Wednesday, 1 February 2017

Kebudayaan Kota Kolonial dan Pesan Hatta Soal Penghancuran Sejarah


Di antara bapak bangsa yang karangan-karangannya mungkin sering kita baca sejak SMA dahulu adalah Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Muhamad Natsir dan Tan Malaka.

Dari semua itu kira-kira karangan siapa yang paling sering anda baca?. Salah satu karangan buku yang mungkin harus anda baca adalah buku-buku dan pemikiran Muhammad Hatta. Alasannya karena bahasa dari karangan-karangan Hatta memang bagus dan enak dibaca. Ia tidak berapi-api seperti Sukarno.

Selain itu dari karangan beliau pula jejak sejarah sosial ekonomi Indonesia lebih banyak dipaparkan oleh Hatta. Ia tahu banyak tentang kebudayaan Indonesia. Salah satu karangannya yang menarik bagi saya ialah pidatonya dalam Kongres Kebudayaan II di Bandung pada tahun 1951.

Di situ ia menyadarkan kita apa yang dilakukan kolonial terhadap kebudayaan Indonesia, yang kelak dijadikan dasar kebijakan pemerintah Indonesia sesudah berakhirnya Dwitunggal Sukarno Hatta.

Menurut Hatta, kota-kota di Indonesia yang dibangun kolonial dirancang sebagai pusat perdagangan barang kelontongan dan pusat pemerintahan kolonial. Kebudayaan tidak diberi tempat dengan sebaik-baiknya.

Maka, tidak heran apabila kota seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang lebih banyak dipenuhi toko dan warung makan (sekarang mall, supermarket, hotel mewah, dan lain-lain). Ada pun perpustakaan umum, pusat kegiatan seni, dan lain-lain hampir sulit ditemukan.

Sampai pertengahan abad ke-19 M jumlah penduduk pribumi di kota-kota besar itu tidak banyak. Pada masa kolonial penduduk pribumi tidak dianggap sebagai subyek pembangunan, melainkan obyek semata. Mereka juga lebih banyak bekerja di sektor non-formal dan kedudukannya rendah sekali.

Menurut Hatta, berbeda sekali dengan kota-kota yang dibangun pada zaman kerajaan Hindu dan Islam. Kota-kota yang dibangun sultan-sultan Melayu dan Jawa bukan hanya dimaksudkan sebagai pusat pemerintahan perdagangan, tetapi juga sebagai pusat kebudayaan.

Istana besar kontrbusinya terhadap perkembangan kebudayaan dan seni. Mereka melindungi kegiatan penulisan kitab keagamaan, keilmuan dan sastra.

Maka kota-kota yang dahulu dibangun sebagai ibukota kesultanan seperti Kutaraja (Banda Aceh), Banjarmasin, Palembang, Riau Penyengat, Surakarta, Yogyakarta, Gowa dan lain-lain tumbuh sebagai pusat kegiatan intelektual dalam arti sebenarnya. Di sana lahir tokoh besar seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf al-Sinkili, Yusuf al-Makassari, Arsyad al-Banjari, Abdul Samad al-Palimbangi, Nawawi al-Bantani, Raja Ali Haji, Yasadipura I dan II, Ranggawarsita dan lain sebagainya.

Dan di sana pula bahasa Melayu dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya di mana pusat-pusat kerajaan melahirkan pujangga besar seperti Mpu Kanwa, Mpu Panuluh, Mpu Sedah, Mpu Tanakung, Mpu Tantular, Mpu Prapanca, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunungjati, dan lain sebagainya.

Satu hal lagi yang harus kita ingat dari perkataan Bung Hatta ialah tentang sejarah hubungan bangsa Nusantara dengan bangsa-bangsa lain di sekitarnya seperti India, China, Arab, Turki dan Persia.

Kebijakan pemerintah kolonial, menurut Hatta, berusaha menghapuskan sejarah bahwa bangsa Nusantara mempunyai hubungan erat dengan bangsa-bangsa yang di negeri-negeri yang telah disebutkan. Hubungan bangsa Indonesia dengan bangsa India, China, Arab, Turki dan Persia berlaku tidak hanya dalam hubungan ekonomi dan politik, melainkan lebih mendalam. Yaitu hubungan agama, kebudayaan dan spiritualitas. Semua itu hendak diputuskan oleh Belanda dengan harapan Indonesia merasa lebih dekat dengan Eropa dibanding dengan Arab, India, Persia, Turki dan China.

Belanda merancang agar dalam pikiran kaum terpelajar kita tumbuh gambaran bahwa yang paling berjasa atas kemajuan bangsa Indonesia adalah Eropa/Belanda. Pikiran semacam itu mengendap jauh di lubuk bawah sadar kaum terlejar di Indonesia sampai sekarang.

Keinginan pemerintah kolonial Belanda untuk memutuskan hubungan historis bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa Timur serta kebudayaannya dilaksanakan melalui politik pengkotak-kotaan.

Orang Arab, Tionghoa, India dan lain-lain diberi kedudukan sebagai Orang Asing Timur. Mereka diberi perlakuan istiewa oleh pemerintah kolonial.

Dengan demikian perlahan-lahan orang asing dari timur itu terpisah dari orang Indonesia selebihnya. Masing-masing merasa menjadi orang asing terhadap yang lain.

Masihkah kebijakan ini kita teruskan?

0 comments:

Post a Comment