Sunday, 19 February 2017

Vietnam Punya Strategi Perang Baru di Laut China Selatan


Pada 1287, Jenderal Omar Khan dari Dinasti Yuan memimpin pasukan invasi yang cukup besar, termasuk banyak kapal perang, melawan Dai Viet (sekarang Vietnam). Dengan pasukan Mongol yang dikenal hebat membentuk barisan depan, secara logika pertempuran ini akan cukup mudah bagi China.

Tetapi  pertempuran laut tahun berikutnya membuktikan sebaliknya. Di muara Dang Sungai Bach dekat Ha Long Bay, Jenderal Dai Viet Tran Hung Dao mengulangi prestasi dicapai Jenderal Ngo Quyen yang sukses melawan penjajah Dinasti Han dari China pada tahun 938.

Hung Dao menjiplak  pendekatan yang dilakukan Ngo, dengan memusatkan kekuatan di sungai utara Chanh, Kenh dan Rut-dan menunggu sampai air pasang untuk menarik armada Mongol ke perairan dangkal.

Ketika arus berbalik,  kapal perang Mongol akhirnya terjebak di air dangkal. Kapal perang Dai Viet yang lebih kecil dan terdiri dari kano perang mengerumuni armada Mongol  dan awak Dai Vet melemparkan granat “minyak lumpur”, botol keramik kecil yang diisi dengan nafta dan disegel dengan kulit pinang yang membuat malapetaka pada kapal China. Banyak kapal yang terbakar dan pasukan China tewas. Pertempuran Bach Dang menjadi salah satu kekalahan pedih bagi  invasi armada Yuan.

Tapi tidak seperti pertempuran di 938, yang berkontribusi pada akhir dominasi China terhadap Dai Viet, kemenangan angkatan laut di 1288 tidak mengubah hubungan bilateral Dinasti Tran yang menerima kedaulatan Yuan sampai akhir kematian.

Dua pertempuran laut di Bach Dang, dan contoh kontemporer di Perang Indochina Prancis dan Perang Vietnam, serta perang perbatasan Sino-Vietnam yang singkat tapi berdarah di akhir 1970-an, telah menunjukkan kecerdikan Vietnam dalam melakukan perang asimetris melawan musuh yang lebih kuat.

Namun Pertempuran Bach Dang merupakan contoh langka  bagaimana Vietnam bisa melakukan apa yang pada dasarnya adalah taktik darat yang diusung ke ranah maritim. Juga untuk dicatat adalah kenyataan bahwa pertempuran laut di Bach Dang terjadi di perairan dangkal dekat pantai Vietnam, bukan perairan terbuka Laut China Selatan, di mana kapal perang Mongol bisa mengoptimalkan kinerja tempur mereka.

Tidak heran, kemudian,  pada bulan Maret 1988 Vietnam menderita kekalahan di tangan China dalam bentrokan di perairan terbuka Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua pihak. Angkatan Laut China terbukti lebih mampu dibandingkan Vietnam yang tidak terbiasa melakukan pertempuran laut di perairan terbuka dengan kalah jumlah dan senjata.

Vietnam  sadar pada keterbatasan angkatan laut mereka. Tidak ada harapan bagi mereka bisa mengulang prestasi nenek moyang mereka di Bach Dang melawan China jika tetap mempertahankan strategi konvesional yakni sea-denial strategy.

Pada dasarnya, sea-denial strategy adalah upaya menahan atau mengganggu akses musuh ke daerah-daerah maritime. Pasukan musuh di tahan pada satu garis.

Tetapi menurut pakar militer Wu Shang-su  Vietnam memiliki  kesempatan kecil untuk melawan agresi militer China, yang memiliki pilihan selain mengadopsi strategi sea-denial. Lebih lanjut, dia menambahkan, strategi sea-denial  cocok dalam lingkup yang lebih luas dari kebijakan pasca-Perang Dingin Hanoi yang  menekankan prinsip-prinsip seperti kebebasan, non-aliansi dan pertahanan defensif.

Hal yang lebih penting untuk diingat Vietnam menghadapi masalah keuangan yang harus memprioritaskan pembangunan sosial ekonomi yang ditetapkan dalam gerakan bawah “Doi Moi” (Renovasi) sejak awal 1990-an yang juga mengakibatkan pengurangan pesonel Tentara Rakyat Vietnam.

Kapal Selam Kilo, Awal Strategi Baru


Namun juga akan menyesatkan jika melihat kekuatan Vietnam tidak tumbuh. Mereka telah lama mengakui keterbatasan dari strategi sea denial dan telah berusaha untuk meningkatkan strategi mereka untuk melawan agresi militer China di Laut China Selatan.

Angkatan Laut  Hanoi baru saja menerima kapal selam diesel listrik Kelas Kilo buatan Rusia terakhir, dan pada titik puncak dari operasionalisasi skuadron kapal selam lengkap pada 2017, citra strategi angkatan laut Vietnam yang mengandalkan sea denial masih terlihat.

Meskipun benar bahwa sebuah kapal selam, terutama yang bertenaga konvensional, umumnya terkait dengan penolakan akses laut, untuk kasus Vietnam atribut ini bisa lebih. Enam kapal selam yang mereka miliki  tidak hanya dilengkapi senjata untuk sea denial seperti torpedo tradisional dan ranjau, tetapi juga dilengkapi dengan sea-launched land-attack cruise missiles (SLCM) Klub-S  buatan Rusia yang dapat mencapai target sejauh 300 kilometer.

Pengamat militer Vietnam Carlyle Thayer telah berpendapat bahwa SLCM Vietnam akan digunakan untuk menyerang pelabuhan dan lapangan udara China, seperti pangkalan angkatan laut Sanya di pulau Hainan, bukan kota yang ada di sepanjang pantai daratan Cina selatan.

Peran penangkis masih akan sesuai dengan baik dalam strategi pertahanan Hanoi, tetapi mereka juga memperoleh kemampuan ofensif untuk menyerang lawan. Tidak ada cara bagi  Vietnam untuk mencegah agresi China kecuali mereka memiliki sarana untuk menyerang dan membuat kerusakan fasilitas China termasuk di Sanya yang menjadi salah satu garis depan.

Contoh jelas adalah bagaimana kapal Rusia ketika melakukan kampanye di Suriah pada akhir 2015 yang  menunjukkan bahwa angkatan laut yang kecil  bisa menyerang secara mengejutkan. Kapal selam Kelas Kilo Rostov-on-Don menjadi kapal selam konvensional pertama yang meluncurkan SLCM untuk  serangan penetrasi ke wilayah yang jauh.

Namun, Rusia bisa melakukan ini karena mereka memiliki kemampuan command, control, communications, computers, intelligence, surveillance and reconnaissance (C4ISR) yang cukup baik. Rusia memiliki satelit navigasi GLONASS yang memungkinkan rudal terbang mulus di atas petak daratan yang luas Timur Tengah.

Vietnam masih dalam tahap awal di program C4ISR, dengan fokus pada kendaraan udara tak berawak dan penginderaan jarak jauh mikrosatelit. Saat ini kemampuan penargetan berbasis satelit masih mengandalkan data yang diperoleh dari citra jauh satelit komersial.

Meskipun demikian, kekurangan ini tidak akan menghambat kemampuan serangan Vietnam terhadap sasaran pesisir seperti pangkalan angkatan laut Sanya yang  tidak memerlukan kemampuan C4ISR terlalu tinggi seperti ketika harus menyerang target darat yang ada jauh di wilayah pedalaman.

Dan dengan mengakuisi kapal selam, Hanoi  ingin meningkatkan kemampuan untuk melawan Beijing dan menaikkan risiko bagi China jika melakukan agresi. Selain itu Vietnam juga terus melengkapi kekuatan di sektor lain.

Pada intinya Vietnam telah membuat langkah lebih lanjut untuk memberlakukan strategi kontra-intervensi yang lebih kuat dibandingkan strategi konvensional mereka selama ini yang memilih strategi bertahan dan menunggu.

Marinir mereka telah dilatih untuk merebut pulau, tentu saja yang dibayangkan adalah Pulau  Spratly yang telah mengakibatkan pertempuran  1988. Pada bulan Mei 2016, Vietnam dilaporkan bernegosiasi dengan Rusia membeli frigat dipandu rudal Kelas Gepard ketiga. Apa yang istimewa tentang pembelian ini adalah bahwa Hanoi ingin  kapal baru ini  dipersenjatai dengan SLCM Klub.

Kita ingat bahwa korvet Armada Laut Kaspia Rusia  yang memiliki ukuran sama dengan Kelas Gepard 3.9 bersama dengan kapal selam Rostov-on-Don telah membuktikan bahwa kapal perang kecil mampu melancarkan serangan SLCM. Hanoi rupanya terinspirasi dengan keberhasilan Rusia ini.

Vietnam akhirnya secara bertahap bergeser dari strategi sea denial menjadi strategi ofensif untuk menaikkan taruhan China jika melakukan agresi. Selesainya skuadron kapal selam pada tahun 2017 hanya langkah besar pertama menuju arah ini.


0 comments:

Post a Comment