapanca, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunungjati, dan lain sebagainya.
Satu hal
lagi yang harus kita ingat dari perkataan Bung Hatta ialah tentang sejarah hubungan
bangsa Nusantara dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya seperti India, China,
Arab, Turki dan Persia.
Kebijakan
pemerintah kolonial, menurut Hatta, berusaha menghapuskan sejarah bahwa bangsa
Nusantara mempunyai hubungan erat dengan bangsa-bangsa yang di negeri-negeri
yang telah disebutkan. Hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa India, China,
Arab, Turki dan Persia berlaku tidak hanya dalam hubungan ekonomi dan politik,
melainkan lebih mendalam. Yaitu hubungan agama, kebudayaan dan spiritualitas. Semua itu
hendak diputuskan oleh Belanda dengan harapan Indonesia merasa lebih dekat
dengan Eropa dibanding dengan Arab, India, Persia, Turki dan China.
Belanda
merancang agar dalam pikiran kaum terpelajar kita tumbuh gambaran bahwa yang
paling berjasa atas kemajuan bangsa Indonesia adalah Eropa/Belanda. Pikiran
semacam itu mengendap jauh di lubuk bawah sadar kaum terlejar di Indonesia
sampai sekarang.
Keinginan
pemerintah kolonial Belanda untuk memutuskan hubungan historis bangsa Indonesia
dengan bangsa-bangsa Timur serta kebudayaannya dilaksanakan melalui politik
pengkotak-kotaan.
Orang Arab,
Tionghoa, India dan lain-lain diberi kedudukan sebagai Orang Asing Timur.
Mereka diberi perlakuan istiewa oleh pemerintah kolonial.
Dengan
demikian perlahan-lahan orang asing dari timur itu terpisah dari orang
Indonesia selebihnya. Masing-masing merasa menjadi orang asing terhadap yang
lain.
Masihkah
kebijakan ini kita teruskan?
0 comments:
Post a Comment