Pada 1287, Jenderal Omar Khan dari Dinasti Yuan memimpin pasukan invasi
yang cukup besar, termasuk banyak kapal perang, melawan Dai Viet (sekarang
Vietnam). Dengan pasukan Mongol yang dikenal hebat membentuk barisan depan,
secara logika pertempuran ini akan cukup mudah bagi China.
Tetapi pertempuran laut tahun
berikutnya membuktikan sebaliknya. Di muara Dang Sungai Bach dekat Ha Long Bay,
Jenderal Dai Viet Tran Hung Dao mengulangi prestasi dicapai Jenderal Ngo Quyen
yang sukses melawan penjajah Dinasti Han dari China pada tahun 938.
Hung Dao
menjiplak pendekatan yang dilakukan Ngo,
dengan memusatkan kekuatan di sungai utara Chanh, Kenh dan Rut-dan menunggu
sampai air pasang untuk menarik armada Mongol ke perairan dangkal.
Ketika arus
berbalik, kapal perang Mongol akhirnya
terjebak di air dangkal. Kapal perang Dai Viet yang lebih kecil dan terdiri
dari kano perang mengerumuni armada Mongol
dan awak Dai Vet melemparkan granat “minyak lumpur”, botol keramik kecil
yang diisi dengan nafta dan disegel dengan kulit pinang yang membuat malapetaka
pada kapal China. Banyak kapal yang terbakar dan pasukan China tewas. Pertempuran
Bach Dang menjadi salah satu kekalahan pedih bagi invasi armada Yuan.
Tapi tidak
seperti pertempuran di 938, yang berkontribusi pada akhir dominasi China
terhadap Dai Viet, kemenangan angkatan laut di 1288 tidak mengubah hubungan
bilateral Dinasti Tran yang menerima kedaulatan Yuan sampai akhir kematian.
Dua
pertempuran laut di Bach Dang, dan contoh kontemporer di Perang Indochina
Prancis dan Perang Vietnam, serta perang perbatasan Sino-Vietnam yang singkat
tapi berdarah di akhir 1970-an, telah menunjukkan kecerdikan Vietnam dalam
melakukan perang asimetris melawan musuh yang lebih kuat.
Namun
Pertempuran Bach Dang merupakan contoh langka
bagaimana Vietnam bisa melakukan apa yang pada dasarnya adalah taktik
darat yang diusung ke ranah maritim. Juga untuk dicatat adalah kenyataan bahwa
pertempuran laut di Bach Dang terjadi di perairan dangkal dekat pantai Vietnam,
bukan perairan terbuka Laut China Selatan, di mana kapal perang Mongol bisa
mengoptimalkan kinerja tempur mereka.
Tidak heran,
kemudian, pada bulan Maret 1988 Vietnam
menderita kekalahan di tangan China dalam bentrokan di perairan terbuka
Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua pihak. Angkatan Laut China terbukti
lebih mampu dibandingkan Vietnam yang tidak terbiasa melakukan pertempuran laut
di perairan terbuka dengan kalah jumlah dan senjata.
Vietnam sadar pada keterbatasan angkatan laut mereka.
Tidak ada harapan bagi mereka bisa mengulang prestasi nenek moyang mereka di
Bach Dang melawan China jika tetap mempertahankan strategi konvesional yakni
sea-denial strategy.
Pada
dasarnya, sea-denial strategy adalah upaya menahan atau mengganggu akses musuh
ke daerah-daerah maritime. Pasukan musuh di tahan pada satu garis.
Tetapi
menurut pakar militer Wu Shang-su
Vietnam memiliki kesempatan kecil
untuk melawan agresi militer China, yang memiliki pilihan selain mengadopsi
strategi sea-denial. Lebih lanjut, dia menambahkan, strategi sea-denial cocok dalam lingkup yang lebih luas dari
kebijakan pasca-Perang Dingin Hanoi yang
menekankan prinsip-prinsip seperti kebebasan, non-aliansi dan pertahanan
defensif.
Hal yang
lebih penting untuk diingat Vietnam menghadapi masalah keuangan yang harus
memprioritaskan pembangunan sosial ekonomi yang ditetapkan dalam gerakan bawah
“Doi Moi” (Renovasi) sejak awal 1990-an yang juga mengakibatkan pengurangan
pesonel Tentara Rakyat Vietnam.
Kapal Selam
Kilo, Awal Strategi Baru
Namun juga
akan menyesatkan jika melihat kekuatan Vietnam tidak tumbuh. Mereka telah lama
mengakui keterbatasan dari strategi sea denial dan telah berusaha untuk
meningkatkan strategi mereka untuk melawan agresi militer China di Laut China
Selatan.
Angkatan
Laut Hanoi baru saja menerima kapal
selam diesel listrik Kelas Kilo buatan Rusia terakhir, dan pada titik puncak
dari operasionalisasi skuadron kapal selam lengkap pada 2017, citra strategi
angkatan laut Vietnam yang mengandalkan sea denial masih terlihat.
Meskipun
benar bahwa sebuah kapal selam, terutama yang bertenaga konvensional, umumnya
terkait dengan penolakan akses laut, untuk kasus Vietnam atribut ini bisa
lebih. Enam kapal selam yang mereka miliki
tidak hanya dilengkapi senjata untuk sea denial seperti torpedo
tradisional dan ranjau, tetapi juga dilengkapi dengan sea-launched land-attack
cruise missiles (SLCM) Klub-S buatan
Rusia yang dapat mencapai target sejauh 300 kilometer.
Pengamat
militer Vietnam Carlyle Thayer telah berpendapat bahwa SLCM Vietnam akan
digunakan untuk menyerang pelabuhan dan lapangan udara China, seperti pangkalan
angkatan laut Sanya di pulau Hainan, bukan kota yang ada di sepanjang pantai
daratan Cina selatan.
Peran
penangkis masih akan sesuai dengan baik dalam strategi pertahanan Hanoi, tetapi
mereka juga memperoleh kemampuan ofensif untuk menyerang lawan. Tidak ada cara
bagi Vietnam untuk mencegah agresi China
kecuali mereka memiliki sarana untuk menyerang dan membuat kerusakan fasilitas
China termasuk di Sanya yang menjadi salah satu garis depan.
Contoh jelas
adalah bagaimana kapal Rusia ketika melakukan kampanye di Suriah pada akhir
2015 yang menunjukkan bahwa angkatan
laut yang kecil bisa menyerang secara mengejutkan.
Kapal selam Kelas Kilo Rostov-on-Don menjadi kapal selam konvensional pertama
yang meluncurkan SLCM untuk serangan
penetrasi ke wilayah yang jauh.
Namun, Rusia
bisa melakukan ini karena mereka memiliki kemampuan command, control,
communications, computers, intelligence, surveillance and reconnaissance
(C4ISR) yang cukup baik. Rusia memiliki satelit navigasi GLONASS yang memungkinkan
rudal terbang mulus di atas petak daratan yang luas Timur Tengah.
Vietnam
masih dalam tahap awal di program C4ISR, dengan fokus pada kendaraan udara tak
berawak dan penginderaan jarak jauh mikrosatelit. Saat ini kemampuan penargetan
berbasis satelit masih mengandalkan data yang diperoleh dari citra jauh satelit
komersial.
Meskipun
demikian, kekurangan ini tidak akan menghambat kemampuan serangan Vietnam terhadap
sasaran pesisir seperti pangkalan angkatan laut Sanya yang tidak memerlukan kemampuan C4ISR terlalu
tinggi seperti ketika harus menyerang target darat yang ada jauh di wilayah
pedalaman.
Dan dengan
mengakuisi kapal selam, Hanoi ingin
meningkatkan kemampuan untuk melawan Beijing dan menaikkan risiko bagi China
jika melakukan agresi. Selain itu Vietnam juga terus melengkapi kekuatan di
sektor lain.
Pada intinya
Vietnam telah membuat langkah lebih lanjut untuk memberlakukan strategi
kontra-intervensi yang lebih kuat dibandingkan strategi konvensional mereka
selama ini yang memilih strategi bertahan dan menunggu.
Marinir
mereka telah dilatih untuk merebut pulau, tentu saja yang dibayangkan adalah
Pulau Spratly yang telah mengakibatkan
pertempuran 1988. Pada bulan Mei 2016,
Vietnam dilaporkan bernegosiasi dengan Rusia membeli frigat dipandu rudal Kelas
Gepard ketiga. Apa yang istimewa tentang pembelian ini adalah bahwa Hanoi
ingin kapal baru ini dipersenjatai dengan SLCM Klub.
Kita ingat
bahwa korvet Armada Laut Kaspia Rusia
yang memiliki ukuran sama dengan Kelas Gepard 3.9 bersama dengan kapal
selam Rostov-on-Don telah membuktikan bahwa kapal perang kecil mampu melancarkan
serangan SLCM. Hanoi rupanya terinspirasi dengan keberhasilan Rusia ini.
Vietnam
akhirnya secara bertahap bergeser dari strategi sea denial menjadi strategi
ofensif untuk menaikkan taruhan China jika melakukan agresi. Selesainya
skuadron kapal selam pada tahun 2017 hanya langkah besar pertama menuju arah
ini.
0 comments:
Post a Comment