Meskipun
sering dihantui oleh rudal jelajah dan rudal balistik anti kapal, ranjau laut
yang merupakan senjata tertua dan murah masih menjadi senjata anti acess/area
denial (A2/AD) paling berbahaya bagi kapal Angkatan Laut, termasuk Amerika
Serikat. Sejak akhir
Perang Dunia II, ranjau laut telah menjadi perusak dan penghancur paling banyak
kapal US Navy dibandingkan rudal jelajah dan rudal balistik.
Selain itu,
meski kekuatan besar seperti Rusia, China atau Iran memiliki senjata canggih
untuk A2/AD seperti rudal anti kapal supersonic yang berjalan tipis di
permukaan air atau skiming, ranjau laut masih tetap mereka miliki. Bahkan
negara yang miskin pun memilikinya.
“Ranjau laut
adalah salah satu senjata tertua di persediaan angkatan laut, seringkali menjadi
bentuk termurah dan paling tersedia dari anti acess/area denial sejumlah besar
negara-negara maritim,” kata pensiunan US Navy Capt. Jerry Hendrix, Direktur
Defense Strategies and Assessments Program at the Center for a New American
Security.
“Bahkan jika
anggaran mereka tidak memungkinkan untuk membeli rudal atau pesawat udara
canggih, negara maritim mampu menenggelamkan sejumlah ranjau lepas pantai
mereka untuk menghalangi kekuatan lain yang mendekati pantai mereka.”
Semakin
berbahaya, ranjau laut tidak hanya murah dan mematikan, mereka juga sulit untuk
ditemukan bahkan dengan peralatan modern. Sebagai contoh, kapal penjelajah rudal kelas
Ticonderoga USS Princeton (CG-59) selama Perang Teluk pertama pada tahun 1991 mengalami kerusakan, kapal
miliaran dollar ini rusak parah akibat sepasang ranjau laut MN103 Manta buatan
Italia yang harganya hanya beberapa ribu dolar.
Sebelumnya, ranjau era Perang Dunia I juga hampir menenggelamkan kapal perang berpemandu rudal, USS Samuel B. Roberts pada tahun 1988 selama Perang Iran-Irak.
Sejumlah
teknologi dikembangkan untuk melawan senjata murah tetapi mematikan ini, salah
satunya dengan drone yang memungkinkan pasukan angkatan laut di luar AS dan
sekutu untuk melawan ancaman ranjau tanpa membahayakan nyawa mereka.
Northrop
Grumman mengumumkan akan berpartisipasi dalam latihan British Royal Navy’s
Unmanned Warrior di mana raksasa pertahanan Amerika ini akan menunjukkan
kemampuan berburu ranjau dengan pesawat tak berawak.
Selama
latihan, Northrop akan menunjukkan sensor derek pemburu ranjau AQS-24B yang
akan dioperasikan dari perahu tak berawak Atlas Elektronik UK ArcIMS. Sensor
AQS-24B sudah digunakan oleh Angkatan Laut AS. Menurut Northrop, fitur AQS-24
adalah sonar aperture sintetis kecepatan tinggi untuk mendeteksi ranjau,
melokalisasi dan klasifikasi serta pemindaian sensor laser optik yang digunakan
untuk mengidentifikasi ranjau.
Sementara
itu, ArcIMS adalah sebuah perahu kecil berukuran panjang 11 meter, yang akan
dioperasikan melalui remote control dengan menarik sensor AQS-24B untuk melaju
di area yang diduga sebagai area penyebaran ranjau.
Angkatan
Laut AS juga secara luas mengeksplorasi penggunaan drone untuk berburu ranjau.
Littoral Combat Ship (LCS) Angkatan Laut AS memiliki modul pemburu ranjau yang
akan bergantung terutama pada perahu tanpa awak untuk mendeteksi dan
menetralisir ranjau.
Namun,
sistem utama, yang disebut Remote Minehunting System telah dibatalkan. Tapi ada
dua drone pemburu ranjau lainnya dalam paket termasuk Textron Common Unmanned
Surface Vehicle (CUSV) dan kendaraan bawah air tanpa awak General Dynamics
Knifefish.
Meski Angkatan Laut AS bekerja keras pada paket peperangan ranjau di LCS, senjata glamor
selalu diperlakukan, ancaman masih sangat tinggi hingga Angkatan Laut harus
menempatkan armada perang anti ranjau di perang masa depan.
“Ranjau laut
kuno dan gigih. Ini adalah metode yang murah untuk anti akses di laut dan meski
sering tidak efisien tetapi sangat mematikan,” kata Bryan McGrath, Managing
Director dari konsultan angkatan laut Ferrybridge Group kepada The National
Interest Kamis 1September 2016. “Arsitektur armada Angkatan Laut masa depan
harus menempatkan ancaman ini dalam perencanaan.”
0 comments:
Post a Comment