Saat AURI
dikenal sebagai Angkatan Udara terkuat di belahan bumi Selatan pada dekade
1960-an, prestasi tersebut tak bisa dilepaskan dari jasa pesawat latih lanjut.
Pesawat
latih lanjut di masa itu berjasa mengantarkan kadet-kadet penerbang menjalani
transisi menjadi pilot pesawat buru sergap, seperti MiG-17, MiG-19, dan MiG-21.
Pesawat-pesawat tersebut pada saat itu hanya dimiliki segelintir negara.
Pada dekade
1950-an, AURI menyandarkan pendidikan lanjutan para kadet penerbangnya pada
pesawat baling-baling AT-6 Harvard, yang jumlahnya lebih dari 60 unit. Namun
seiring masuknya AURI ke era pancar gas (mesin jet) dan kedekatannya dengan
Blok Timur, maka Harvard pun dianggap tidak lagi memadai.
Oleh karena
itu, AURI pun membeli 30 unit MiG-15 UTI berkursi ganda yang mulai datang pada
tahun 1957-1958. Namun, karir MiG-15 UTI tidaklah mulus. Problem suku cadang
dan mesin yang rewel membuat pesawat jet latih ini mangkrak.
AURI pun
buru-buru mencari kandidat baru untuk pesawat latih lanjutnya pada bulan
Januari 1964. Tim dibentuk di bawah pimpinan Komodor Udara Budiardjo, Deputi
Logistik AURI atau yang sekarang menjadi Koharmatau.
Sasaran yang
dituju adalah Cekoslovakia. Saat itu Cekoslovakia memiliki pesawat latih baru
L-29 Delfin (lumba-lumba) buatan Aero Vodochody. NATO memberinya kode Maya. Di
dunia saat itu baru AU Suriah yang memakainya.
Komodor
Budiardjo dan timnya tiba di Praha, Cekoslovakia pada bulan Juni 1964 untuk
menginspeksi L-29 di pabriknya. Kontingen TNI AU tersebut dibuat kagum dengan
L-29.
L-29 dari
awal memang didesain sebagai pesawat latih, handling pesawat dibuat mudah untuk
dikendalikan. Bidang pandang dari kokpit juga sangat jelas dan tak terhalang
karena penggunaan desain kaca gelembung, termasuk pada kanopi depan.
Pada saat
itu tidak banyak pesawat Blok Timur yang punya desain seperti itu. Satu lagi
nilai plusnya, L-29 juga sudah terpilih sebagai pesawat latih standar Blok
Timur, mengalahkan kandidat seperti Yak-30 dan Ts-11 Iskra.
Dalam
pengoperasiannya, L-29 Delfin juga dikenal bandel karena mampu lepas landas dan
mendarat langsung di lapangan rumput atau landasan tanah yang diperkeras.
Sistem
persenjataan yang dapat dipasang meliputi kanon dan roket untuk latihan weapon
delivery.
Pihak
pabrikan juga mengatakan bahwa L-29 dapat mengurangi jam terbang yang
dibutuhkan untuk menyiapkan pilot AURI. Hal ini sangat diidamkan karena pada
saat itu AURI mengalami kekurangan pilot yang sangat kronik karena datangnya
alutsista tidak imbang dengan produksi pilot dari sekolah penerbang.
Komodor
Budiardjo dan timnya sangat puas dengan pesawat itu dan L-29 pun dipesan.
Kedutaan Besar Indonesia di Cekoslovakia menangani urusan keuangan, termasuk
negosiasi harga.
Cekoslovakia
yang terhitung pelit dalam memberikan kredit untuk penjualan senjatanya justru
membuka tangannya lebar-lebar untuk Indonesia. Indonesia bahkan tercatat
sebagai debitur pertama untuk kredit ekspor dari Cekoslovakia.
Demi
Indonesia, produksi pun dikebut. Dua L-29 pertama sudah tiba di tanah air pada
awal tahun 1965, dengan beberapa penyesuaian untuk pengoperasian di wilayah
tropis.
Pesawat
latih lanjut ini menerima kelir berupa strip petir warna merah yang memanjang
di tubuhnya, beda dengan kelir Skadron Pendidikan TNI AU yang terpampang pada
L-29 Delfin yang dapat ditemui di museum Dirgantara Mandala Yogyakarta saat
ini.
Walaupun
perubahan politik kemudian membuat puluhan jet tempur yang dimiliki AURI
kehabisan suku cadang, nasib berbeda dialami oleh L-29 Delfin. Indonesia
membuat satu-satunya perkecualian dari kebijakan putus hubungan dengan Blok
Timur dengan tetap menjalin kontak dengan pabrikan Aero Vodochody.
AURI merasa,
walaupun jet tempur mereka mayoritas sudah habis, pendidikan tidak boleh
berhenti. Sampai tahun 1976 tim teknisi dari Cekoslovakia tercatat masih datang
untuk melakukan perawatan dan asistensi terhadap L-29.
L-29 Delfin
sendiri baru benar-benar pensiun dari TNI AU ketika pesawat latih lanjut
British Aerospace Hawk Mk.53 datang ke tanah air pada tahun 1980.
Setelah itu,
L-29 dinyatakan pensiun. Sebagian masih dipertahankan untuk kursus teknik,
sebagian dijadikan monumen, dan sebagian lagi ada yang dijual ke luar negeri
seperti Amerika Serikat dan Australia dan saat ini bahkan masih terbang di
kalangan pehobi aviasi.
0 comments:
Post a Comment