Pada Tahun
2015 silam dan pada bulan Desember tahun 2016 kemarin terjadi musibah. Pesawat
transport berat C-130B Hercules A-1310 dan C-130H Hercules A-1334 dari Skuadron
Udara 32 TNI AU jatuh dengan korban jiwa puluhan orang, baik sipil maupun
militer.
Pesawat transport C-130H Hercules A-1334 TNI AU yang jatuh di dekat Wamena
Makna
dibalik setiap musibah. Bahwa kombinasi teknologi terkini, kecakapan pilot,
faktor cuaca, beban pesawat adalah bagian dari instrumen berhasilnya jalan
terbang pesawat. Pesawat Hercules A-1310 dan A-1334 itu memang pesawat tua
tetapi seluruh instrumen mesin, avionik, radar sudah diperbaharui. Artinya
teknologinya sudah terkini.
Kita sering
terpaku pada usia jam terbang dan mengecilkan peran overhaul, retrofit atau
pembaharuan instrumen.
Kepala Staf
TNI AU kala itu Marsekal TNI AU Agus Supriatna mengatakan, C-130B Hercules itu
sempat meminta ijin untuk kembali ke pangkalan (return to base/RTB), hanya dua
menit setelah dia sedang dalam tahap airborne menuju ketinggian dan kecepatan
jelajah.
RTB memang
dimungkinkan dalam penerbangan, dan ini diatur dan dicantumkan dalam formulir
rencana penerbangan (flight plan) dan akan diumumkan kepada komunitas
penerbangan resmi berupa notice to airmen.
Dalam
menerbangkan pesawat terbang, ada dua tahap sangat kritis yang harus disikapi
sangat serius sesuai prosedur baku penerbangan, yaitu tahap lepas-landas dan
tahap mendarat.
Supriatna
juga menyatakan, perawatan C-130B Hercules keluaran 1964 itu ada dalam kondisi
dan mekanisme baku yang baik. Alasannya
logis sekali, C-130 dalam berbagai tipe dan varian merupakan kuda beban utama
angkut berat TNI AU dalam berbagai misinya, karena itu dia harus selalu dalam
keadaan laik udara.
Prosedur
baku perawatan pesawat terbang sebagaimana dinyatakan dalam manual perawatan
Angkatan Udara Amerika Serikat yang diadopsi banyak negara menyatakan,
tingkatan perawatan pesawat terbang itu ada dalam empat tahap, yaitu A Check, B
Check, C Check, dan D Check.
Tahap A
Check, ditempuh setelah pesawat terbang menempuh 250 jam terbang atau setiap
200-300 lepas landas, yang memerlukan hingga 50 jam kerja pemeliharaan. Tergantung pada tipe, misi, dan varian pesawat terbangnya, hitungan ini mengacu
pada jam terbang terakhir saat dia mendapat perawatan terakhir.
Tahap B
Check, ditempuh setiap enam bulan, yang memerlukan 120-150 jam kerja tim
teknisi. Bergantung pada tipe dan varian pesawat terbangnya, biasanya sekitar
tiga hari diperlukan untuk B Check ini, yang juga dikerjakan berbarengan dengan
A Check.
Tahap C
Check, ditempuh setiap 20 hingga 24 bulan atau setiap jam terbang aktual
spesifik ditempuh pesawat terbang itu, atau sesuai notifikasi dari pabrikan
pesawat terbang.
C Check jauh
lebih detil dan lengkap ketimbang B Check, meliputi semua sistem yang ada dalam
pesawat terbang itu. Tahap C Check mengharuskan pesawat terbang itu tidak boleh
mengudara untuk sementara wakktu sampai C Check selesai dan diuji kembali oleh
personel yang memiliki sertifikasi khusus untuk itu.
Biasanya
tergantung tipe, varian, dan misi yang selama ini dilakukan pesawat terbang itu
(sebagai misal, dalam misi menciptakan hujan buatan, ada hal-hal khusus yang
harus dikerjakan secara ekstra karena dia mengangkut dan menyebar garam yang
korosif ke awan) C Check ini memerlukan waktu hingga dua pekan. Jam kerja
tim teknisi dan inspeksi yang bekerja bisa sampai 6.000 jam dan setelah
semuanya selesai, semua sistem harus diuji lagi secara lebih menyeluruh dan
detil.
Tahap D
Check, adalah yang paling menyeluruh dan mutlak harus dilakukan pada pesawat
terbang, yang biasa dikatakan sebagai perawatan berat. Biasanya, D Check ini
dilakukan tiap enam tahun walau bisa juga lebih cepat. Secara awam,
tahap D Check ini biasa juga disebut sebagai overhaul.
Mesin-mesin
akan diloloskan dan dicopot dari pilon-nya, dipereteli dan diperiksa satu demi
satu komponennya. Ada falsafah perawatan pesawat terbang, repair by maintain
dan repair by replace, di mana yang terakhir ini bermakna langsung mengganti
komponen yang kinerjanya sudah menurun.
Tahap D
Check juga menyangkut sturktur pesawat terbang, di antaranya memakai peralatan
sejenis mesin sinar X untuk mengetahui apakah ada kelelahan material (material
fatigue) atau malah retak halus yang bisa membahayakan penerbangan. Juga
kekuatan dan keutuhan baut-baut, selang-selang, sil-sil oli dan sistem
hidrolik, dan lain sebagainya.
Tahap D
Check ini sangat kompleks, mirip dengan membongkar habis pesawat terbang dan
membangun kembali pesawat terbang itu, sehingga bisa menghabiskan sampai 50.000
jam kerja tim teknisi dan inspeksi, atau sekitar dua bulan atau malah lebih.
Tahap D
Check ini sangat mahal namun harus dilakukan agar pesawat terbang itu tetap
mempertahankan sertifikasi laik udaranya dari badan yang berwenang. Banyak
sekali yang harus diinspeksi, diuji, dan diperiksa secara sangat detil sesuai
spesifikasi dan persyaratan pabrikan.
Misalnya
lagi sistem navigasi dan komunikasi yang harus dikalibrasi, bahkan komponennya
harus diperiksa satu demi satu. Apakah komponen IC-nya masih bekerja secara
baik, layar LCD-nya memancarkan cahaya sesuai persyaratan, dan lain sebagainya.
Untuk TNI
AU, instansi yang berwenang mengeluarkan sertifikasi ini bukan cuma sistem
tunggal, di antaranya Dinas Keselamatan Penerbangan, yang dikepalai seorang
marsekap pertama (perwira tinggi bintang 1), yang ada di bawah supervisi
asisten operasi dan asisten logistik kepala staf TNI AU. Masih ada
lagi Dinas Material yang ada di bawah supervisi asisten logistik kepala staf
TNI AU, dan beberapa yang lain. Mereka saling berkoordinasi dan saling chek
silang.
Setelah
pesawat terbang itu selesai menempuh overhaul, maka dia dirakit lagi sesuai
spesifikasi. misal, tipe, kekuatan, dan kekencangan baut-baut harus sesuai
persyaratan dan diuji terbang. Penerbangnya
juga harus berkualifikasi pilot uji dengan dibantu tim (load master pada C-130
Hercules, contohnya), yang juga memiliki sertifikasi untuk itu.
0 comments:
Post a Comment