Baru-baru
ini, F-35B Korps Marinir Amerika Serikat melakukan perjalanan panjang dari Arizona ke Jepang. Hal ini ternyata memicu perdebatan
di dalam Pentagon tentang seberapa sering pesawat tempur siluman ini perlu
mengisi bahan bakar.
Butuh waktu
tujuh hari bagi 10 F-35B Korps Marinir AS untuk terbang dari Yuma ke rumah
baru mereka di Iwakuni, Jepang. Padahal
penerbangan pesawat komersial
biasanya memakan waktu kurang dari 24 jam.
Banyak
faktor yang berkontribusi terhadap waktu yang dibutuhkan sebuah jet tempur untuk pergi dari titik A ke titik B: cuaca,
medan dan kelelahan pilot, beberapa factor di antaranya.
Hal lain
adalah model pengisian bahan bakar Angkatan Udara Amerika Serikat yang
konservatif hingga pesawat Korps Marinir
membutuhkan total 250 kali pengisian
bahan bakar. Angka yang menurut Marnir terlalu tinggi dan tidak efisien.
“Pesawat
telah mampu terbang lebih jauh dibandingkan F/A-18 dengan tangki drop, jadi
mengapa kita harus mengisi bahan bakar dengan begitu sering? Kami tidak perlu melakukan
itu,” kata Letnan Jenderal Jon Davis, Komandan Penerbangan Korps Marinir AS
sebagaimana ditulis Aviationweek Kamis 16 Februari 2017. “Kami melakukan
pengisian bahana bakar lebih banyak daripada yang kita butuhkan, mungkin dua
kali lipat (dari apa yang kita perlukan) Kita bisa jauh lebih efisien dari itu.”
Meski Davis
mengatakan model tanking untuk mengisi bahan bakar Joint Strike Fighter bisa
keluar dari aturan konservatif, tetapi tetap saja mereka terbentur dengan
aturan Angkatan Udara yang memiliki aturan jelas dalam pengisian di udara ini.
Juru bicara
Angkatan Udara Kolonel Chris Karns mengatakan jet tempur adalah pesawat yang haus bahan bakar, tak
terkecuali F-35. Selama perjalanan 18-25 Januari menyeberang ke Iwakuni,
sembilan pesawat tanker terbang dengan 10 F-35B, mentransfer total 766.000 lb
bahan bakar dengan lebih dari 250 refuelings udara, atau 25 per F-35
Korps
Marinir memang memiliki pesawat tanker tua KC-130, tetapi hanya tanker Angkatan Udara yang
mendukung penyeberangan laut.
Brig.
Jenderal Scott Pleus dari Angkatan Udara Amerika mengakui jet Korps Marinir
membutuhkan pengisian bahan bakar
berkali-kali selama menyeberang ke Iwakuni. Angkatan Udara menyiapkan
penyeberangan laut dengan asumsi skenario terburuk, sehingga jika pesawat
apapun tidak bisa mendapatkan bahan bakar pada waktu tertentu selama
perjalanan, apakah karena cuaca atau
kerusakan, seluruh pesawat memiliki
cukup bahan bakar untuk mendarat aman.
Pleus
mencontohkan, F-35B terbang dengan probe pengisian bahan bakar terbuka
selama perjalanan, yang secara
signifikan meningkatkan hambatan pada pesawat, untuk mensimulasikan skenario di
mana pesawat tidak mampu menarik kembali probe.
“Jadi ketika
kita merencanakan hal-hal ini kita mengambil scenario terburuk, kita mengambil
konfigurasi terburuk dari pesawat,” kata Pleus, mantan pilot F-16 yang sekarang
memimpin Kantor Integrasi F-35 Angkatan Udara. “Hal ini sangat konservatif, dan
alasan mengapa kami sangat konservatif karena itu keputusan hidup atau mati.”
Pengisian
bahan bakar di udara terus-terusan dilakukian ketika pesawat melintasi laut
dengan jeda 30 atau 40 menit. Pleus mengatakan F-35B, yang membawa bahan bakar
5.000 lb lebih sedikit dibandingkan F-35A Angkatan Udara hinga perlu untuk kontak dengan tanker lebih sering.
Pleus
membantah kritik Davis dengan menekankan
bahwa memperpanjang waktu antara refueling selama penyeberangan laut berarti
akan lebih banyak risiko untuk pilot.
Selama
skenario pertempuran, Angkatan Udara tentu akan memiliki hitungan yang berbeda.
Menurut pejabat Angkatan Udara, biasanya untuk misi selama 6 jam, pilot akan melakukan pengisian bahan
bakar dua atau tiga kali.
Jet tempur
sering menjadi sorotan utama, tetapi tanker sama pentingnya. Tanpa
itu, menurut Karns, jangkauan global F-35 tidak mungkin bisa dilakukan.
0 comments:
Post a Comment