Empat
kelompok pemberontak di negara bagian Shan yang bergolak di Myanmar, pada Senin
5 Desember, menyerukan Tiongkok menengahi situasi untuk mengakhiri bentrokan.
Seruan itu muncul setelah pemerintah menyatakan bahwa sebuah kota besar di
negara bagian tersebut telah berada di bawah kendali militer.
Sebuah
pernyataan bersama oleh pasukan gabungan dari Aliansi Utara menuntut militer
menghentikan serangan dengan segera dan menarik pasukan dari wilayah etnis di
seluruh negeri.
"Karena
sebagian besar pertempuran berlangsung di daerah perbatasan Myanmar-Tiongkok,
kami ingin mediasi secepatnya pemerintah Tiongkok untuk mengakhiri pertempuran
dan membawa stabilitas perbatasan," demikian bunyi pernyataan tersebut
yang dilansir Anadolu, Senin (5/12/2016). Ditambahkan bahwa
aliansi itu siap mengakhiri pertempuran dan memulai negosiasi politik, hingga
secara adil dan tulus pemerintah bisa mengambil bagian.
Pada Minggu
4 Desember, pemerintah mengumumkan bahwa kota strategis Mongkoe di timur laut
Shan, yang telah diserang oleh pemberontak selama dua pekan, telah berhasil
dikendalikan.
Kantor
Penasihat Komite Informasi Negara mengatakan bahwa pasukan gabungan dari
Aliansi Utara-Tentara Pembebasan Kachin (KIA), Tentara Pembebasan Nasional
Ta'ang (TNLA), Aliansi Angkatan Bersenjata Nasional Demokratik Myanmar (MNDAA)
dan Angkatan Bersenjata Arakan (AA) telah ditarik dari daerah itu setelah
pasukan pemerintah melawan dengan menggunakan helikopter militer dan
persenjataan berat.
Dalam
pernyataan mereka, para pemberontak mendesak pemerintah menyatakan gencatan
senjata tingkat nasional untuk mengakhiri konflik bersenjata di Shan yang
meletus 20 November ketika empat kelompok pemberontak bersama-sama menyerang
pos-pos pemeriksaan militer, kantor polisi, dan zona perdagangan di perbatasan
timur negara itu dengan Tiongkok.
Sejak itu,
14 orang tewas di daerah tersebut, sekitar 50 korban terluka, ribuan
penduduk telah mengungsi dan sekitar 3.000 melarikan diri ke Tiongkok demi
menghindari pertempuran.
Pekan lalu,
Myanmar dan Tiongkok membahas pertempuran yang sedang berlangsung di daerah
perbatasan, koridor perdagangan utama bagi kedua negara. Sebuah
delegasi Myanmar dengan sembilan anggota yang dipimpin oleh ketua Komisi
Perdamaian, Tin Myo Win, bertemu dengan para pejabat senior Tiongkok termasuk
Menteri Luar Negeri Wang Yi di Beijing selama kunjungan tujuh hari.
Kelompok-kelompok
yang terlibat dalam bentrokan tidak terdaftar dalam Perjanjian Gencatan Senjata
Tingkat Nasional (NCA) yang disponsori pemerintah tahun lalu. Bulan lalu,
pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mendesak kelompok pemberontak untuk
bergabung dengan proses perdamaian, mengatakan pemerintah "menjaga pintu
perdamaian terbuka demi menyambut semua pemangku kepentingan terkait untuk
berpartisipasi".
"Dalam rangka
segera mengakhiri konflik bersenjata di timur laut negara bagian Shan, saya
sangat mendesak kelompok-kelompok bersenjata untuk bergabung dalam proses
perdamaian dengan menandatangani NCA," kata Penasihat Negara, Suu Kyi,
dalam sebuah pernyataan, 24 November.
Suu Kyi
memperingatkan pemberontak yang mengangkat senjata untuk menyelesaikan isu-isu
politik hanya "menyebabkan konflik bersenjata berkepanjangan", dengan
penduduk di daerah-daerah yang terkena dampak akan menderita dan tertinggal di
belakang perkembangan ekonomi yang dinikmati oleh negara tetangga.
"Senjata
tidak akan menyelesaikan masalah atau memberi tujuan yang diinginkan
rakyat," katanya, menggambarkan dialog sebagai satu-satunya cara untuk
mengakhiri konflik bersenjata negeri itu dan membangun perdamaian abadi.
Myanmar
sedang mengatur diadakannya pertemuan kedua Union Peace Conference atau
Konferensi Penyatuan Perdamaian yang dinamakan 21st Century Panlong
Conference pada Januari 2017.
0 comments:
Post a Comment