Pada 15
Februari 1950, sekitar 5 tahun pasca Proklamasi Kemerdekaan, Presiden Soekarno
memperkenalakan kepada khalayak sosok Burung Garuda sebagai lambang negara.
Kala itu,
Soekarno menyebutkan bahwa Burung Garuda mewakili sosok patriotisme dan
kemerdekaan. Sementara menurut mitologi Hindu, Garuda adalah mahluk mitologis
berwujud setengah burung dan setengah manusia, tunggangan Dewa Wisnu.
Dalam kisah
agung Mahabarata, burung Garuda digambarkan sebagai burung yang perkasa, setia
kawan, dan berani. Ia adalah raja burung-burung berwajah putih, sayapnya merah,
dan tubuhnya berwarna keemasan.
Dalam buku
bertajuk Bung Hatta Menjawab, pemilihan Burung Garuda sebagai lambang negara
diawali dengan sayembara yang digelar oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta (Bung Hatta).
Kala itu,
terpilih dua karya terbaik, yakni milik Sultan Hamid II dan Mohammad Yamin.
Pada akhirnya, pemerintah dan DPR memilih sosok Burung Garuda karya Sultan
Hamid II.
Garuda dan
Elang Jawa
Dari sekian
banyak burung yang ada Indonesia, banyak yang meyakini bahwa Elang Jawa
(nisaetus bartelsi) adalah sosok nyata dari sosok mitos Burung Garuda. Selain
berdasarkan kesamaan bentuk fisik, Elang Jawa yang juga dikenal sebagai Burung
Rajawali adalah hewan endemik Pulau Jawa.
Jambul ini
pula yang kemudian ditambahkan ke lambang negara Burung Garuda setelah sempat
berkepala gundul seperti lambang burung elang milik Amerika Serikat. AG
Pringgodigdo dalam buku 'Sekitar Pancasila' menjelaskan bahwa penambahan jambul
ini dilakukan pakar semiotika dan simbol Dirk Ruhl Jr.
Sayangnya,
tak seperti nasib Burung Garuda yang dielu-elukan, nasib Elang Jawa justru
cukup tragis. Burung khas Indonesia ini sekarang dalam keadaan terancam,
populasinya terus merosot.
Per akhir
2015 silam, Lembaga Burung Indonesia memperkirakan hanya tersisa sekitar 600
ekor Elang Jawa di Pulau Jawa. Sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot
satwa langka Indonesia oleh IUCN Redlist, lembaga koservasi hewa langka dunia
di bawah PBB.
Ada dua
faktor utama penyebab punahnya Elang Jawa. Pertama, Elang Jawa betina umumnya
memang hanya mampu bertelur dalam periode 2 tahun sekali. Selain itu, Elang
Jawa juga termasuk hewan monogami yang hanya hidup dengan satu pasangan seumur hidup.
Sementara
faktor kedua, disebabkan karena habitat Elang Jawa yang semakin hari semakin
terdesak. Beberapa habitat potensial seperti Taman Nasional Gunung Merapi dan
pegunungan Dieng kini hutannya mulai gundul.
Hutan
kawasan Merapi gundul akibat bencana erupsi dan hutan pegunungan Dieng habis
untuk keperluan pertanian.
Habitat lain
dari Elang Jawa adalah Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Di sini,
populasi Elang Jawa kabarnya sedikit lebih baik, namun tetap masih jauh dari
ideal.
0 comments:
Post a Comment