Pemerintah
Indonesia akan meningkatkan patroli di perairan sekitar Kepulauan Natuna untuk
mengusir kapal-kapal penangkap ikan China, langkah yang akan berisiko terhadap
hubungan ekonomi, namun pada akhirnya akan menguntungkan di masa depan, ujar
para analis.
Presiden
Joko Widodo mengatakan Oktober lalu, pemerintahannya tidak akan berkompromi
dengan klaim-klaim di sekitar Natuna, rangkaian 272 pulau kecil di barat laut
Kalimantan tempat kapal-kapal China melintas di perairan tak jauh darinya. Dia
mengunjungi kepulauan itu dalam latihan-latihan militer bulan September dan
Oktober.
Ada
keyakinan kuat di antara banyak pejabat Indonesia bahwa Indonesia bisa
menekankan haknya atas wilayah yang diklaim sebagai zone ekonomi eksklusif
sekitar natuna sekaligus membangun hubungan ekonomi kuat dengan China,” ujar
David McRae, peneliti senior di Asia Institute di University of Melbournedi
Australia.
Presiden
tahun lalu juga menyerukan kedua pihak untuk meningkatkan perdagangan dua arah
menjadi US$ 150 miliar pada 2020. China merupakan sumber impor teratas
Indonesia dan tujuan ekspor terbesar kedua untuk produk-produk seperti mineral
dan minyak kelapa sawit.
Namun
Kabinet Indonesia telah mengembangkan apa yang disebut para ahli sebagai
strategi berisiko rendah, dengan mempertahankan klaim zona ekonomi eksklusif
sepanjang 370 kilometer di perairan sekitar Natuna. China mengutip catatan
sejarah dan mengatakan kapal-kapalnya telah lama menangkap ikan di perairan
yang sama.
Rakyat
Indonesia, terutama nelayan, membenci penangkapan ikan secara ilegal, yang
telah menjadi masalah karena kurangnya penegakan hukum di seluruh negeri. Indonesia
sendiri seharusnya bisa memanen ikan dan gas alam dekat Natuna, ujar Presiden.
China
mengklaim 95 persen dari wilayah Laut China Selatan (LCS) yang seluas 3,5 juta
kilometer persegi, yang membentang dari Taiwan sampai Singapura dan mencakup
wilayah dekat Natuna. Klaim China
ini tumpang tindih dengan Malaysia, Brunei, Vietnam dan Filipina. Selama
empat tahun terakhir, Indonesia telah meningkatkan patroli terhadap kapal
penangkap ikan China, dan juga dari negara-negara lain, seperti Vietnam.
Sejumlah kapal telah ditahan dan diledakkan.
China belum
mengecam Indonesia atau mengancam melakukan pembalasan ekonomi seperti dengan
negara-negara lain, misalnya Jepang dan Filipina. “Pada saat ini, kedua negara
tampaknya bisa mengkotakkan insiden-insiden (di laut) untuk tidak mempengaruhi
hubungan ekonomi meskipun jelas berdampak pada kegelisahan mengenai peningkatan
agresivitas China,” ujar McRae.
China dan
Indonesia sama-sama membutuhkan, menurut para analis. Tahun lalu, Presiden Joko
Widodo dan Presiden China Xi Jinping menandatangani delapan kesepakatan yang
sebagian adalah pembangunan infrastruktur oleh China di Indonesia. Tahun ini di
Jakarta, para pejabat sepakat untuk bekerjasama di bidang energi, pertanian dan
konstruksi zona industri.
Saya kira
ada aksi penyeimbangan dari pemerintahan Jokowi, tapi hubungan Indonesia-China
penting bagi kedua negara dan cukup beragam sehingga jika pemerintahan Jokowi
memperlakukan insiden-insiden dan konfrontasi-konfrontasi ini dengan cukup
diplomasi, tidak akan ada gangguan aliran investasi dari China ke Indonesia,”
ujar Natalie Sambhi, pengamat isu keamanan dan peneliti di Perth USAsia Centre
di Australia.
Indonesia
merupakan komponen penting dari cara China melihat lanskap strategis di Asia
Pasifik, terutama sebagai salah satu negara utama di Asia Tenggara, dan bodoh
jika China tidak mempertahankan hubungan dengan Indonesia karena ingin memberlakukan
hal-hal seperti jalan sutera maritim dan inisiatif ‘one belt, one road’, ujar
Sambhi.
Indonesia,
eksportir komoditas ke pasar-pasar dunia sekaligus menjadi pasar domestik masif
berkat populasinya, tidak bergantung pada dukungan ekonomi China sebesar
negara-negara Asia lain. China merupakan mitra perdagangan paling signifikan, selain Jepang dengan nilai $125 miliar tahun 2014. Malaysia mengandalkan
China sebagai mitra perdagangan teratas dan sumber investasi asing langsung.
Indonesia
tidak sekhawatir itu dengan respon China karena kurang bergantung pada
investasi dan pembangunan infrastruktur oleh China dibandingkan dengan beberapa
negara yang lebih maju di Asia Tenggara,” ujar Carl Baker, direktur program
pada lembaga pemikiran Pacific Forum CSIS di Honolulu.
0 comments:
Post a Comment